Agaknya dalam hukum Islam atau fikih perbedaan pendapat dari para ulama akan selalu ditemukan. Entah pada kasus-kasus kontroversial bahkan hingga persoalan remeh-temeh. Syahdan, perbedaan menjadi sebuah keniscayaan dalam fikih bahkan hingga beberapa fan ilmu lainnya pun tidak dapat terhindarkan. Hanya karena memang umat merasa paling ‘Islam’ kadang perbedaan pendapat sebagai sebuah “ikhtilaf” yang melahirkan sebuah rahmat terjerumus ke dalam iftiraq (perpecahan).
Perbedaan pendapat pada fikih sebagaimana dikemukakan Muhammad Al-Bayanuni dalam kitab Al-Ikhtilaafaat al-‘Ilmiyyah muncul sejak lahirnya ijtihad (penalaran rasio) bahkan pada zaman Rasulullah Saw masih hidup. Hanya saat itu porsi ijtihad masih sangat sedikit sebab umat muslim masih mampu memecahkan permasalahan yang terjadi dengan menunggu turunnya wahyu Allah Swt melalui Rasulullah.
Baru saat Rasulullah Saw wafat disadari atau tidak, kadar atau porsi ijtihad semakin berkembang dan meluas, ditambah saat itu pengaruh penyebaran Islam ke berbagai wilayah memaksa para Sahabat terpencar dan menyebar ke berbagai wilayah tersebut, seperti Baghdad, Mesir, Maroko, Andalusia dan lain sebagainya.
Al-Bayanuni lebih lanjut mengemukakan bahwa perbedaan pendapat tersebut muncul sebab dua faktor, yakni terhentinya wahyu, dan terpencarnya para sahabat. Padahal alasan perbedaan pendapat ini hanya terletak dari dua masalah pokok: 1) terdapat nash syara’ (teks agama) yang mengandung lebih dari satu arti; 2) terdapat perbedaan pemahaman atas persoalan tersebut.
Namun memang bila ditelisik lebih jauh, nyatanya Allah Swt memberikan kebijaksanaan-Nya dengan membuat sebagian besar nash baik berupa ayat al-Quran maupun hadits mengandung lebih dari satu arti. Selain memang al-Quran pun diturunkan dengan bahasa Arab yang mau tidak mau keistimewaan bahasa Arab dibanding bahasa lain diakui terletak pada kekayaan maknanya. Di lain pihak Allah memberikan kebijaksanaan pada manusia memberikannya akal dan pemihiman yang berbeda (kullu ra’sin ra’yun).
Maka, atas dua masalah pokok di atas Al-Bayanuni berkesimpulan bahwa perbedaan pendapat merupakan keniscayaan yang tak terelakkan. Hingga pada akhirnya ia memetakan rumusan tentang hal tersebut, yakni, pertama Nash yang mengandung dari satu arti (dalam hal ini disebut dzhanni) ditambah akal dan pemahaman yang berbeda maka akan menghasilkan kesimpulan pada pendapat yang berbeda; Kedua, Nash yang memiliki satu arti (dalam hal ini biasa disebut qath’i) ditambah akal dan pemahaman yang sama maka menciptakan pendapat yang sama.
Akhirnya mengacu pada rumusan Al-Bayanuni di atas dapat terpetakan posisi hukum Islam antara fiqh dan syariah. Sebagaimana diketahui seringkali muncul kelindan pengertian istilah yang mengacu pada kedua istilah di atas. Akibatnya, saat kedua istilah ini bias pengertian berpotensi tidak dapat membedakan keduanya hingga kulminasinya adalah ‘alergi’ atau enggan atas perbedaan pendapat yang sering ditemukan dalam hukum Islam.
Syariat sendiri memiliki pengertian yang luas, namun singkatnya syariat adalah aturan yang bersumber dari nash qath’i. Sementara di sisi lain fiqih adalah aturan hukum yang bersumber dari nash dzhanni. Syahdan, untuk lebih memudahkan perbedaan keduanya akan dihadirkan beberapa gambaran contoh. Salah satunya kewajiban puasa sebagai persoalan yang sering memunculkan perbedaan klasik atau keharaman riba yang memang memancing kontroversi di dalamnya.
Kewajiban puasa Ramadhan tentu saja nash-nya qath’i (Al-Baqarah ayat 183) maka hal ini merupakan syariat, namun muncul pertanyaan kapan mulai berpuasa dan kapan ramadhan terbentuk dari nash dzhanni dan ini menjadi wilayah fiqih. Sebagai contoh munculnya perbedaan ini disandarkan pada sebuah hadits yang menyatakan harus melihat (ru’yat) bulan. Namun, kata ‘melihat’ ini melahirkan berbagai penafsiran yang berbeda.
Riba, sebagaimana disepakati bersama adalah haram karena nash-nya qath’i (Al-Baqarah ayat 275). Namun persoalan muncul saat menentukan apakah bunga bank merupakan riba, dan ini merupakan ranah pembahasan fikih. Para ulama berbeda pendapat dan pandangan dalam memahami unsur riba dan ‘illat (alasan) mengapa riba diharamkan.
Dari beberapa contoh di atas maka sebenarnya tidak semua hal kita harus berbeda pendapat, pun demikian tidak semua perbedaan pendapat bisa dihilangkan. Maksudnya, tentu dalam ranah syariat kita tidak akan mungkin berbeda pendapat, namun terdapat kemungkinan bisa jadi berbeda pendapat dalam ranah fikih. Dinamis menjadi sebuah kata kunci saat memahami fikih.
Tulisan mengenai perbedaan pendapat ini sama sekali tidak bertendisius mendukung sebuah pendapat tertentu lalu menolak pendapat lain, bahkan hingga memberi derajat lebih tinggi atas satu madzhab dan mendiskreditkan madzhab lain.
Siapapun yang dengan kerendahan hati berusaha mempelajari serta meneliti lebih dalam atas masalah perbedaan pendapat yang melahirkan perpecahan (iftiraq) sesungguhnya disebabkan karena tidak adanya keterbukaan (open-minded) hingga ketiadaan saling pengertian antara kelompok yang berselisih atas perbedaannya. Parahnya perpecahan itu disulut karena adanya sentimen dan kecurigaan yang cukup tinggi, nyata saja perpecahan takkan terelakkan.
Syahdan, bila perbedaan pendapat yang melahirkan perselisihan itu dapat disikapi lebih bijak sehingga masing-masing menelaah lebih dalam cara berpikir pihak yang berbeda dengannya dengan tujuan yang baik, niscaya benih-benih perselisihan atau perpecahan akan sirna dan takkan muncul ke permukaan. Hingga akhirnya mencerminkan kekayaan khazanah keilmuan Islam dan bersatu untuk hal yang lebih produktif.
Tabik!
Sumber Bacaan:
Muhammad al-Bayanuni, Diraasat fii al-Ikhtilaafaat al-‘Ilmiyyah, (Al-Qahirah: Dar As-Salam, 2013)
Nadirsyah Hosen, Ibrahim Hosen, Ngaji Fikih: Pemahaman Tekstual dengan Aplikasi yang Kontekstual, (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2020)