Hassan Hanafi, tokoh pergerakan Mesir, penulis dan pemikir terkemuka yang awalnya banyak diserang dan diasingkan oleh pemerintah Mesir, namun kini pemikirannya terbukti benar. Ia menulis tentang “Al-Yasar Al-Islam” atau “Kiri Islam”.
Ia juga menulis banyak pemikiran filosofis yang menjadi landasan pergerakannya. Karya monumental Hassan Hanafi ini lahir bukan di ruang hampa, tetapi puncak dari seluruh pemikirannya yang berangkat dari konsep dasarnya tentang filsafat dan agama sehingga melahirkan sebuah aliran pemikiran yang ia sebut gerakan pembaharuan pemikiran dan menggagas gerakan revolusi, awalnya ia tuangkan dalam karya ad-Din wa Tsaurah fi al-Mishr (Agama dan Revolusi di Mesir).
Pemikiran Hanafi tersebut menarik minat dari seorang peneliti Jepang bernama Kazuo Shimogaki dan menuliskannya dalam buku yang sudah diterbitkan dalam Bahasa Indonesia berjudul: Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme (2001).
Di sini saya tidak ingin membahas lebih jauh mengenai pemikiran Hassan Hanafi secara khusus, tetapi ingin mengambil benang merahnya. Untuk memecahkan permasalahan umat manusia, seperti disebutkan Hanafi, kita harus berangkat dari satu pertanyaan mendasar: dari mana kita mulai?
Pertanyaan “sederhana” itu menjadi kata kunci untuk melihat bagaimana peran filsafat dalam agama dan sekaligus peran filsafat dalam perubahan suatu peradaban.
Pembaharuan harus berangkat dari aspek-aspek filosofis. Dengannya filsafat adalah satu keharusan. Bahkan, agama sekalipun harus berangkat dari filsafat. Tanpa filsafat, agama akan kehilangan muatan logisnya, yang justru di situlah nyawa dari agama. Kita tunda dulu masalah kaitan filsafat dan agamanya, nanti di bawah akan kelihatan titik temunya.
Apakah ada bukti bahwa filsafat adalah sumber dari peradaban? Yunani (Greek) pada zaman klasik hingga abad pertengahan dikenal sebagai pusat peradaban, karena banyak melahirkan para filosof dunia. Dimulai dari Thales hingga Socrates, Plato, Aristoteles, dan banyak lagi filosof dunia lahir di Yunani.
Tetapi, kenapa saat ini Yunani terpuruk? Ekonomi Yunani jatuh hingga titik nadir. Yunani berada di ambang kebangkrutan. Itu karena setelah abad pertengahan hingga saat ini filsafat mati di Yunani. Tidak ada lagi filosof yang lahir dari Yunani. Peninggalan peradaban Yunani hanya dijadikan tempat wisata. Sementara pemikirannya ditinggalkan.
Di Yunani pada abad klasik ada Aristoteles, filosof yang dikenal dengan gelar “Guru Pertama”. Guru Keduanya siapa? Yaitu Al-Farabi, seorang filosof di dunia Arab atau dunia Islam. Ia dikenal sebagai “Al-Mu’alim ats-Tsani” atau Guru Kedua. Dengannya dapat dikatakan bahwa kegemilangan pemikiran Yunani dilanjutkan di dunia Arab. Dan, apa yang terjadi ketika filsafat bersinar di dunia Arab saat itu? Sumber peradaban dunia di kala itu adalah Arab.
Baghdad adalah sumber dari para ilmuwan dunia. Banyak ilmuwan dari negeri Barat yang mendatangi Baghdad dan mempelajari keilmuan yang lahir dari dunia Arab. Bukan hanya Al-Farabi, di dunia Arab saat itu ada Ibn Sina (Avicenna dalam tradisi keilmuan Barat, yang sampai saat ini masih menjadi rujukan dalam bidang kedokteran), Al-Khawarizm (Logaritma lahir dari nama Al-Khawarizm, ahli matematika Arab). Dan banyak lagi tokoh filosof Muslim lainnya.
Tetapi apa yang terjadi kemudian? Datanglah masa al-Ghazali dan membredel pemikiran filsafat. Filsafat dinilai sebagai satu kesesatan. Dalam kitab Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof) Al-Ghazali membabat habis pemikiran filsafat. Filsafat dinilai telah mengotori agama. Kaum filosof tidak pernah sampai pada kebenaran karena menggunakan logika manusia yang bersifat kotor. Ia menggantikan metode logis filsafat dengan metode yang ia sebut Dzauqi, penyaksian lewat hati. Ilmu tidak bisa didekati oleh akal tetapi oleh hati. Akhirnya, tibalah pada era setelahnya di mana filsafat diharamkan. Terjadilah gelap gulita peradaban. Hingga kini, dunia Islam mundur dalam ilmu pengetahuan, terutama di bidang sains.
Pemikiran filsafat beralih ke mana setelah dari dunia Islam? Yaitu ke Barat dan ke Iran. Barat maju dalam ilmu pengetahuan hingga merajai setiap ranah ilmu karena sampai saat ini masih melestarikan filsafat. Bahkan, tidak henti-hentinya menelurkan para filosof. Semua pemikiran filsafat yang awalnya berbahasa Arab lalu diterjemahkan dan dibuat resume dalam bahasa Inggris. Pada saat yang sama, buku-buku filsafat di dunia Muslim dibakar.
Tetapi, masih ada sedikit harapan, untuk dunia Islam. Filsafat tidak sepenuhnya mati. Ia beralih ke negeri para mullah, Iran. Iran dengan latar belakang budaya Persia yang sudah lama cinta ilmu pengetahuan tidak begitu saja menerima kritikan al-Ghazali, bahkan pemikiran al-Ghazali melahirkan lagi ilmu filsafat baru berupa penggabungan antara filsafat dan mistisisme yang dapat dilihat dalam pemikiran Suhrawardi dan Mulla Shadra. Filsafat dan Sufisme menjadi satu aliran filsafat tersendiri, dan inilah yang kemudian menguatkan posisi Iran sampai saat ini. Filsafat berkembang dan pada saat yang sama pemikiran agama yang bernuansa sufistik pun berkembang.
Peradaban mana lagi yang maju karena filsafat? Jepang. Di Jepang, filsafat berkembang luas sampai saat ini. Confusianisme, Buddhisme, Neo-Confusianisme, dan empirisme dari filsafat Barat masih terus dipelajari. Bahkan, Jepang merajai empirisme, Barat pun hampir kalah dalam penguasaannya terhadap empirisme.
Bagaimana dengan Indonesia? Pernahkah pemikiran filsafat berkembang di sini? Atau pernahkah ada filosof Indonesia yang mendunia? Yang banyak berkembang adalah mistisisme yang kuat dan ajaran agamanya berkiblat pada pemikiran al-Ghazali, di mana filsafat dianggap tabu dan dilarang. Untuk bidang filsafatnya memang sempat berkembang, bahkan jika kita baca tulisan-tulisan Soekarno, nuansa filosofisnya sangat kental, tetapi filsafat Barat. Itu saja sudah bisa menggoncang dunia. Apalagi jika Indonesia dapat melahirkan pemikiran filsafat sendiri dan mendunia.
Mari kita bertanya lagi: “Bisakah suatu bangsa peradabannya maju tanpa filsafat?” Atau pertanyaan lain: “Pernahkah Indonesia maju peradabannya di kancah dunia?” Inilah maksud dari pertanyaan awal di atas, yaitu untuk menjawab pertanyaan dari mana kita harus mulai?