Sedang Membaca
Setelah Mbah Hasyim Asy’ari, Sang Putra Zaman adalah Mbah Moen
Rijal Mumazziq Z
Penulis Kolom

Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah Kencong Jember

Setelah Mbah Hasyim Asy’ari, Sang Putra Zaman adalah Mbah Moen

Dalam ceramahnya, KH. Maimoen Zubair menjelaskan sosok KH. M. Hasyim Asy’ari sembari mengutip maqalah al-Insan Abna-uz Zaman, manusia adalah anak zamannya. Menurut beliau, pendiri NU itu layak dijuluki sebagai abna-uz zaman. Mengapa?

Sebab, di eranya, nyaris semua ulama di Jawa dan Madura terkoneksi dengannya. Bahkan, tidak ada ceritanya seorang menjadi ulama besar, kecuali pernah beristifadah dalam hal keilmuan dengan Kiai Hasyim.

Para masyayikh pondok Sarang, juga Lasem, Lirboyo, Ploso, hingga Buntet, punya kaitan keilmuan dengan beliau. Mbah Moen bertanya: Lalu di mana sekarang Sang Putra Zaman?

“Wallahu a’lam, hanya Allah yang paling mengerti,” Mbah Moen menjawab sendiri pertanyaannya.

Apa yang disampaikan oleh Mbah Moen bagi saya menarik. Sebab, saya meyakini, beliaulah yang menjadi sang Abna-uz Zaman dalam kurun seperempat abad terakhir. Ada beberapa alasan mengapa hal ini layak disampaikan.

Pertama, soal keilmuan, Mbah Moen adalah ulama pilih tanding. Di Indonesia, murid-muridnya menyebar dan mendirikan banyak pesantren, berkiprah di bidang politik, hingga menjadi akademisi. Jejaring alumni Sarang ini menjadi gugusan yang kokoh, khususnya dalam kajian fikih.

Silakan dilihat, dalam forum bahtsul masa-il, khususnya di Jawa Tengah, peranan para santri Mbah Moen demikian menonjol. Sebagai seorang ‘allamah, faqih, muarrikh, sekaligus ahli hikmah, beliau sudah mencapai al-mutabahhir fil-‘ulum, atau dalam bahasa mudahnya, ilmune nyegoro. 

Yang luar biasa, Mbah Moen juga menjadi tempat para Sadat Alawiyyin atau para Habaib berguru. Habib Soleh bin Ali Alatas, Tegal, sempat sembilan tahun mondok di pesantren Al-Awar, sebelum berangkat ke Tarim, Hadramaut.

Baca juga:  Generasi Milenial Arab Lebih Suka Bicara Bahasa Inggris

Demikian pula dengan Habib Abdullah Zakky al-Kaff, Bandung, dan banyak nama habib lainnya. Para dzurriyah Rasulullah ini sangat menghormati gurunya. Sebaliknya, Mbah Moen sangat mencintai mereka. Sudah banyak kisah seputar penghormatan dan kecintaan Mbah Moen ini kepada para habaib. Silakan dicari. Bahkan, ketika prosesi pemakaman di Ma’la, KH. Najih Maimoen dan KH. Wafi Maimoen secara khusus meminta kepada Habib Rizieq Syihab dan menantunya, Habib Hanif Alatas, untuk mendoakan ayahandanya. Perkara terjadi polemik terkait hal ini, itu urusan lain. Yang pasti, Mbah Moen adalah muhibbin dengan kualitas kecintaan 24 karat kepada Baginda Rasulullah dan keturunannya. Paham kan? 

Kedua, memiliki jejaring ulama dunia. Harus diakui, selain dicintai para ulama di Indonesia, Mbah Moen adalah satau satu jujukan para ulama luar negeri, dari Mesir, Saudi Arabia, Lebanon, Yordania, Libya, Maroko, Suriah, Yaman dan sebagainya. Para ulama ini, selain bersilaturahim, biasanya juga meminta sanad keilmuan dan hadits kepada Mbah Moen. 

Biasanya, para ulama ini berkunjung ke kediaman Mbah Moen sebelum maupun sesudah menghadiri acara pagelaran internasional yang digelar PBNU, seperti ICIS, ISOMIL, multaqa shufi al-‘alami, hingga konferensi internasional ulama bela negara yang dihelat Habib Luthfi bin Yahya di Pekalongan beberapa kali. Ada juga yang sowan sebelum menghadiri acara yang digelar oleh murid-muridnya. Misalnya Habib Salim Asy-Syathiri (Yaman), Syekh Yusri Rusydi Jabr al-Hasani (Mesir), Syekh Rajab Dieb (Suriah), Syekh Abdul Hadi al-Khorsah (Lebanon), dan sebagainya. 

Baca juga:  Kenapa Santri Tidak Menguasai Sains, padahal di Kitab Kuning Melimpah?

Ketika  beliau wafat, para ulama di luar negeri juga menyampaikan duka cita mendalam. Termasuk Habib Umar bin Hafidz, Yaman, salah seorang ulama berpengaruh di dunia Islam, yang menyampaikan belasungkawanya dalam telekonferensi ngaji kitab karya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari yang digelar PBNU.

Mbah Moen adalah salah satu, atau mungkin generasi terakhir, ulama Nusantara yang menjumpai era kakek-anak-cucu keluarga Sayyid al-Maliki di Mekkah. Salah seorang keluarga ulama tersohor dan berpengaruh di Hijaz. Beliau berguru kepada Sayyid Alawi al-Maliki, kemudian berkarib dengan putranya, Sayyid Muhammad, lantas dengan cucu sang guru, Sayyid Ahmad. Komplit sudah. Berjumpa dan berguru kepada kakek hingga cucu; Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Alawi al-Maliki. Mbah Moen sangat mencintai keluarga gurunya ini. Bahkan, terdapat foto yang magnetik: beliau mencium tangan Sayyid Ahmad.

Demikian eratnya koneksi antara keluarga Mbah Moen dengan keluarga al-Maliki, Mbah Moen setiap kali umrah dan haji senantiasa sowan ke Rushaifah, kediaman keluarga besar generasi al-Maliki. Selebihnya, putra, menantu dan para santri beliau juga banyak yang mondok di keluarga yang terpandang dalam keilmuan ini. Yang paling mutakhir, prosesi salat jenazah dipimpin oleh Sayyid Ashim bin Abbas bin Alawi bin Abbas al-Maliki.

Keluarga al-Maliki memang memiliki relasi kuat dengan para pelajar Nusantara. Sejak era Sayyid Abbas, guru dari Kiai Hasyim Asy’ari; lalu dilanjutkan putranya, Sayyid Alawi; hingga cucu, Sayyid Muhammad dan cicitnya, Sayyid Ahmad.

Baca juga:  Bung Karno dan Gus Dur sebagai Penulis Esai

Dalam kajian keilmuan Ahlussunnah wal Jamaah di kawasan Nusantara, keluarga al-Maliki menjadi jujugan para pelajar, selain keluarga Syekh Ismail Zain al-Yamani. Selebihnya, ‘Allamah Habib Zen bin Ibrahim bin Sumaith di Madinah juga menjadi destinasi studi para pelajar Indonesia dalam kurun tiga dasawarsa terakhir. Dalam karyanya, al-Ulama al-Mujaddidun, Mbah Moen bahkan menempatkan Habib Zen sebagai salah seorang mujaddid (reformer) di abad 14 hijriah.

Perjalanan keilmuan Mbah Moen memang menyiratkan kegigihan seorang pelajar. Setelah mondok di Lirboyo, kemudian berguru kepada para masyayikh di Rembang, beliau berguru ke Makkah dan menjumpai generasi emas: Syekh Hasan Masysyath, Syekh Amin Quthbi, Sayyid Alawi al-Maliki, dan Syekh Yasin bin Isa al-Fadani.

Dalam salah satu riwayat, beliau juga berguru kepada KH. Abdullah bin Nuh dan mengaji Ihya’ Ulumiddin kepada beliau, sserta kepada muhaddits asal Betawi, Syekh Muhajirin Amsir Addari, penulis Misbahudz Dzalam, syarah Bulughul Maram.

Lengkap sudah. Mbah Moen telah menimba pengetahuan dari berbagai sumur ilmu. Beliau menghimpun keilmuan Islam klasik melalui kitab turats, mereguk kecintaan terhadap dzurriyah Rasulullah, sekaligus mewarisi kebijaksanaan ala ulama Nusantara. Semua diracik sedemikian rupa hingga menghasilkan keilmuan Islam yang merindang dan keindonesiaan yang mengakar kuat. Inilah yang menjadikannya Sang Anak Zaman. Wallahu a’lam Bisshawab

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
4
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top