Sedang Membaca
Tuna-Makna Derita Manusia
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Tuna-Makna Derita Manusia

Barangkali Anda pernah mengalami peristiwa semacam saat ikut salat berjamaah Jumat atau Maghrib di sebuah masjid. Imam sudah berdiri di depan barisan. Shaf telah dirapatkan. Takbir pertama dilafazkan.

Detik-detik pertama salat sukses dijalankan, lantas akhirnya buyar manakala sekelompok bocah mulai berlarian di belakang bagian. Saling berkejaran sambil mengibaskan sarung yang ujungnya disimpul mati. Sebab bukan nabi atau wali, Anda pasti terganggu bukan?

Apakah Anda sempat terpikir anak-anak yang sedang lucu-lucunya itu adalah segerombolan pasukan mini setan yang terkutuk? Bagaimana jika satu di antara mereka adalah anak Anda? Kami mau menawarkan jalan lain. Begini.

Cobalah renungkan sejenak kejadian tersebut. Sadarkah kita jika dua hal itu sesungguhnya berjalin kelindan? Betapa salat Anda saat itu sebenarnya harus dilalui dengan bumbu drama permainan anak-anak yang entah mengapa malah dianaktirikan. Sebaliknya, keasyikan mereka bermain, ditingkahi oleh salat Anda yang sedang berusaha dibuat khusyuk sedemikian rupa.

Lebih dalam lagi dari itu. Salah sebuah serial hidup Anda memang harus melewati fase seperti itu, dan bukan yang lain. Tampak receh namun penting bila diambil pelajarannya. Hal ini setali tiga uang dengan momen pernikahan yang pernah Anda lalui. Duh, maaf bagi para bujang lapuk dan perawan tingting. Kami tak bermaksud mengorek luka lama.

Masih ada lagi contoh yang lebih menawan. Anda sedang bersusah payah melupakan mantan pujaan hati, dengan melarikan diri menuju negara kepulauan Maldives. Tak dinyana, melintas seseorang yang entah siapa di depan Anda—dan wajahnya mirip benar dengan ia yang sedang berusaha Anda tepis mati-matian. Adakah itu sebuah kebetulan? Tidakkah Anda masygul betapa yang baru saja terjadi itu adalah juga mini seri dari hidup sendiri nan misteri?

Baca juga:  Hijrah sebagai Proses Transformasi

Ada begitu banyak cerita lain yang bisa Anda susun sesuka hati. Namun ketauhilah, tak satu pun yang bisa kita anggap remeh. Bahkan, seekor lalat yang hinggap di batang hidung Anda saat sedang duduk wiridan pun, telah termaktub dalam Rancangan Agung semesta kehidupan.

Sangat besar kemungkinan kita bisa terselamatkan dari soal-soal sederhana begitu. Sebagaimana sebuah kisah yang dituturkan seorang Awliyullah saat sowan ke maqbarah Imam al-Ghazali, pada suatu malam yang hening.

Jiwa Sang Hujjatul Islam turun dari Langit dengan wajah pias. Kepada auliya’ itu al-Ghazali bertutur, seluruh amalan ubuddiyahnya ditolak mentah-mentah oleh Gusti Allah. Padahal jasanya untuk Dunia Islam sulit ditandingi Muslim Abad-21 sekali pun. Tapi Allah tak hendak membiarkan hamba-Nya dilamun kesedihan.

Ada satu perbuatan Abu Hamid yang Dia sukai. Apa itu? Tatkala ia sedang menulis kitabnya yang tersohor, Ihya ‘Ulumiddin dan sebiji lalat hinggap di tinta potlotnya yang tumpah, lalu diminum hingga tandas. Al-Ghazali membiarkan makhluk nelongso itu melepas dahaga, dan Allah yang Mahamelihat, menjadikan adegan tersebut sebagai monumen keselamatan bagi Alghazel—di Akhirat.

Jadi dengan lain kata, jangan pernah menyepelekan hal ikhwal remeh-temeh dalam hidup ini. Kita harus terus-menerus merawat marwah kebaikan hidup yang sudah diwariskan Tuhan dalam setiap ciptaan-Nya.

Suburkanlah selalu rasa ingin tahu pada apa saja, di mana pun Anda berada, bagaimana pun kondisinya. Kerana sejatinya terdapat pelajaran berarti yang tersirat dalam yang tersurat.

Rasa ingin tahu manusia jadi sumber utama tuk menganggit pemahaman tentang apa saja yang berkenaan dengan hidupnya. Maka kemudian bermunculanlah segala pengetahuan dari rahim ilmu. Para pencari sejati, tak akan membiarkan dirinya tenggelam dalam pertanyaan tak berjawab—kendati untuk menjawabnya dibutuhkan hampir sebagian besar usia yang ditumpas waktu. Lantas kembali tiada. Selamanya.

Ilmulah yang membuat kehidupan manusia jadi semarak. Rasa ingin serba tahu itu, pemantik setiap gerak perubahan dalam diri kita.

Milyaran sel tubuh bisa berdenyar mencari sinyal jawaban yang dipendam Tuhan dalam kepurbaan awal dan akhir. Sebab, hanya manusia lah makhluk di semesta ini yang tak henti menggugat keberawalan dan keberakhirannya yang entah. Kenapa harus ada awal, dan lantas berakhir di mana.

Baca juga:  Sajian Khusus: Fikih Tanah oleh Dr. M. Ishom el-Saha

Anak-anak manusia yang tertantang jadi penyintas, pasti berjuang keras menemukan akar kemunculannya dalam waktu yang meruang—di dunia. Ia selalu tertarik mengamati segala rasa hidupnya. Rasa yang membawanya pada dinamika majemuk berlapis tingkat.

Meski hidup meniscayakan akhir, namun manusia tak pernah jera menembusi batas yang melingkunginya. Hingga tiba suatu saat, ia berhasil menjawab semua pertanyaannya sendiri. Manusia, adalah tanda tanya besar penciptaan, dengan sekian kemungkinan tiada berkesudahan.

Janganlah pula hidup nih berlalu begitu saja, dan segalanya serasa menjadi untaian benang tipis saja. Kita harus berjuang memecahkan pusparagam rentetan kode rahasia hidup yang disematkan Tuhan dalam kehidupan. Seribuan tahun lalu seorang manusia cemerlang di Andalusia (kini Spanyol) sana, pernah menerangkan;

“Hukum Ilahi menggabungkan wahyu dengan akal. Hal ini harus dipahami berdasarkan sebab, sarana, dan tujuan. Wahyu dilengkapi unsur dalam akal, sedangkan akal juga dilengkapi unsur dalam wahyu,” demikian catatan Ibn Rusyd, dalam Fashlul Maql fi Ma Baynas Syariah wal Hikmah minal Ittisal.

Tiada yang pasti dalam kehidupan ini. Ujian terbesar dan terberat bagi kita, manusia, berada dalam keyakinan sendiri. Bukan berasal dari Tuhan. Kita gemar menceramahi orang lain, tapi luput melulu mengingatkan diri pribadi.

“Bunga mawar tak pernah berkhutbah. Hanya menebarkan wewangian belaka. Aroma itulah khutbah baginya… Tapi aroma kesalehan dan kehidupan spiritual jauh lebih halus dan harum tinimbang wewangian mawar,” ucap Mohandas Karamchand Gandhi suatu hari.

Baca juga:  Anak-anak Kita di Bulan Puasa

Dunia kita hari ini nyaris purnasia. Teramat berlimpah fenomena yang tuna-maknanya. Orang-orang berlomba mengabarkan pada dunia apa yang sedang ia lakukan di sudut peradaban, dan mereka tak pernah mau bertanya seberapa pantaskah kabar tentang dirinya diketahui dunia?

Alhasil, hidup manusia modern hanya berisi kecerewetan berkata-kata, sederetan foto, rekaman gambar bergerak, dan kebanalan. Agama tinggal jumudnya. Akal patah logikanya. Jiwa terguncang dari tenangnya. Hidup terbolak-balik tak tentu arah. Centang prenang pranatanya. Tabula rasa kita terjun bebas ke titik nadir kerancuan. Rimba raya manusia pun kian sulit dimafhumi.

Padahal di masa Islam awal hadir ke bumi, Imam ‘Ali bin Abi Thalib yang wajahnya bercahaya sudah bertaklimat,

“Dunia tempat kita ini, di jagat berikutnya bagai sebutir pasir di padang pasir. Dunia tersebut, di jagat berikutnya lagi, bagai sebutir pasir di padang pasir. Dunia itu tadi, di jagat berikutnya lagi, juga bagai sebutir pasir di padang pasir. Begitulah seterusnya. Begitulah jagat raya.”

Demikianlah kehidupan menciut bilamana kita gagal merasakan indahnya dalam rambatan ruang-waktu niskala.

Kita tak akan pernah mengerti kenapa harus ada di sini. Lahir ke dunia, tumbuh, mengada, lindap selamanya. Meninggalkan riwayat panjang kehadiran sebagai kenangan indah kemanusiaan.

Tuhan mengajari kita Nama-Nama dalam buih Lautan Takdir. Kita melakoninya sepanjang hayat waktu. Menggali makna ke seantero ruang penciptaan, dan hidup tetaplah keajaiban yang harus dipecahkan. Semogalah cukup waktu kita. []

 

Karangantu, 28 Maret 2019

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top