Kabar duka kembali menggelayuti langit Indonesia. Setelah kemangkatan KH Maimun Zubair, Presiden ketiga Republik Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie menyusul kemudian. Beliau tinggal landas menuju akhirat dari RSPAD Gatot Soebroto pada Rabu, 11 September 2019, pukul 18.05 WIB.
Nama yang hampir sama dengan rumah sakit tempat Habibie berpulang, juga tersematkan pada pesawat yang berhasil ia rancang-terbangkan, N250 Gatot Kaca, pada 10 Agustus 1995. Saat itu saya masih bocah bau kencur yang duduk di bangku madrasah tsanawiyah. Rencana penerbangan perdana itu disiarkan langsung oleh stasiun televisi secara nasional–dan juga memancar ke seantero dunia.
Saya yang anak kampung di Tanah Deli, jelas tak memahami betapa besar rupanya taruhan harga diri Habibie, yang ia gantungkan pada pesawat buatan para insinyur PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) itu. Presiden Soeharto memetik buah manis dari pohon harapan yang ditanam Bung Karno puluhan tahun sebelumnya.
Melihat pesawat gempal berwarna biru-putih yang kemudian berhasil mengudara selama 55 menit, dan ratusan orang yang bersorak di bawahnya, membawa ingatan saya pada pengalaman mendebarkan berhasil menaikkan layangan kali pertama di pematang sawah. Pesawat & layangan adalah cara manusia menerbangkan imajinasinya ke angkasa.
Habibie yang kala itu menjabat sebagai Menristek, berhasil membungkam kenyinyiran negara industri pesawat terbang papan atas. The Smiling General Soeharto kemudian menyalami dan memeluknya hangat. Pun begitu dengan Ibu Tien, yang sibuk menjabat erat tangan para istri pejabat yang hadir di Lapangan Udara Husein Sastranegara, Bandung.
Sebelum bergelar Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng, tokoh bangsa kelahiran Parepare ini merupakan salah seorang mahasiswa generasi dirgantara yang dikirim Presiden Sukarno kuliah ke luar Indonesia. Dua orang brilian ini terlibat kontrak serius menyatukan negeri kepulauan kita melalui udara. Bahkan ketika Habibie telah merampungkan studinya di Jerman pada usia 28 tahun, Bung Karno malah masih melarangnya pulang ke negara sendiri–lantaran waktu yang belum tepat.
Habibie baru bisa kembali ke Indonesia setelah pemerintahan Sukarno digulingkan Jenderal Soeharto, dan ia ditahbis sebagai menteri riset & teknologi. Harapan besar Sukarno masih ia benam di dalam hatinya yang getun (sedih, menyesal).
Ketika momen yang dinanti itu tiba, Soeharto seolah menjelma menjadi inisiator tunggal kedirgantaraan kita, dengan kelahiran N-250. Habibie yang visioner ulung itu, menepis jauh rasa kecewa serta kesedihannya yang teramat sangat. Ia hanya tahu bahwa kaderisasi yang dituai Sang Proklamator, telah dipanen oleh waktu. Indonesia patut berbangga hati karena catatan sejarah bertinta emas tersebut.
Sejatinya, pesawat buatan IPTN ini selangkah lagi akan mendapatkan sertifikasi dari Federal Aviation Administration. Tapi ketika perusahaan prestisius itu sedang berjaya, Presiden Soeharto memerintah penutupannya beserta industri lain lantaran krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1996 hingga 1998.
Kendati begitu, Habibie tak patah arang. Ia meninggalkan sejenak kecintaannya pada sains dan mengemban amanah baru menjadi presiden Indonesia–menggantikan induk semang keduanya. Jabatan yang ia peroleh secara tak sengaja ini, mengikuti torehan prestasi tingkat dunia yang mulai dirintisnya sejak masih berusia 32 tahun.
Pada 1968 itulah nama Habibie mulai berkibar di dunia dirgantara dengan mematenkan teori yang bisa menghitung keretakan pada pesawat udara. Kejeniusannya ini kelak berbuah menjadi sebuah julukan kehormatan: Mr. Crack. Ditabalkan kalangan ilmuwan aeronautika karena B.J. Habibie adalah orang pertama di dunia yang menunjukkan cara bagaimana menghitung keretakan pesawat hingga ke tingkat subatom (crack propagation on random)
Kecemerlangan Habibie juga dibuktikan dengan 46 penemuannya di bidang konstruksi pesawat terbang yang diabadikan dengan nama paten; “Teori Habibie, Faktor Habibie, dan Metode Habibie. Puluhan temuan fenomenal ini kelak menuntun jalannya selaku Bapak Teknologi Indonesia.
Sebuah majalah sains terbitan Jakarta pernah menyebut Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai ”Manusia Multidimensional,” yang ternyata sangat ia sukai. Terlebih, julukan itu muncul tidak berselang lama setelah Habibie meraih medali penghargaan ”Theodore van Karman.” Anugerah bergengsi tingkat internasional, yang sekaligus ajang berkumpulnya para pakar terkemuka konstruksi pesawat terbang.
Dalam setiap kesempatan ceramah ilmiah atau sejenisnya, Habibie tak jemu mengulang kalimat yang sama dengan intonasi yang juga nyaris serupa–terkait teknologi, pesawat, dan gambaran masa depan bangsanya. Saking seringnya ia menyampaikan hal tersebut, ternyata gaungnya pun sampai ke penjuru Indonesia. Berikut ini kami nukilkan pesan futuristik khas Habibie:
“Dapatkah Anda bayangkan ekonomi Indonesia tanpa satelit dan pesawat terbang? Mungkin tidak? Itu mustahil.
Bagaimana kita akan membayar semua kebutuhan negara? Dengan sumber daya alam saja? Tidak bisa. Minyak? Tidak bisa. Kelapa sawit? Apalagi. Tidak bisa. Satu-satunya cara adalah dengan jam kerja. Dengan otak dan keringat kita sendiri. Kalau saya bisa produksi N-250 atau R-80 setiap hari & langsung mengirimnya, maka seluruh produksi beras, tanpa gangguan hama wereng, tanpa gangguan musim kemarau. Saya hanya butuh 170 hari saja.”
Maksud Habibie, ia hanya membutuhkan 170 hari untuk mendapatkan uang guna mencukupi kebutuhan nasional, setara dengan yang dihasilkan dari sektor pertanian selama ini. Sayang sekali, kalkulasi serigid ini belum sempat terejawantah di Indonesia, selama Habibie hidup. Mungkin suatu saat nanti. Jelang negara ini memasuki usia satu abad.
Selain Bung Karno dan Presiden Jokowi yang sama-sama bertitel insinyur, Prof. Habibie adalah mantan orang nomor satu di Indonesia yang paling banyak dikagumi anak-anak usia sekolah dasar. Namanya dipinjam para orangtua demi ngalap berkah. Kehidupan pribadinya menjelma inspirasi jutaan siswa–yang entah bagaimana juntrungannya, rela berpuasa Senin-Kamis. Laku ibadah yang konon paling diistikomahkan Habibie.
Rona wajah yang kekanakan. Perawakan yang mungil. Binaran bola mata yang bulat. Cara berbicara yang khas. Peci hitam yang seolah tak terpisah dari kepala. Semua itu melekat pada Habibie, & menimbulkan kesan istimewa bagi siapa pun yang melihatnya–terutama kalangan pelajar. Bagi mereka, Habibie itu pahlawan yang memesona.
Sosok fenomenal ini telah mewujud menjadi doa yang melampaui batas ruang-waktu, serta figur ikonik. Sepertinya sedikit saja anak Indonesia yang belum pernah mendengar guru atau orangtua mereka berpesan, “Jika rajin belajar, maka kelak kau kan jadi seperti Habibie.”
Ranah ilmu aeronautika yang dulu dirambah seorang polimatik Andalusia (kini Spanyol), Abbas Abu al-Qasim bin Firnas ibn Wirdas al-Takurini (l. 810 – w. 887 M), telah diperkaya khazanahnya oleh polimatik Muslim lain asal Gorontalo. Berdasar capaian ini, Habibie laik didapuk sebagai Kampiun Aeronautikawan Abad-21.
Bangsa luhur Indonesia tak henti memberi sumbangan pada peradaban manusia kiwari, dengan terus melahirkan putra-putri terbaiknya. Habibie adalah suri tauladan bagi hidup kita yang akan datang. Ia menjadi pujaan nan membanggakan. Junjungan yang tak besar kepala. Selaik padi yang berisi, ia malah terus merunduk sebagai begawan. Teknokrat cum negarawan sejati.
Dalam diri Habibie tercitra perpaduan adab manusia Timur & Barat. Ia memaksimalkan segala potensi kediriannya. Daya jelajah akalnya mumpuni. Intuisinya tajam teruji. Ia punya kesantunan Timur, dan elan vital Barat. Dunia yang telah ia kelilingi, membentuk kemanusiaannya yang universal–dan ajaibnya tetap bertuhan dalam keindahan Islam.
Kini ia telah mendahului kita kembali ke haribaan Sang Pencipta. Suka atau tidak, rida maupun terpaksa, kita juga akan menelusuri jalan yang sama. Habibie sudah hidup manfaat bagi banyak manusia. Punya jariyah berdaun-daun. Peninggalan yang luarbiasa tak ternilai.
Saya meyakini itu, seterang cahaya matahari. Duhai saudara-saudariku sebangsa tanah-air… Setelah Habibie pergi, apakah yang akan kita sumbangsihkan bagi kehidupan? (SI)