Piala Dunia 2022 Qatar telah usai sejak beberapa waktu lalu. Ada pelajaran penting yang dapat diambil hikmahnya. Seperti diketahui bahwa pemberitaan bukan hanya ramai dengan keseruan pertandingan sepak bolanya saja sebagai agenda utama. Di luar itu, ramai juga dengan isu-isu lainnya, misalnya sikap dan perilaku pemain maupun suporter dari negara lain yang dilarang mempromosikan nilai yang dianggap bertentangan dengan nilai atau budaya dan agama negara dan masyarakat Qatar. Jika tamu menunjukkan sikap menghormati tuan rumahnya, ini sebagai cermin dari pentingnya memahami peta budaya tuan rumah.
Peta budaya ini penting sebagai jembatan memahami perbedaan budaya seperti yang dibahas Erin Meyer (2014), pakar cross-cultural management dalam bukunya The culture map: Breaking through the invisible boundaries of global business. Walaupun sejatinya pembahasan dalam buku ini dalam konteks bisnis, tetapi dapat juga ditafsirkan dalam konteks yang lain yang lebih umum.
Meyer membahas bahwa setiap negara memiliki keunikan budaya yang dalam kajiannya difokuskan pada delapan aspek, yaitu cara bekomunikasi, mengevaluasi, membujuk, memimpin, memutuskan, mempercayai, menentang, dan menjadwalkan. Dari delapan ini jelas sekali perbedaan budaya negara barat dan timur, dan begitu pun perbedaan di dalam negara barat maupun timur sendiri.
Pada laman www.qatar2022.qa, momen Piala Dunia 2022 menjadi yang pertama kali diadakan di Timur Tengah dan Dunia Arab. Qatar sebagai tuan rumah yang baik berupayamemberikan informasi kesadaran budaya (cultural awareness) dan memiliki landasan budaya lokal yang sangat ramah kepada semua tamu yang berkunjug ke negaranya. Sehingga nilai budaya dan agama Islam yang dipromosikan Qatar perlu diketahui tamunya seperti berpakaian yang ramah, pembatasan penggunaan alkohol, menjalin pertemanan, mengambil foto, dan isu sensitif lainnya.
Jika berbicara nilai budaya dan agama, sudah menjadi karaktersitik dan keyakinan yang melandasi bangsa dan masyarakatnya dalam melakukan tindakan atau berperilaku. Artinya perlu ada kebijaksanaan agar adanya sikap saling menghormati, apalagi jika dikaitkan dengan pertandingan sepak bola yang di lapangan dan di luar lapangan dilandasi dengan semangat fair play.
Tentu saja dalam praktiknya pasti ada goncangan budaya (culture shock) karena budaya atau kebiasaan yang sudah melekat pada diri setiap orang, tiba-tiba harus beradaptasi dengan lingkungan baru setelah melewati fase transisi atau negosiasi. Selanjutnya, kondisi ini dapat dijelaskan dalam teori belajar budaya lain atau strategi akulturasi yang dapat dilihat ke dalam empat model (fourfold models). Dua diantaranya adalah asimilasi dan marjinalisasi.
Akulturasi sebagai sebuah proses perubahan sosial, psikologis, dan budaya yang bersumber dari keseimbangan dua budaya sekaligus beradaptasi dengan budaya yang berlaku di masyarakat. Jika tamu menghormati nilai-nilai yang dianut tuan rumah di atas budayanya sendiri walaupun terkadang dipaksa maka berhasil melakukan asimilasi. Namun, jika menolak maka akan menjadi kelompok yang termarjinalisasi.
Saya jadi teringat pada saat melakukan kunjungan ke lembaga asing yang sebelumnya tidak pernah bersinggungan dan berinteraksi dengannya. Agar berjalan dengan baik upaya menjalin hubungan kerja yang saling menguntungkan, tentu saja persiapan awal mencari informasi nilai atau budaya yang akan dijadikan referensi peta budaya dalam bertamu. Dengan ini, pihak tuan rumah pun akan bersikap hormat seperti tamu menghormati pemilik wilayahnya.
Dalam era informasi, mencari informasi nilai budaya dan keyakinan mitra kita begitu mudah sekali. Pertanyaannya, setelah informasi peta budaya diperoleh, apakah mau menggunakannya atau tidak? agar tidak gagal memahami peta budaya orang lain. Wallahua’lam.