Para pendahulu, atau assabiqunal awwalun, musik Dangdut Indonesia itu ya orang-orang Arab. Mereka mendirikan orkestra nDangdut dengan melakukan pola hibrida: cengkok khas Arab, alat musik dari India dan Barat, irama mendayu dari Bollywood, syair melankolis Melayu, dan disesuaikan dengan selera rasa rakyat Indonesia.
Ini awal mula terjadi kultur hibrida musikal (yang hibrid bukan hanya bibit jagung tapi musik) di “zaman bergerak” (1920-1945), yang berlanjut di era (semacam) “revolusi kebudayaan” ala Bung Karno yang memberangus musik ngak-ngik-ngok Barat karena dianggap kontrarevolusioner.
Para pelopor ini, antara lain Syekh Albar (abahnya Ahmad Albar rocker Godbless), Munif Bahasuan, Ali dan Umar Alatas, Husein Bawafie, SM. Alaydrus, Said Effendi, hingga Husein Aidid. Sebagai Golkar (Golongan Keturunan Arab) tentu saja corak musiknya banyak dipengaruhi musik Timur Tengah. Mereka kemudian juga dipengaruhi oleh orkes Melayu dan pada akhirnya memopulerkannya melalui grup orkes bentukannya.
Orkestra paling top saat itu, era 1960-an adalah Sinar Kemala. Grup ini muncul di Kampung Arab Ampel, Surabaya yang dipelopori musisi keturunan Arab, A. Kadir. Dia mengembangkan genre terbaru Dangdut, orkestra dengan jumlah musisi 24-27 orang, dan vokalis 4 orang.
Baca juga:
- Mengenal Alawiyyah, Tarekat Para Habib
- 3 Habib yang Setia di Jalan Ilmu Pengetahuan
- Trend Habib dan Ulama
Di gerbong lain, ada Said Effendi, Arab kelahiran Bondowoso, yang membentuk grup Irama Agung, Umar Fauzi Aseran dengan Sinar Medan, Umar Alatas melalui Chandraleka, Husein Bawafi dengan Chandralela, hingga Husein Aidid dengan kelompok Kenangan. Ini belum menghitung reputasi komponis seperti Achmad Vad’aq.
Nah, dilihat dari fam-nya, nama-nama di atas ini para habaib semua, para “Saadat Alawiyyin” yang menekuni seni. Seni nDangdut.
Era keemasan kaum Arab Hadrami dalam dunia Dangdut ini, antara lain ditandai dengan masih populernya lagu lawas era mereka hingga saat ini, antara lain “Seroja” yang dinyanyikan Said Effendi, dan “Di Suatu Masa” yang lebih dari setengah abad silam dilantunkan oleh Hasnah Tahar.
Selain itu bapak ibu kita kayaknya masih ingat lagu-lagu kenangan era Mashabi dan Ida Laila yang bercengkok Arab, maupun Ellya Khadam yang berporos ke playback singer Bollywood seperti Asha Boshle dan Lata Mangeshkar.
Dalam perkembangannya, orkes musik bikinan orang Arab yang berakar pada musik gambus dan zafin lokal ini mulai tergeser revolusi musik yang dicanangkan Rhoma Irama, sejak pertengahan 1970-an, yang lebih fun dan mengusung melodi gitar elektrik ala Led Zeppelin dan Deep Purple. Benar kata Bung Karno, Revolusi bakal memakan anaknya sendiri. Dan, revolusi Dangdut yang dicanangkan Rhoma bersama OM. Soneta lambat laun meminggirkan musikus klan Arabia. Bahkan, dalam wawancara dengan Andrew N. Weintraub, Rhoma jelas-jelas menyebut apabila Dangdut berembrio pada musik Dangdut Melayu Deli Serdang, bukan dari kawasan lain. Klaim ini dibantah oleh Ratu Dangdut, Elvys Presley, eh Elvy(s) Sukaesih, yang menyebut bahwa dangdut secara formatif lahir pascakolonial dengan berutangbudi pada gairah musik India yang masuk melalui impor akbar film Bollywood di era 1950-an.
Ketika Rhoma dengan gaya rambut “Kriba” (Kriting Banget) mendominasi kultur hibrida dangdut melalui revolusi bermusiknya dan mereguk popularitas melalui film-filmnya, 1970-1980 an, klan Arab Hadrami masih bertahan, namun hanya menyisakan beberapa gelintir nama beken, seperti seperti Muchsin Alatas (bukan Ketua FPI itu, melainkan suami Titik Sandhora), Hamdan Attamimi (ATT), Fahmi Syahab “Kopi Dangdut” yang njoget-nya nggak jelas itu (hahaha).
Mereka bersaing, atau bahasa agamanya fastabikulkhoirot, dengan kelompok Arab Pakistan seperti A. Rafiq, Fazal Dath, dan Husein Khan. Dalam 10 tahun terakhir, kelompok terakhir ini malah cuma menyisakan Nassar, eks suami Mudzdalifah, itu. Gerbong Arab Hadrami, apakah masih tersisa di jagat Dangdut? Entahlah.
***
Menelusuri jejak Arab Hadrami dalam musik Dangdut Indonesia bisa disejajarkan dengan meruntut jejak kuliner kaum peranakan Tionghoa dalam citarasa masakan Indonesia. Masing-masing memiliki kontribusi yang memperkaya khazanah budaya Indonesia.
Emha Ainun Nadjib, dalam sebuah tulisan di tahun 1979, pernah menegur masyarakat Indonesia yang telah “kehilangan jiwa berdangdut” dengan merujuk pada musikalitas Dangdut sebagai musik jiwa. Menulis untuk kalangan terpelajar dan menengah maupun elite yang dianakemaskan oleh narasi modernitas Barat, Cak Nun mencatat, meskipun mereka berhasrat untuk maju, semua masyarakat Indonesia jiwanya “Dangdut sekali”. Dengan membanjirnya produk Amrik di pasaran Indonesia saat itu, Cak Nun bertanya: “Siapa pula kita ini, kalau bukan si cokelat berbaju bule tapi bermental [dangdut]?”.
Dangdut, kata Andrew N. Weintraub dalam karyanya, “Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia” (KPG: 2012), bukan saja meresapi sanubari orang Indonesia, tapi kekuatannya bersemayam dalam produksi ragawi-badani bunyi vokal. Jadi, di manapun rakyat Indonesia ada, di situ dangdut mengalun, pelan maupun menghentak, norak maupun elegan, murahan maupun glamour. Wallahu A’lam Bisshawab
Wah, keren ini. Husein Bawafie dengan Candralekanya, saya ingat album instrumentalia Melayu. Nyari ke mana-mana enggak ketemu, sejak tahun 1999 sampai sekarang. Sudah nyari 20 tahun enggak ketemu
Penasaran juga saya, Kiai.