Sedang Membaca
Kriteria Penilai Rawi Hadis dan Adab dalam Menilai
Rif'an Haqiqi
Penulis Kolom

Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, sekarang aktif sebagai Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo.

Kriteria Penilai Rawi Hadis dan Adab dalam Menilai

Jual Kitab Kuning Murah

Kriteria Penilai Rawi

Kali ini kita akan membahas mengenai kriteria seorang penilai rawi (jarih dan mu’addil). Seorang pengkritik rawi harus memenuhi beberapa kriteria agar kritikan atau penilaiannya terhadap periwayat hadis (rawi) dianggap sah. Syekh Abdul Hayyi al-Laknawi dalam al-Raf’u wa al-Takmil menyebutkan beberapa kriteria tersebut, berikut ini penulis sebutkan dengan sedikit penjelasan dari penulis:

Pertama, memiliki ilmu yang mapan; yakni ilmu syariat secara umum, dan khususnya ilmu jarh wa ta’dil. Sudah tentu ilmu menjadi syarat mutlak dalam hal ini. Karena jarh dan ta’dil adalah bagian dari ilmu, tentu dalam pelaksanaannya membutuhkan ilmu. Maka, orang awam dan orang yang hanya bermodal ilmu yang belum mapan, penilaiannya terhadap periwayat hadis tidak bisa diterima.

Kedua, memiliki ketakwaan dan sifat wira’i. Sifat wira’i adalah kemampuan seseoang untuk menjauhi perkara syubhat (belum jelas halal atau haram), terlebih perkara haram. Sifat wira’i sangat diperlukan karena menilai seorang periwayat hadis adalah hal yang sangat serius. Orang yang memiliki sifat wira’i tentu akan berhati-hati dan tidak sembarangan dalam menilai orang lain, apalagi penilaiannya akan berdampak pada hadis yang diriwayatkan rawi tersebut. Imam al-Dzahabi dalam al-Muqizhah-nya mengatakan:

والكلام في الرواة يحتاج إلى ورع تام وبراءة من الهوى والميل وخبرة كاملة بالحديث وعلله ورجاله

Dalam menilai para rawi hadis dibutuhkan sifat wira’i yang sempurna, terlepas dari hawa nafsu dan sikap tendensius, serta kemahiran sempurna dalam bidang hadis, ilmu ‘illat hadis, dan para periwayatnya.

Baca juga:  Dakwah Sebagai Media Transformasi Sosial (2): Menghidupkan Nilai-nilai Moral, Meningkatkan Kualitas Spiritual

Ketiga, jujur. Kejujuran adalah syarat mutlak agar ucapan seseorang dapat diterima. Apalagi dalam masalah agama. Keempat, menghindari sikap fanatik. Sikap fanatik dapat menghilangkan objektifitas dalam menilai sesuatu. Padahal, dalam penilaian terhadap periwayat hadis harus dilakukan dengan objektif tanpa memandang golongan, madzhab, atau sekat-sekat yang lain. Dalam menilai periwayat hadis, seseorang harus memandang periwayat tersebut sebagai sesama muslim saja.  Syekh Abdul Hayyi al-Laknawi dalam al-Raf’u wa al-Takmil menukil ucapan Syekh Abdul ‘Ali al-Laknawi dalam Fawath al-Rahamut:

لا بد للمزكي أن يكون عدلا عارفا بأسباب الجرح والتعديل وأن يكون منصفا ناصحا، لا أن يكون متعصبا ومعجبا بمفسه فإنه لا اعتداد بقول المتعصب

Orang yang menilai periwayat hadis harus memiliki sifat ‘adalah, mengetahui sebab-sebab yang menjadikan seorang periwayat dianggap terpercaya atau tidak, dan harus objektif. Tidak fanatik dan menganggap dirinya sendiri hebat. Karena ucapan seorang yang fanatik tidak dianggap.

Kelima, mengetahui sebab-sebab jarh dan ta’dil. Maksud dari syarat ini adalah seorang penilai rawi harus mengetahui mana hal yang dapat menjadikan seorang periwayat dianggap tidak terpercaya. Tidak semua kekurangan menjadikan seorang rawi dianggap tidak terpercaya, karena jika demikian, tidak akan ada orang yang riwayat hadisnya diterima. Begitu pula sebaliknya, dia harus mengetahui apa saja hal-hal yang menjadikan seorang rawi dianggap terpercaya. Sangat banyak keterangan dari para ulama mengenai hal ini, di antaranya adalah Badruddin Muhammad ibn Jama’ah yang dikutip al-Laknawi dalam al-Raf’u wa al-Takmil:

من لا يكون عالما بالأسباب لا يقبل منه جرح ولا تعديل

Baca juga:  Corona dan Minuman Keras (Khamer): Apa Hubungannya?

Orang yang tidak mengetahui sebab-sebab jarh dan ta’dil, penilaiannya tidak diterima.

Adab dalam Menilai Rawi

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian terhadap periwayat hadis. Syekh Nuruddin ‘Itr dalam Manhaj al-Naqd menyebutkan setidaknya ada empat hal, berikut ini penulis sebutkan dengan sedikit penjelasan dari penulis:

Tidak berlebihan (i’tidal). Sikap i’tidal menunjukkan bahwa seseorang berada dalam posisi netral, tidak ada tendensi kepada siapapun. Dengan memberikan penilaian jujur dan apa adanya, artinya kita telah menempatkan seseorang pada tempat dan kedudukannya (manzilah) yang sesuai. Seseorang yang memuji atau mencela terlalu berlebihan biasanya tidak bersikap adil. Dalam mukadimah Shahih-nya, Imam Muslim mengutip hadis dari Sayyidah ‘A’isyah ra:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم أن ننزل الناس منازلهم

Rasulullah saw memerintahkan kita untuk menempatkan orang lain sesuai kedudukannya.

Tidak melebihi kadar yang dibutuhkan. Melakukan kritik (Jarh) pada seorang rawi tentu membicarakan personalnya. Hal ini diperbolehkan karena diperlukan. Konsekuensinya, jika sudah tidak diperlukan maka tidak boleh dilakukan. Implikasinya adalah jika mengkrtitik dengan satu kritikan dianggap cukup, maka tidak boleh mengkritik dengan dua kritikan. Bahkan jika kritik cukup dengan isyarat sekira bisa dipaham, maka tidak boleh dilakukan dengan kalimat yang jelas. al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-I’lan bi al-Taubikh mengatakan:

Baca juga:  Matematika Islam (1): Matematika dalam Nazdaman al-Imrithi

وإذا أمكنه الجرح بالإشارة المفهمة أو بأدنى تصريح لا تجوز له الزيادة على ذلك

Jika memungkinkan melakukan kritik (jarh) dengan isyarat yang memahamkan, atau dengan sedikit penjelasan, maka tidak boleh melakukan kritik lebih dari itu.

Ketentuan ini sesuai dengan kaidah fikih:

ما جاز بالضرورة يقدر بقدرها

Sesuatu yang dilegalkan karena dibutuhkan, maka dibatasi sesuai batas kebutuhan tersebut

Jika ada seorang rawi yang mendapat dua penilaian berbeda, maka harus ditampilkan semuanya. Ada beberapa rawi yang mendapat penilaian berbeda dari para penilai (jarih dan mu’addil). Ada yang menganggapnya tsiqah dan ada yang menganggapnya tidak tsiqah. Jika menemukan rawi yang demikian, maka tidak boleh menyebutkan salah satu penilaian saja.

Tidak boleh mengkritik orang yang tidak perlu dikritik. Maksud dari poin ini adalah untuk tidak sembarangan melakukan jarh; yakni kritik dengan menyerang personal, kecuali memang dibutuhkan dalam menilai kesahihan sebuah riwayat. Tanpa keperluan ini, maka kritik dengan menyebut masalah personal tidak boleh dilakukan. Hal ini disampaikan Syekh Nuruddin ‘Itr karena beliau melihat banyak orang yang ketika berbeda pendapat dengan orang lain, dia melakukan kritik dengan menyerang personal.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top