Ketika Kota Malang jatuh ke tangan Sekutu, 23 Juli 1947, Bung Tomo mengurus dua kurir menyampaikan kabar ini kepada KH. M. Hasyim Asy’ari. Saat itu, Kiai Hasyim sedang ngobrol dengan KH. Adlan Aly dan KH. Ghufron Faqih, pimpinan Barisan Sabilillah Surabaya.
Di film Sang Kiai (2013), sosok Kiai Ghufron digambarkan berambut ikal, berpeci hitam rapi, dengan menyandarkan sorban di pundak kirinya. Dirinya yang dengan sigap menolong Kiai Hasyim yang pingsan setelah shock mendengar kabar kejatuhan Kota Malang ke tangan musuh. Detik-detik kewafatan Kiai Hasyim yang ada dalam film Sang Kiai diadaptasi dari keterangan para saksi mata yang termuat dalam karya Abubakar Atjeh, “Sedjarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar” (1957), halaman 115-119.
Nama KH. Ghufron Faqih memang tidak sepopuler ulama Surabaya lain. Namun, kiprahnya tidak bisa diremehkan. Dalam Muktamar NU ke-15 yang digelar di Surabaya, 1940, namanya masuk dalam struktur Tanfidziyah HBNU bagian Dakwah bersama KH. A. Manaf Murtadlo.
Ketika Barisan Sabilillah dibentuk pada 7 Nopember 1945, dirinya ditunjuk sebagai pimpinan di Surabaya. Bersama Laskar Hizbullah dan kelaskaran lain, Kiai Ghufron bahu membahu mempertahankan Surabaya dari gempuran Sekutu. Sayangnya, tidak seperti Hizbullah yang sudah banyak diulas di beberapa buku, kiprah Barisan Sabilillah masih samar-samar dan tercecer di banyak buku.
Sejak awal November 1945, bersama para ulama lain, Kiai Ghufron yang lahir pada 1901 ini bermarkas di rumah Kiai Yasin, di Blauran Gang 1, Surabaya, di bawah komando Markas Besar Oelama Djawa Timur (MBODT). Di depan gang ini, kata Des Alwi dan Hario Kecik dalam memoarnya tentang Pertempuran Surabaya, setiap malam diadakan prosesi doa bersama dan pembagian air suwuk oleh para kiai yang diikuti para pejuang. Ketika markas ini dibom Sekutu, menjelang akhir November 1945, para ulama memindahkan markasnya di Waru, Sidoarjo. (Bangunan MBO alias Markas Besar Oelama yang puluhan tahun merana kini sudah dikelola oleh GP Ansor Jawa Timur, syukurlah!)
***
Bisa dibilang, para penggerak NU di kawasan Surabaya di era awal berdirinya, hingga era revolusi kemerdekaan, baik level HBNO maupun Ranting, merupakan “Jaringan Tebuireng”. Adik Kiai Ghufron, Rosyad namanya, bahkan menjadi sopir pribadi KH. A. Wahid Hasyim.
Dalam “Berangkat Dari Pesantren”, KH. Saifuddin Zuhri menyebut Rosyad, santri Tebuireng itu, yang kesana kemari mengendarai kuda besi Chevrolet Cabriolet milik Kiai Wahid Hasyim. Rosyad sekaligus menjadi kurir Kiai Wahid dalam komunikasi rahasia di antara jejaring yang dibina Kiai Wahid selama gerilya.
Selain Kiai Ghufron dan Rosyad, ada alumni Tebuireng lain, seperti KH. A. Manaf Murtadlo, KH. A. Aziz Diyar, KH. A. Wahab Turcham dan KH. Fattah Yasin. Nama terakhir ini pernah disekap Kempeitai gara-gara dicurigai bersikap anti-Jepang. Sikapnya memang keras dan blak-blakan, khas Arek Suroboyo. Bung Karno menyukainya gayanya ini dan tiga kali menunjuknya sebagai menteri. Bung Karno tahu kiprah Kiai Fattah muda sejak 1938, ketika alumni Tebuireng ini menjadi aktivis Ansor dan Gerindo alias Gerakan Rakyat Indonesia, partai politik yang lebih radikal dibandingkan dengan PNI maupun Parindra.
Baik Kiai Manaf Murtadlo, Kiai Aziz Diyar, Kiai Wahab Turcham maupun Kiai Fattah Yasin, merupakan para pendiri Madrasah Muallimat di Kawatan, Surabaya pada 1954, yang kelak berkembang menjadi Yayasan Taman Pendidikan dan Sosial Khadijah, Surabaya. Kini, lembaga pendidikan khusus kaum hawa yang didirikan oleh jaringan alumni Tebuireng ini menjadi salah satu yang terbaik di Surabaya. Menaungi Playgroup, TK, SD, SMP, SMA dan panti asuhan.
Sedangkan nama KH. Ghufron Faqih, yang wafat pada 1950, diabadikan sebagai nama SD di kawasan Simokerto, Surabaya. Wallahu a’lam bisshawab