Sedang Membaca
Abu Janda dan Kadrunisasi
Rika Iffati Farihah
Penulis Kolom

Aktivis Fatayat NU DIY. Lulusan magister sains psikologi UGM Yogyakarta.

Abu Janda dan Kadrunisasi

Abu Janda

Beberapa waktu lalu saya tercengang menyaksikan lini masa twitter saya. Mbak Alissa Wahid, putri Gus Dur dan koordinator nasional Jaringan GUSDURian, diserang oleh banyak akun twitter terkait pernyataan beliau di beberapa media online mengenai Permadi Arya yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Janda.

Saat itu pas banget saya lagi baca buku “Matinya Kepakaran” oleh Tom Nichols. Banyak hal terasa seperti contoh langsung dari berbagai fenomena yang disebut oleh Nichols, seperti soal equality bias, soal dunning-krueger effect. Ya bayangin aja, ada yang berani-beraninya ngegas nanya gini ke mbak Alissa: “emang apa yang sudah Anda lakukan untuk membela minoritas.” Hah..ciyuus?? Orang yang paling enggak tahu emang biasanya paling sering ngegas dan ngerasa benar ya?

Tapi di tulisan kali ini saya ingin fokus ke satu hal. Mereka yang mendukung Abu Janda rata-rata mengatakan bahwa bagaimanapun juga Permadi sudah berjasa besar dalam menangkal radikalisme dan intoleransi, jadi tidak seharusnya “dilepeh” dari NU. (Padahal ya nggak ada yang ngelepeh. Dianggap “bukan representasi NU” kan tidak sama dengan “bukan NU”? duh!)

Yang ingin saya bahas adalah soal: benarkah Abu Janda sudah berperan positif dalam mengatasi radikalisme? Jawaban saya: kayaknya enggak deh.

Lha tapi dia itu kan sudah berjasa banget menghadapi “kubu sebelah” yang Islamnya nyerempet-nyerempet radikal? Harus ada lho yang melakukan itu. Kadrun gak bisa dihadapi hanya pakai cara halus macam yang dilakukan Mbak Alissa, dkk.

Baca juga:  Ideologi Gerakan Keagamaan: Ditinjau dari Aspek Politik, Ekonomi, Budaya dan Hukum

Begini ya, salah satu masalah terbesar masyarakat saat ini adalah soal polarisasi. Soal kubu-kubuan. Cebong-Kampret/Kadrun, Islam ini vs Islam itu, pengikut ustadz ini vs ustadz itu, dan lain-lain.

Pengelompokan macam gini sebenarnya fitrah manusia sih. Lebih sering gak memunculkan masalah berarti. Kubu-kubuan sepak bola udah dari dulu ada. Meski kadang bikin tawuran, tapi sebagian besar orang ya baik-baik aja.

Tapi beda masalahnya bila kubu-kubuan ini terjadi di hal-hal semacam politik dan agama. Dampaknya lebih besar, karena orang juga lebih mati-matian mempertahankan identitas kelompok semacam ini.

Kenapa ini jadi masalah besar? Kenapa berbahaya? Ini panjang banget bahasannya, musti baca buku-buku terkait psikologi kelompok atau minimal buku Jonathan Haidt deh kalau mau paham betul. Gampangannya, terlalu partisan atau memihak kelompok tertentu membuat otak Anda bekerja dengan cara berbeda. Bias konfirmasi semakin kuat mencengkeram. Segala yang sesuai dengan kepentingan kelompok semakin mudah melekat di kepala, membuat kemampuan Anda menilai situasi, data, atau bukti-bukti jadi timpang: terlalu berat memihak kelompok Anda. Belum lagi ada outgroup homogeneity bias: kelompok sana pasti jahat semua, atau bodoh semua.

Ketika polarisasi kubu terlalu tajam, sebagai bangsa kita sulit bersepakat mengenai hal-hal penting yang menentukan arah dan masa depan kita bersama. Gimana mau membahas cara terbaik mengatasi covid-19 kalau orang-orang memilih sumber informasi bukan berdasarkan kredibilitas tapi kecocokan pandangan politik atau agama? Gimana mau ngomong soal mengatasi problem lingkungan kalau lini masa sosmed isinya penuh eyel-eyelan soal kelompok mana yang paling benar?

Baca juga:  Statemen Gus Yaqut dan SE Menag dalam Kajian Turast Klasik

Nah, yang dilakukan orang-orang seperti Abu Janda adalah mempertajam polarisasi semacam ini.

Lho dia itu sedang berusaha melakukan counter narasi, Mbak! Jangan salah! Kalau tidak ada orang macam dia, banyak orang terhanyut narasi radikal/intoleran.

Keliru. Ini cara berpikir yang jelas sudah dicengkeram bias kekelompokan.

Ada kemungkinan lebih besar intoleransi semakin meningkat gara-gara model komunikasi provokatif semacam yang dilakukan Permadi Arya.

Kok bisa?

Coba lihat pengalaman Anda sendiri. Apa pernah Anda tiba-tiba menyadari kesalahan dan berubah keyakinan hanya karena seseorang menghina-hina atau mengejek apa yang Anda yakini dengan setulus hati? Apalagi seseorang itu sosok entah siapa di sosmed yang tak benar-benar Anda kenal di dunia nyata.

Faktanya, manusia tidak mau salah. Levelnya berbeda-beda, tetapi kita semua tak suka disalahkan. Semakin kita dipojokkan, semakin kita memperkuat benteng pertahanan. Semakin kita mencari alasan pembenaran. Entah dengan sadar atau tidak.

Fakta kedua, logika semata tidak bisa mengubah intuisi yang terlalu kuat. Memberikan argumen atau bukti sejelas apa pun pada seseorang yang sudah punya keyakinan intuitif berbeda, apalagi terkait agama atau politik, adalah hal sia-sia.

Terlalu menekankan soal perbedaan akan semakin memperparah masalah dan perseteruan. Kita dibuat merasa seolah-olah seisi dunia isinya cuma dua jenis kelompok aja. Seolah-olah manusia dengan beragam keunikannya ini cuma punya satu macam identitas aja: anggota kelompok kita atau anggota kelompok mereka (us vs them).

Baca juga:  Manuskrip Arab tertua: Kitab karya Abu Ubaid al-Qasim ibn Sallam

Seolah-olah kalau dulu memilih Jokowi ya harus mendukung semua kebijakan yang dibuatnya, sekacau apa pun. Dulu mendukung sekarang mengkritik? Wah pasti barisan sakit hati atau kadrun yang menyusup nih.

Padahal kan saya bisa saja setuju dan mendukung Jokowi untuk hal-hal tertentu dan mengkritik untuk hal-hal lain. Tapi bagi mereka yang tercengkeram bias kekelompokan, ini adalah sikap tidak konsisten. Padahal konsisten itu seharusnya pada prinsip, bukan pada dukungan terhadap sosok tertentu. Hanya saja, setia pada prinsip itu berarti harus bisa berpikir abstrak dan menganalisis banyak informasi yang bertentangan. Repot. Lebih gampang setia pada tokoh tertentu. Jelas ukurannya, gak perlu banyak mikir.

Ini juga sebenarnya masalah dengan benak manusia sih. Simplistis. Ngapain mikir ribet kalau bisa mikir gampang kan ya? The law of least effort berlaku, seperti kata Kahneman.

Tapi plis, jangan kebawa intuisi macam ini untuk hal-hal penting. Untuk hal-hal yang perlu dipikir ribet, yang taruhannya masa depan kita sebagai bangsa misalnya, kita perlu berupaya lebih keras. Kita perlu memahami kompleksitas manusia. Kita perlu mencari info sana-sini, mengumpulkan data yang beragam. Minimal tidak berkomentar macam-macam yang bisa memperkeruh suasana.

Terus terang saya juga agak khawatir dengan tulisan ini. Tapi ya semoga lebih memperjelas suasana ketimbang memperkeruh. Yok bisa yok!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top