—dihaturkan kepada Presiden Ir. Joko Widodo
TERIMAKASIH berdaun-daun atas segala jerih payah, peluh, dan air mata yang telah Bapak teteskan untuk 269 juta jiwa anak bangsa di negeri ini. Sungguh, amal jariah sebesar itu, takkan mampu kami tandingi sampai akhir usia. Semoga Allah SWT melindungi Bapak selalu. Kapan dan di mana pun berada.
Setelah Komisi Pemilihan Umum mendapuk kemenangan Bapak dan Prof Dr KH Ma’ruf Amin dengan torehan suara 55,50 %, kami sepenuhnya yakin dan percaya, Bapak akan berhasil melanjutkan tampuk kepresidenan periode dua, sehingga kerja nyata yang selama ini sudah Bapak tunjukkan hasilnya bisa terus dikembangkan ke jenjang yang jauh lebih baik.
Ya, kita memang punya banyak pekerjaan kebangsaan yang tak mungkin bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Apalagi sebatas sepuluh tahun menjabat presiden.
Negeri dan negara ini teramat besar diurusi dan dipikirkan sendirian. Ada begitu banyak perangkat, aparatur, infra-suprastruktur yang diperlukan guna menopang kinerja pembangunan menuju Indonesia Maju.
Upaya ke arah itu memang telah Bapak lakukan. Namun menurut hemat kami, ada satu hal yang mungkin selama ini luput dari amatan Bapak. Semoga kami salah.
Begini, Bapak Presiden…
Di bawah ini kami nukilkan cuplikan pidato Ir. Sukarno sebelum mengemban amanah selaku Presiden RI yang pertama—kala mengikuti Sidang Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia pada 1945, terkait bentuk negara yang sedang dirumuskan oleh para pendiri bangsa saat itu:
“… dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu politiek-democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie.”
“Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong. “Gotong Royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan,” saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Sukarjo: satu karyo, satu gawe.
Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong!”
Merujuk pidato tersebut, tampaknya sistem pemerintahan yang kita anut sekarang malah menggunakan rel berbeda—untuk tak mengatakannya masuk kategori apkir. Jauh panggang dari api. Anggota parlemen kita yang berasal dari partai, sama sekali tak mencerminkan keberpihakan mereka pada rakyat yang suaranya diharapkan semasa kampanye. Miris. Ini jelas penipuan. Penistaan pada etika berbangsa. Bernegara.
Bapak juga pasti muak dan gemas kan, melihat segerombolan orang gendut berdasi duduk tertidur sambil menganga, di ruang sidang. Pada lain waktu, mereka sibuk nyinyir di layar televisi. Mengomentari ini-itu sampai mulutnya berbusa. Nanti pada akhir bulan, mereka tinggal menunggu gaji dari negara, dan plesir ke negeri manca. Cerita buram seperti ini mau dilanjutkan sampai kapan?
Menurut amatan kami, partai yang ada sekarang, berbanding terbalik dengan era ketika Bung Karno membentuk PNI, Bung Hatta dengan Partindo, atau Tan Malaka dengan Murba-nya. Partai zaman sekarang, cuma berhenti pada jargon. Miskin propaganda. Kekeringan ide. Tak bergagasan. Para ketuanya tiada bertaji. Sekadar simbol belaka. Lebih dari itu, mereka hanya mengejar ambisi berkuasa dan meraup kekayaan semelimpah mungkin. Ayam-ayam kita pun mati di lumbung padi.
Prinsip gotong-royong yang diajukan Bung Karno sebelum Indonesia menjadi negara, sejatinya bisa diterapkan dalam alam demokrasi kita. Sangat bisa. Bagaimana caranya?
Para pemimpin sedari tingkat RT, RW, lurah, camat, bupati, walikota, gubernur, eksekutif-legislatif-yudikatif, harus berdasar pilihan rakyat, tanpa prosedur pemilu yang hanya menghabiskan anggaran belanja negara sampai Rp20-an triliun. Semua ditunjuk berdasar prinsip mufakat bersama, juga karena faktor meritokrasi.
Kemampuan individual yang melampaui orang kebanyakan. Secara mudah, model kepemimpinan seperti ini masih bisa dirujuk pada masyarakat ulayat Nusantara. Satu-satunya perangkat terbaik yang mereka gunakan adalah, kualitas manusia secara utuh-menyeluruh. Sehat secara tubuh, mental adekuat, kejernihan pikiran, kehalusan jiwa, dan keluasan jangkauan spiritual.
Demokrasi yang bergulir di Indoensia sekarang, makin jumud kelihatannya. Dalam sejarah kemanusiaan, hanya orang kurang waras saja yang meminta orang lain tuk menunjuk dirinya sebagai pemimpin.
Belum lagi pemajangan foto-foto diri yang mengotori ruang publik, media sosial, bahkan sabak orang per orang. Padahal sebagaimana juga yang telah Bapak alami dan buktikan sendiri, para pemimpin sejati itu lahir secara alamiah. Bukan dimunculkan ke permukaan—yang mengambang.
Sejak Indonesia menjabat selaku Presiden Dewan Keamanan Dunia di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1 Mei 2019, Bapak berpeluang besar menunjukkan pada khalayak global tentang bagaimana seorang Muslim dituntun oleh Islam dalam laku hidupnya. Semata menjadi suri tauladan bagi saudara-saudari kita di negeri manca sana, bahwa negeri ini pantas menyandang gelar sebagai yang terbesar-terkuat pemeluk Islamnya.
Kami yakin sepenuh hati, apa yang disampaikan Bung Karno dalam pidatonya tersebut, tak serta-merta muncul begitu saja. Mengingat ada begitu banyak ulama kampiun yang berada di sekeliling Beliau. Besar kemungkinan prinsip demokrasi sosial berasas mufakat bersama itu juga hasil dari penggaliannya pada khazanah bangsa kita dan nasihat para alim ulama yang bersumber dari Alquran.
Sejauh yang kami amati, ada tiga ayat yang berkenaan dengan soal musyawarah dalam Kitab Suci kita. Pertama, surah Sapi Betina [2]: 233, Keluarga ‘Imran [3): 159, dan ayat berikut ini:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Allah menyatakan bahwa orang mukmin akan mendapat ganjaran lebih baik dan kekal di sisi Allah. Adapun yang dimaksud dengan orang-orang mukmin itu adalah mereka yang mematuhi seruan Tuhanya, menyempurnakan salat, serta urusan mereka diputuskan dengan musyawarah mufakat, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan.” (QS Musyawarah [42]: 38)
Ditilik dari sudut sejarah, dengan bekal musyawarah mufakat (bukan suara terbanyak) itulah Rasulullah SAW membangun peradaban Madani pada abad ketujuh—yang dimulai dari kota mungil nan sederhana, Madinah.
Selain itu, Beliau juga menerapkan asas merdeka dari segala hal yang merusak diri, sama rata, sama rasa, tepo seliro, sejajar, bahu membahu, tolong menolong, gotong royong. Merujuk pada kenyataan ini, jadi mudah saja menjawab kenapa partai komunis hampir saja menduduki tampuk kepemimpinan di Indonesia—dan jadi yang terbesar di dunia. Ya karena spirit Islam itu komunal.
Mungkin Bapak masih ingat bagaimana warga Madinah diminta oleh Rasulullah agar rela berbagi rumah, kebun, dan properti mereka demi membantu golongan Muhajirin yang mengungsi dari Makkah. Sebagai kepala keluarga negara besar Indonesia, kami kira Bapak mafhum harus melakukan apa terkait contoh yang kami ajukan tersebut.
Tulisan sederhana ini sejatinya tidak kami maksudkan untuk mengutak-atik bentuk negara kita yang sudah ditetapkan dalam pasal 37 ayat (5) UUD 1945, hasil amandemen keempat, yang berbunyi; “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.”
Kami hanya sedang mengajukan sebuah tawaran yang jauh lebih masuk akal—dan sesungguhnya juga berasal dari warisan berharga leluhur kita bersama. Apabila Bapak berkenan dan berani melakukannya pada periode dua kepresidenan nanti, niscaya negeri ini akan dikendalikan oleh pemimpin terbaiknya.
Dialah pemimpin dari para pemimpin, yang secara usia jauh lebih muda dari Bapak manakala menduduki kursi presiden pada 2014. Ratu yang didapuk secara absah oleh para Rási dan Rama. Indonesia yang gemah ripah loh jinawi, adem tentrem kukuh teguh rahayu, tinggal hanya menunggu waktu sahaja. Sedari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Pulau Rote. Merdeka! (atk)
~Penulis adalah pecinta sejati Indonesia Raya.