Dunia kita yang kian menciut diapit lautan informasi, berikut dengan teknologinya yang terus bersicepat saling mendahului, menunjukkan dengan gamblang sebuah gejala: kemunduran akut peradaban manusia. Kita ambil contoh sederhana. Seorang pemuda berangasan berambut gondrong warna pirang, dengan enteng menuding seorang petinggi militer berasal dari golongan para penyembah pohon. Ia juga membanggakan datuk-datuknya yang masuk ke negeri ini sebagai penyelamat.
Sialnya, pemuda musykil itu adalah pengasuh pesantren. Ribuan orang berdiri di belakangnya, selaku pendukung. Malah ratusan di antaranya mengaku ulama. Tak berselang lama, masyarakat Indonesia pun geger. Pertanyaan kita, benarkah mereka adalah ulama? Seberapa tepatkah tudingan itu? Kami takkan mengulas soal tersebut lebih dalam. Hanya sekadar ingin memberitahu saudara-saudara kita itu, bahwa sekelompok orang penyembah pohon, takkan bisa membangun çandi megah bernama Buwana Shaka Phala (Borobudur), yang rahasianya bahkan belum terungkap semua sampai saat ini.
Mereka juga perlu tahu, bagaimana seorang Syeikh Hisyam Kabbani rela datang jauh-jauh dari negaranya pada 2013, demi untuk mengumandangkan adzan di stuppa puncak çandi itu, dan memuji pencapaian nenek moyang bangsa ini–yang katanya sudah membangun monumen megafraktal itu pada masa Nabi Isa as.
Fenomena berbalahan merebut klaim kebenaran semacam itu, memang bukan hal baru dalam ranah keagamaan. Sudah sejak ribuan tahun lalu manusia gemar begitu–bahkan ketika para nabi-rasul masih hidup di bumi. Jadi hal itu bolehlah kita sebut sebagai keniscayaan zaman.
Toh sepanjang perjalanan sejarah, manusia memang terbagi dalam beberapa barisan: kalangan awam, khusus, dan terkhusus dari yang khusus. Ketiga barisan itu tersusun berdasar alam pikiran dan ilmu pengetahuan yang mereka anggit dari kehidupannya masing-masing. Agama, satu di antara sumbernya.
Islam yang paling banyak dianut di negeri cincin api ini, juga mengalami pemerosotan yang lumayan parah, akibat ulah para penganutnya yang serampangan. Baru tahu satu-dua ayat atau hadits, sudah belagak macam dia saja yang benar. Orang lain salah semua. Ada lagi yang lebih parah. Bisa menghafal Alquran dan ribuan hadits, sudah yakin sepenuhnya bakal beroleh keselamatan hidup di dunia, pun akhirat. Sementara dalam laku lampah kesehariannya, ia hanya duduk berpangku tangan melihat kenyataan getir umat manusia yang terlunta-lunta digerus zaman.
Alquran-hadits yang dihafal itu, tak berhasil ia selami kandungannya, yang padahal dari situlah ia kan mendapatkan kerahayuan. Sampai di sini, agama hanya berhenti menjadi sarana penyelamatan diri pribadi. Bukan untuk kemaslahatan anak-cucu Adam. Kecenderungan serupa, sebenarnya juga terjadi di banyak ranah lain.
Tak sedikit dari mereka yang mendaku beragama, tapi fokus perhatiannya pada keselamatan sendiri. Malah keluarganya pun tak terpikirkan. Ia beribadah untuk cari aman sendiri. Jarang sekali yang mau melakukan jenis peribadahan sosial yang dampaknya ke banyak orang. Kesalehan mereka sangat individual. Samasekali tak menyentuh sisi kesalehan sosial–sebagaimana yang telah diajarkan oleh para utusan tuhan.
Kita kembali lagi ke pemuda bento di atas, yang lupa daratan itu. Ia saja lahir di Sulawesi. Maka di dalam tubuhnya ada tanah, air, api, dan udara Nusantara. Malahan sampai saat ini, selama ia mukim di Jawa, ia masih makan-minum dari hasil bumi Indonesia, dan buang hajat di tanah yang leluhurnya ia caci-maki. Perbuatan seperti ini sudah pantas disebut bedebah.
Ia boleh mengaku sebagai cucu Imam ‘Ali bin Abi Thalib yang wajahnya mulia. Namun kesantunannya pada manusia, sangat diragukan. Ia lupa, reputasi yang bisa ia jangkau sekarang ini, berutang dari begitu banyak kebaikan masyarakat Nusantara, terutama para petani. Tanpa mereka, mereka yang sekarang membanggakan diri sebagai habib itu, mati kelaparan.
Inilah yang ingin kami garis bawahi. Banyak orang beragama, tak menginsyafi betapa dirinya bertanggungjawab secara horizontal, vertikal, dan diametral dengan alam tempat ia bermukim. Islam misalnya, tak melulu bicara dosa-pahala, selamat-tersesat, atau surga-neraka. Tak kurang anjuran dalam Alquran, yang mengajak umat Muslim agar mau mengakrabi alam sebagai saudara tuanya, seperti dalam QS. Shad 27-28, QS. Sapi Betina : 60, QS. Persada Tertinggi 56-58, dan QS. Ar Rum 41-42.
Alam inilah rumah suci tuhan yang harus kita hormati. Bukan masjid, gereja, vihara, dan sebagainya. Muhammad Saw membangan Nabawi di Madinah, agar kaum Muhajirin-Anshar bisa duduk bersama membahas banyak hal urusan kemanusiaan, selain juga dipakai tuk bersembahyang. Berbanding terbalik dengan masjid zaman kiwari. Katanya rumah Allah, tapi usai jam sembahyang, digembok. Tak ada kesempatan bagi fakir miskin tuk berteduh di dalamnya. Padahal uang tuk membangun masjid itu, juga dari umat.
Rumah Allah yang dimaksud itu, mestinya dikonotasikan sebagai tempat bagi seluruh makhluk untuk bersilaturahim. Tak hanya diperuntukkan bagi umat Muslim semata. Jadi tak usah bingung jika di mana² kita bisa melihat masjid beradu megah, sementara kondisi umatnya porak-poranda.
Kemiskinan merajalela. Penyakit mewabah. Si kaya abai pada si miskin. Kebodohan beranak-pinak. Mereka yang alim, terpinggirkan dari masyarakat. Sulit kiranya mencari mereka yang mengaku Muslim, tapi berkesadaran lingkungan yang baik. Mereka tak lagi tahu apalagi peduli, bahwa bumi sedang menderita.
Tanah kita rusak parah akibat “revolusi hijau” Eropa dengan produk kimianya. Air kita tercemar dengan mikroplastik dan karbon, terutama lautan. Alhasil ikan yang kita makan pun tak lagi sehat. Udara kita juga tercemar dengan polusi bahan bakar fosil, dan lalu lintas sibernetik. Lantaran tak lagi seimbang, wajar bila dimana saja mudah kita temui orang yang amarahnya gampang tersulut api.
Pemerkosaan manusia pada tanah, sama dengan menghancurkan soko guru kehidupannya. Sebab dari dalam tanah lah, sebagian besar pangan kita berasal. Albert Einstein pernah berkata, “kiamat akan terjadi empat tahun setelah lebah menghilang dari bumi.” Tak lain karena lebah turut membantu penyerbukan tanaman, sayuran, dan buah-buahan. Jadi dengan skema berpikir seperti di atas, sebenarnya kita tinggal menunggu bom waktu itu meledak.
Anda yang saban hari hanya sibuk mengumpulkan pahala dan gemar mengafirkan orang lain, cobalah renungi soal itu barang sejenak. Tak masalah juga bila Anda mengabaikannya. Tapi jangan putus asa, bila kelak nanti bumi bergerak menelan keluarga Anda hidup-hidup–dengan caranya yang sulit dimengerti, atau bahkan menghabisi nyawa Anda dalam sekejap.
Agama yang dianggit dari istilah Latin (a gamos [tidak kacau]) itu, sebenarnya punya padanan lokal yang lebih sangkil, yaitu ageman. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti, pakaian.
Anda dikenal melalui apa yang Anda pakai. Meskipun secara kasat, itu masih bisa menipu. Tapi jika dilakukan dengan segenap penghayatan, orang lain akan menaruh rasa hormat pada apa yang Anda kenakan dan yakini.
Buanglah sampah pikiran-perasaan yang selama ini telah kisanak-nisanak biarkan membusuk di dalam diri. Jikalau memang agama diturunkan tuhan tuk manusia, kenapa semakin mendalami agama, Anda malah bertambah kerok? Lupakah dengan pengalaman kita semasa kecil dulu, yang bisa sedemikian rupa berbahagia tanpa bicara benar-salah dan dosa-pahala?
Hidup ini tak elok bila hanya dilandasi dengan keangkuhan soal siapa di antara kita yang berhak disebut benar atau salah. Allah mengejawantah dalam diri setiap manusia dengan Ruh-Nya yang ia tiupkan ke dalam tubuh kita. Dia juga menitis dalam rasa-rasa dan jadi lebih dekat tinimbang urat leher kita.
Maka berjalanlah di permukaan bumi, dengan agama yang hidup lagi menghidupi. Supaya gemah ripah loh jinawi kehadiran kita di dunia ini. []