Saat itu Jakarta sedang ingar-bingar. Para politisi Senayan kasak-kusuk, sibuk menggoreng garing isu Buloggate yang dilemparkan kepada Gus Dur. Setelah BEM-SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia) berhasil melempar bola, sambutan para politisi Senayan tidak kalah jitu dalam menyarungkan ke gawang lawan besarnya, Gus Dur. “DPR itu seperti Taman Kanak-kanak”, kata Gus Dur, satu selorohan nan pedas.
Saya ingin merefleksikan situasi para intelektual NU di masa-masa itu. Secara garis besar, mereka terbelah dua. Di satu sudut, menyokong habis tindakan Gus Dur yang terjun, berenang dan menyelam sepenuhnya di dunia politik praktis. Bahwa tindakan Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sudah sangat tepat dan kontekstual. Pendek kata, kubu ini mengaminkan ujaran revisionis salah satu pendekar Chicago, Cak Nur, “Islam Yes, Partai Politik Islam Yes”.
Di sudut yang lain, berkerumun kalangan intelektual yang cenderung apolitis, bahkan anti-politik (dalam cakupan kategoris politik praktis). Mereka ini memandang politik sebagai wadah penuh kekotoran, noda dan nista. Ringkas kata, di kalangan ini mencuat salah satu ucapan yang cukup satir untuk disebutkan, “Gus Dur sudah mati ketika dia membikin partai.”
Tentu saja, mati di sini bagi mereka dimaknai dalam ranah intelektualitas bukan fisik. Ranah politik diangankan sebagai zona yang tak layak untuk dimasuki Gus Dur, tapi, apa hendak dikata, angan itu bak menggantang asap. Dengan mendirikan PKB, Gus Dur ditafsirkan telah mengkhianati upayanya dulu yang menegaskan “ NU kembali ke Khittah 1926”.
Pertanyaan penting yang pantas kita hadapi di sini, mengapa sebagian para intelektual memandang politik (praktis) sebagai sesuatu yang buruk dan bikin tercemar? Saya tidak hendak menjawab soalan ini secara definitif. Soalan ini hanya berperan menggiring pada refleksi dan refleksi.
Di era kiwari, masuknya KH Ma’ruf Amin ke ranah politik praktis, jelas tetap dipandang secara terbelah oleh kalangan intelektual NU. Ada yang mengamini—sebagian dengan sepenuh hati, dan sebagian lagi harap-harap cemas, namun ada juga yang mengambil jarak sekaligus menghela napas, mendindingi diri.
“Filsuf hanya menafsirkan dunia, persoalan yang sesungguhnya adalah mengubah dunia,”demikian Karl Marx. Hikmat dari “nabi sosialis” itu dipikirkan oleh Antonio Gramsci dengan tekun dan menghasilkan kategorisasi: intelektual tradisional dan intelektual organik.
Yang pertama merujuk pada intelektual yang bertekun dan tenggelam dalam dunianya sendiri, sedangkan yang kedua merujuk pada intelektual yang berupaya menerjemahkan dan mendialogkan antara teori dan praksis ke lapangan kehidupan. Tentu definisi intelektual organik ini tidak secara ketat mengekor Gramsci yang menekankan basis eksistensial si intelektual organik pada kelas proletar.
Ulama Organik
Gus Dur adalah intelektual dan ulama organik. Aneka konsep dan ragam teori sukar menjeratnya. Ia adalah wujud multiplisitas yang hidup dan memanusiakan. Namun demikian, manakala Gus Dur saking kesalnya satu kelompok aksi pro-demokrasi dihajar oleh kelompok aksi yang lain, tanpa menyebut orang dia menyitir lembaga penyerang itu saja. “FPI bajingan,” demikian Gus Dur.
Bagi kalangan Islamis, Gus Dur di lain pihak dilihat secara kacamata kuda. Ini direpresentasikan dengan sempurna oleh ucapan Habib Rizieq di masa silam, “Gus Dur itu buta mata dan buta hati.” Dua fenomena yang bukan tidak sukses bikin seseorang kepalang tanggung bersikap.
Di era kekinian, kita menjumpai filosof yang dengan Sofismenya memukau massa ‘Islam Sontoloyo’—meminjam diksi Bung Karno—dalam pandangan-dunia ala Don Quixote. Entah, apakah dia termasuk intelektual organik atau tradisional, atau justru di luar kategori. Kelompok ‘Islam Sontoloyo’ ini memproduksi dan mereproduksi sejumlah pertandaan yang secara efektif menjadikan hukum sebagai teknik inklusi dan eksklusi.
Teknik inklusinya bisa berwujud penciptaan berbagai kelompok advokat—yang entah betulan atau dakuan semata dan produksi aduan hukum demi aduan hukum atas pihak yang berlawanan dengan mereka. Teknik eksklusinya tersimbolisasi secara paripurna dalam frase “kriminalisasi” yang acap setarikan napas dengan “ulama”. Teknik eksklusi ini menegaskan ego kelompok yang bersangkutan bahwa hukum adalah konspirasi untuk menjatuhkan mereka.
Biopolitis dan Sovereign
Demikianlah, kita menyaksikan pergeseran fungsi ulama yang ditampilkan kelompok ini. Seyogianya ulama berfungsi lebih pada ihwal pastoral dan disipliner. Pastoral bersifat membimbing jamaah, sedangkan disipliner membentuk mental dan perilaku jamaah agar berakhlakul karimah. Kini fungsi ini digeser ke arah biopolitis dan sovereign.
Biopolitis berkaitan dengan hak untuk menentukan hidup dan mati. Ini terwujud dalam upaya kelompok ini memonopoli istilah ‘Islam’ bagi kelompoknya, dan yang di luar kelompoknya dianggap sesat, munafik, bahkan kafir. Momen paling simboliknya adalah saat mengkafirkan jenazah muslim dengan menolak menyalatkannya di masa-masa Pilkada DKI 2017 lalu. Bukan hanya jenazah tersebut nyatanya mati secara fisik, namun, dia juga dimatikan (baca: dikafirkan) secara politico-teologis (agama-politik). Tidak peduli bahwa di masa hidupnya yang bersangkutan berikrar syahadat, yang dianggap penentu keabsahan akidahnya justru ihwal politik yang nyata bersifat duniawi.
Fungsi sovereign yang dijalankan oleh ulama terkait dengan aksi-aksi politis yang sifatnya merebut otoritas. Misalkan dengan pola Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI, yang belakangan mengganti MUI-nya menjadi Ulama. Ini setali tiga uang dengan perhelatan yang disebut dengan Ijtima Ulama 1 & 2. Hal yang paralel juga, upaya penyematan gelar Imam Besar Umat Islam kepada Habib Rizieq. Ini semua adalah permainan-permainan kuasa (power of games) yang memainkan fungsi sovereign.
Sovereign, seturut gagasan Carl Schmitt, seorang filsuf politik Jerman, memiliki definisi yang terkait erat dengan ihwal batasan. Sovereign adalah dia yang memiliki kuasa untuk menyatakan eksepsi (kekecualian). Dalam konteks inilah sebutan “kriminalisasi ulama” seyogianya dipahami.
Tindakan ulama tertentu saat tersangkut proses hukum yang mendaku adanya “kriminalisasi ulama” terhadap dirinya merupakan upaya untuk menangguhkan proses tersebut secara simbolik. Sang ulama meletak diri sebagai pihak yang berada di luar cakupan hukum, karena hukum dipandang sebagai alat rezim berkuasa.
Tentu saja, pembalikan terma ini dalam seruan kalangan tertentu, “Jangan ulamakan kriminal!” merupakan resistensi simbolik yang strategis. Bagaimana tidak strategis, seruan itu menegaskan bahwa hukum terkait erat dengan etika dan moralitas.
Arkian, pemikiran dari Michel Foucault tentang kehendak untuk berkuasa (will to power) bisa kita sandingkan dengan visi NKRI Bersyariah. Islam pada esensinya diturunkan sebagai “jalan” (way atau syari’) menuju Sang Wajibul Wujud/Allah, syariah dirancang sebagai kebijaksanaan dalam bentuk ‘jalan’ dan ‘jalur’, dan ulama dan fuqaha dipandang sebagai ahli yang penuh pemahaman dan pencerahan.
Akan tetapi, hari-hari ini kita bisa mengatakan bahwa ada pihak yang memaksa Islam dikotakkan menjadi satu pola/cara hidup (a way of life), syariah menjadi pemaksaan hukum (force of law), dan ulama sebagai manusia dempang (tong kosong) yang dirasuki kekuasaan. Wallahu a’lam.