Sedang Membaca
Sayangi Alam: Nilai-nilai Kearifan Lokal di Era New Normal
Ribut Lupiyanto
Penulis Kolom

Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)

Sayangi Alam: Nilai-nilai Kearifan Lokal di Era New Normal

Bumi

Dunia internasional termasuk Indonesia memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada setiap tanggal 5 Juni 2020. United Nations Environment Programme (UNEP) menetapkan tema peringatan tahun ini adalah “Time for Nature”. Tahun ini merupakan peringatan istimewa mengingat dalam suasana pandemi Covid-19.

WHO menyatakan virus corona dapat menjadi endemik seperti HIV. Virus ini diprediksi tidak akan pernah hilang meskipun antivirus ditemukan sekalipun. Dunia diminta bersiap diri untuk beradaptasi dan menyambut era “the new normal”.

Pandemi Covid-19 sendiri merupakan bagian dari bencana kesehatan lingkungan. Kesehatan lingkungan sebagian besar dipengaruhi oleh faktor budaya manusia. Salah satu aspek yang dapat dioptimalkan adalah kontribusi budaya atau sistem pengetahuan lokal. Budaya adalah pemandu dan pemerkaya pembangunan berkelanjutan. Dimensi budaya penting diintegrasikan dengan aspek lain dalam meminimalisasi dampak pandemi di era new normal nanti.

Nilai Kearifan Lingkungan 

Pembangunan berkelanjutan merupakan proses pembangunan yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan  (Brundtland, 1987). Pencapaian pembangunan berkelanjutan ditentukan oleh upaya melestarikan dan memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan ekonomi dan keadilan sosial.

Budaya memuat nilai-nilai luhur dan keyakinan sebagai pedoman, rencana perilaku, serta dasar memecahkan masalah yang berlaku antar generasi. Nilai tersebut meneguhkan keberpihakan budaya terhadap kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

Misalnya dalam budaya Melayu mengenal pepatah “Menyimak Alam, Mengkaji Diri“. Nilai ini mengajarkan agar dalam merancang dan melaksanakan pembangunan, haruslah diawali melalui kajian yang cermat terhadap alam dan semua potensi yang ada (sumber daya alam), serta mengkaji pula kemampuan diri (sumber daya manusia). Ada juga pepatah “Membangun Jangan Merosak, Membina Jangan Menyalah”. Nilai ini mengajarkan, agar dalam merancang dan melaksanakan pembangunan jangan sampai menyalahi ketentuan agama dan nilai-nilai budaya serta norma-norma sosial masyarakatnya. Beberapa nilai lain adalah “Tanda orang berbudi pekerti, merusak alam ia jauhi, tanda ingat kehari tua, laut dijaga bumi dipelihara” dan “Kalau hidup hendak selamat, pelihara laut beserta selat, pelihara tanah berhutan lebat…” (Effendy, 2005).

Baca juga:  Sejarah dan Makna Filosofis Tradisi Kupatan

Budaya Jawa oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I telah diletakkan dasar falsafah Hamemayu Hayuning Bawono bagi kehidupan masyarakat. Maknanya adalah komitmen untuk membuat bumi indah dan lestari. Visi keharmonisan hidup dengan lingkungan selanjutnya terjabarkan dalam misi Hamengku Buwono, yang berarti memelihara bumi. Muara aplikatif dari nilai filosofis tersebut adalah terbentuknya sikap Satriya (Marwito, 2005). Sikap ini membawa perilaku penuh tanggung jawab, konsisten, amanah, dinamis, dan obsesif.

Budaya Batak mengajarkan bahwa bumi sama dengan tanah, yang dalam bahasa Batak disebut tano memiliki satu kesatuan yang utuh (Pasaribu, 2011).  Kearifan lokal dari tano Batak pada dasarnya harus menjamin kelangsungan hidup suku Batak itu dari zaman ke zaman yakni dari zaman dahulu sampai kini dan pada zaman mendatang (Malau, 2013). Dalam keyakinan orang Batak, air adalah awal kehidupan jasmani. Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia adalah perpaduan air tubuh manusia surgawi putra putri para Dewata. Naipospos (2007) juga menyebutkan bahwa dalam kebudayaan Batak sudah terbentuk pola hubungan antar manusia dengan Pencipta, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan lingkungannya. Sehubungan dengan pesan Siboru Deak Parujar kepada keturunannya untuk “memelihara” bumi dengan segala isinya, terdapat pengertian untuk “memanfaatkan” bumi dengan segala isinya dengan arif dan bijaksana. Penganugerahan ini sekaligus pemaknaan pemberian warisan sebagai “UGASAN” bagi Si raja Ihat Manisia dan keturunannya. Manusia dan keturunannya diperkenalkan bahwa siapapun yang mencoba merusak bumi dan segala isinya akan dihukum Mulajadi Nabolon. Nagapadohaniaji yang semula merusak akhirnya melalui pengampunan berjanji akan menjaga.

Budaya Bali mengajarkan konsep Tri Hita Karana. Kebahagiaan manusia akan tercapai jika terjadi tiga hubungan yang harmonis. Ketiga elemen yang mesti berhubungan tersebut terdiri dari Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Parahyangan merupakan unit tempat suci (Pura) yang mencerminkan tentang Ketuhanan. Pawongan berupa unit dalam organisasi masyarakat adat sebagai perwujudan unsur antara sesama manusia. Palemahan berupa unit atau wilayah tertentu sebagai perwujudan unsur alam semesta atau lingkungan.

Baca juga:  Ziarah ke Makam Kiai Ageng Basyariah, Leluhur Gus Dur

Budaya masyarakat Pulau Timor (NTT) mengenal konsep segitiga kehidupan “Mansian-Muit-Nasi, Na Bua” yang berarti manusia, ternak, dan hutan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling memiliki ketergantungan. Prinsip ekosistem dan jejaring kehidupan yang saling hidup dan menghidupi sangat dihargai. Manusia mengartikan manfaat dari ternak dan hutan, ternak mencari makan di hutan dan manusia memelihara hutan. Jika salah satu dari ketiga unsur ini dipisahkan akan membawa dampak bagi unsur yang lain.

Semua suku dan adat di Indonesia memiliki kearifan lokal yang ramah lingkungan. Nilai-nilai inilah modal kuat bagi upaya pelestarian lingkungan. Faktanya banyak terjadi kesenjangan antara nilai budaya tersebut dengan perilaku sehari-hari. Sairin (2009) menjelaskan bahwa budaya perilaku (behaviour culture) telah menjauh dari budaya idealis yang dicita-citakan (expected culture). Efeknya sebagaimana diperingatkan dalam Al Qur’an Surat Ar Rum (Ayat 41) yaitu terjadi kerusakan lingkungan disebabkan karena ulah tangan manusia.

Strategi Revitalisasi

Manusia secara alamiah memiliki empat model budaya lingkungan, yaitu merusak, mengabaikan, memelihara, dan memperbaiki (Tasdiyanto, 2010). Model budaya mengabaikan dan merusak lingkungan hidup lebih cenderung terjadi dalam budaya rasional. Sedangkan budaya memelihara dan memperbaiki lingkungan terjadi dalam budaya tradisional.  Perilaku manusia terhadap  lingkungan akan  direspon sesuai dengan model budayanya.  Hoff (1998) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan membutuhkan perubahan-perubahan sosial budaya, khususnya dalam nilai dan perilaku ramah lingkungan.

Tantangan besar telah menghadang di depan. Arus globalisasi bermuatan budaya modern semakin tak terbendung masuk ke Indonesia. Kearifan lokal yang ramah lingkungan dalam kondisi darurat dan terancam tereliminasi. Gaya hidup yang materialis-hedonis telah menggeser sikap harmoni dengan alam (Hardjosoemantri, 2006). Konsekuensi atas fenomena ini menuntut upaya revitalisasi budaya dalam menggerakkan pembangunan berkelanjutan.

Baca juga:  122 Tahun Tebuireng dan Gus Dur (3): Mulai Berkarir Sebagai Penulis

Pertama, kebijakan pemerintah mesti memperhatikan dinamika lingkungan dengan program-program konservasinya. Hamengku Buwono X (2008) menegaskan bahwa permasalahan pembangunan disebabkan  faktor kebijakan yang tidak berlandaskan budaya sendiri. Berbagai upaya mendesak dilakukan pemerintah. Misalnya melalui kampanye budaya ramah lingkungan, festival budaya untuk menjaga lingkungan, fasilitas ruang publik yang berkarakter budaya Jawa, dan lainnya.

Kedua, pendidikan kebumian dan lingkungan mesti digencarkan secara formal maupun non formal. Hal ini dimaksudkan guna mengenalkan pada generasi muda yang akan mewarisi estafet pembangunan. Kerangka konseptualnya dapat mengadopsi konsep Pendidikan Pembangunan Berkelanjutan (Education for Sustainable Development). Konsep pendidikan penting memasukkan muatan budaya lokal yang aplikatif bagi pelestarian lingkungan.

Ketiga, masyarakat perlu diberi informasi dan diajak mengaktualisasikan kearifan lokal untuk menjaga lingkungannya. Prinsipnya agar masyarakat mampu berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan serta menjamin keberlanjutan fungsinya. Seniman, budayawan, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan semua elemen mesti diberdayakan sebagai penggerak implementasi budaya ramah lingkungan.

Keempat, masyarakat penting dikuatkan pegangan fundamentalnya yaitu sisi spiritualisme. Al-Qardhawi (2002) menegaskan bahwa permasalahan lingkungan pada dasarnya merupakan persoalan moralitas sehingga solusi efektifnya adalah dengan revitalisasi nilai-nilai moral, keadilan, keramahan, dan sebagainya. Spiritualisme hadir sebagai oase bagi dahaga moralitas manusia modern. Tesis tersebut menguatkan argumentasi untuk menempatkan agama sebagai landasan fundamental dalam pengelolaan lingkungan atau disebut ekospiritualisme. Umat penting disadarkan dengan sentuhan spiritual bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari bukti keimanan.

Semua pihak dan semua sarana penting melek ekologi guna menjamin pelaksanaan protokol kesehatan di era new normal. Pemimpin mesti berkomitmen mengoptimalkan potensi budaya untuk pelestarian lingkungan dan optimalisasi protokol kesehatan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top