INILAH pesan Muhammad bin Abdullah, sebagai perjanjian bagi mereka yang memeluk agama Kristen, dekat dan jauh, kami bersama mereka.
Sesungguhnya aku, para pelayan, para pembantu dan pengikutku membela mereka, karena orang Kristen adalah wargaku; dan demi Allah! Aku menahan dari apa pun yang tidak menyenangkan mereka.
Tidak ada paksaan atas mereka.
Hakim-hakim mereka juga tidak akan dicopot dari pekerjaan mereka dan para biarawan tidak akan dipindahkan dari biara tempat mereka berada. Tidak seorang pun boleh menghancurkan rumah agama mereka, merusaknya, atau membawa barang apa pun dari dalamnya ke rumah orang Muslim.
Jika ada yang melakukan salah satu dari tindakan-tindakan tadi, berarti dia merusak perjanjian Allah dan tidak menaati Nabi-Nya. Sesungguhnya mereka adalah sekutuku dan memiliki jaminan amanku dari semua yang mereka benci.
Tidak ada yang boleh memaksa mereka untuk melakukan perjalanan atau mewajibkan mereka berperang.
Kaum Muslim harus berjuang untuk mereka. Jika seorang perempuan Kristen menikahi laki-laki Muslim, pernikahan itu tidak terjadi tanpa persetujuannya. Dia tidak boleh dicegah dari mengunjungi gerejanya untuk berdoa.
Gereja-gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dihalangi dari memperbaiki gereja maupun kesucian perjanjian mereka. Tidak boleh ada satu bangsa pun ( Muslim) yang tidak menaati perjanjian sampai Hari Akhir (akhir dunia).
Perjanjian Nabi Muhammad Saw. dengan gereja Santa Katharina di atas, menjadi semacam penawar luka Mesir dari luka tenggang rasa beragama masyarakatnya. Dalam surat tersebut, Nabi memperjuangkan kerukunan sosial antara Muslim dan Kristen. Beliau menyinggung hak asasi manusia termasuk kebebasan hati nurani, beribadah, dan hak atas perlindungan selama masa perang.
Selain surat perjanjian itu, kita bisa merenungkan kunjungan kelompok Kristen Najran (kini dikenal dengan sebutan Yaman)—ke kota Madinah. Muhibah ini mungkin yang paling penting dicatat sebagai interaksi antariman di antara Nabi Muhammad dan kalangan Kristen. Sekitar 631 M, Nabi Muhammad mengirim surat kepada beberapa masyarakat Kristen dan para pemimpinnyaa, mengajak mereka memeluk Islam.
Khalid bin Al-Walid dan Ali bin Abi Thalib melakukan perjalanan sejauh 450 mil ke selatan Madinah, demi membawa sepucuk surat untuk golongan Najran. Setelah surat diterima, kalangan Kristen tidak menerima seruan awal Nabi Saw untuk memeluk Islam.
Kali kedua Nabi Muhammad mengirimkan diplomat lain, Al-Mughirah bin Syu’bah, yang membujuk golongan Najran agar menerima undangan mengunjungi Madinah. Menanggapi itu, Kristen Najran kemudian mengirim delegasi yang berjumlah 60 orang, 45 di antaranya para sarjana Kristen.
Ketika sudah saling bertatap muka kaum Muslim dan Kristen secara terbuka mendiskusikan perihal pemerintahan, politik dan agama. Mereka bersepakat pada banyak persoalan, tetapi mereka juga sepakat untuk tidak bersepakat pada persoalan-persoalan teologis. Kalau ada frase yang bisa menyimpulkan pertemuan mereka, maka itu adalah “saling menghormati.” Ya, tenggang rasa itu.
Setelah melakukan perbincangan diplomatik, kalangan Najran berkata pada Nabi Muhammad, “sudah waktunya bagi kami untuk beribadah kepada Tuhan.” Tidak ada gereja terdekat untuk mereka melaksanakan ibadah. Karena itu, delegasi Kristen mulai berjalan keluar masjid untuk bersembahyang di jalanan Madinah.
Alih-alih membiarkan kalangan Kristen itu beribadah di jalanan yang padat dan berdebu, Nabi Muhammad berpaling kepada mereka dan berkata, “Kalian adalah para pengikut Tuhan. Silakan berdoa dalam masjidku. Kita semua saudara sesama manusia.”
Kelompok Muslim mengizinkan kalangan Kristen menggunakan Masjid Nabawi, suatu tempat suci Islam, untuk beribadah dengan bebas. Muhammad juga memberi mereka tempat untuk menginap di dekat rumahnya, dan bahkan memerintahkan kaum Muslimin agar memasangkan tenda untuk mereka. ‘Sebuah jembatan’ di antara dua komunitas keagamaan ini dibangun hari itu. Kedamaian dan niat baik memang gemilang.
Ketika kelompok Najran meninggalkan Madinah, seorang pemimpinnya mengatakan kepada Muhammad Saw: “… kami memutuskan untuk meninggalkan kalian sebagaimana adanya kalian, dan kalian membiarkan kami sebagaimana adanya kami. Namun, kirimlah bersama kami seorang laki-laki yang dapat bertindak sebagai hakim pelindung harta benda kami, karena kami menerima kalian.” Rombongan Kristen pun meninggalkan Madinah dengan sebuah garansi tertulis bahwa Nabi Saw akan melindungi nyawa, harta benda, dan hak hidup mereka.
Usai pertemuan bersejarah itu, Muhammad secara gamblang menerangkan konsekuensi tidak menghormati orang Kristen, “Sesiapa yang menzalimi orang Nasrani, aku sendiri yang akan menjadi pendakwanya pada Hari Kiamat.” (HR Al-Bukhari)
Hadits tersebut masih diperkuat dengan sebuah ayat al Quran yang berpesan:
“Katakanlah: “‘Wahai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.'” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, ‘”Saksikanlah, bahwa kami adalah sekumpulan orang yang berserah diri (kepada Allah).”‘ (QS Keluarga Imrân [3]: 64).
Ada sebuah hadits lain yang pernah Beliau sitir di hadapan para Sahabatnya, “Amal paling utama adalah menjaga perdamaian dan hubungan baik dengan manusia, karena pertengkaran dan segala perasaan yang buruk, menghancurkan umat manusia.”
Bagi Crag remaja, Islam adalah Osama bin Laden, AI-Qaeda, dan kekerasan sebagaimana yang digambarkan media. Namun, saat kuliah di American University dan bertemu dengan Prof. Akbar Ahmed, persepsinya tentang Islam berubah total. Sejak kuliah pertamanya. Prof. Ahmed telah membuat Craig bukan hanya penasaran, tapi juga jatuh cinta kepada pribadi sang Nabi Islam. Dia pun mulai belajar tentang Islam Iebih banyak lagi dan menemukan sifat rahmah Rasulullah Saw. serta ajarannya yang mengutamakan kasih sayang.
Buku ini adalah kumpulan catatan Dr. Craig Considine, seorang Nasrani yang juga dosen SosioIogi di Rice University Amerika Serikat, tentang Rasulullah Saw. dan Islam. Di tengah kecenderungan sebagian muslim yang memilih jalan kekerasan, buku ini dapat menjadi rujukan dari sepasang mata baru dan segar tentang Islam sejati, yang rahmatan li l-‘alaamin.
Dengan menjalin perjanjian bersama umat Kristen dan Yahudi, Nabi Saw menyatakan secara jelas bahwa warga suatu negara Islam tidak harus menganut agama Islam. Nabi Saw secara gamblang menolak elitisme dan rasisme, serta menuntut agar umat Islam memandang saudara-saudari lbrahimiah mereka setara di hadapan Tuhan.
Craig mempelajari Muhammad dalam kerangka menjawab pertanyaan, “Apa arti menjadi warga Amerika?” Meskipun umat Islam di seantero dunia dan warga Amerika terkadang dipandang sebagai musuh, penelitiannya menunjukkan Muhammad dan para pendiri bangsa Amerika Serikat menganut prinsip-prinsip yang sama.
Misal, ayat-ayat Tuhan yang diturunkan kepada Muhammad, mengarahkannya untuk merayakan keragaman dan mensyukurinya sebagai unsur pokok masyarakat Muslim. Pertemuan Muhammad dengan Tuhan selanjutnya direkam dalam Al-Quran, pada ayat yang menyatakan, “Wahai Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (QS Al-Hujurât [49]: 13)
Sebagai tambahan, dalam khutbah terakhir di bukit Arafah, Nabi Saw menyatakan bahwa, “Seorang Arab tidak lebih tinggi derajatnya dari orang bukan Arab, juga non-Arab tidak lebih tinggi derajatnya dari orang Arab. Seorang kulit putih tidak lebih tinggi derajatnya dari orang kulit hitam, pun orang kulit hitam tidak lebih tinggi derajatnya dari orang kulit putih, kecuali karena amal salehnya.”
Secara ringkas, Nabi Muhammad tidak suka menilai orang berdasarkan keyakinan agama atau warna kulitnya.
Dengan cara serupa, para pendiri bangsa Amerika juga memiliki kepedulian mendorong adanya persamaan. Alinea kedua Declaration of Independence menyatakan, bangsa Amerika, “meyakini kebenaran-kebenaran nyata ini, bahwa semua manusia tercipta sama derajatnya.”
Dalam Konstitusi Amerika Serikat juga dinyatakan, “Kongres tidak akan membuat undang-undang yang menghormati pendirian agama, atau pun yang menghalangi pengamalan agama tersebut secara bebas,” yang berarti bahwa seorang individu bisa berasal dari latar belakang keagamaan apa pun dan tetap menjadi warga Amerika.
Nabi Muhammad Saw dan George Washington memiliki pemikiran yang sama dalam hal mengutuk bentuk penyiksaan apa pun. Nabi Muhammad Saw sesungguhnya menjulang di atas barbarisme penyiksaan. Ia menyatakan dengan tegas, “Tahanan harus hidup dengan nyaman. Orang Islam harus lebih memperhatikan kenyamanan para tahanan daripada kenyamanan mereka sendiri.”
Lebih spesifik lagi, Muhammad Saw dan presiden pertama Amerika Serikat itu, memiliki semangat yang sama, khususnya terkait perlakuan terhadap kaum minoritas keagamaan. Dalam Konstitusi Madinah, Muhammad Saw menuliskan bahwa, “orang-orang asing” dalam masyarakat Muslim diperlakukan dengan pertimbangan khusus dan “dengan alasan yang sama sebagaimana para pelindung mereka.”
Lebih dari 1.000 tahun kemudian. Washington menulis bahwa “hati sanubari bangsa Amerika terbuka untuk menerima… orang-orang yang tertindas dan teraniaya dari semua bangsa dan semua agama, yang akan disambut [orang Amerika] untuk turut menikmati semua hak dan keunggulan (mereka). Baik mereka [Muslim], Yahudi, atau pun Nasrani dari aliran apa pun.”
Pada hakikatnya, Muhammad dan para pendiri bangsa Amerika memiliki visi ke depan mengenai pluralisme dan kesetaraan. Umat Islam di seantero dunia dan warga Amerika, baiknya mengingat pendekatan para tokoh tersebut dalam menemukan keseimbangan dan harmoni dalam komunitas-komunitas mereka.
Bagi Craig, nilai-nilai Islam sebagaimana diungkapkan Muhammad saw, dan nilai-nilai bangsa Amerika sebagaimana diletakkan George Washington, tidaklah terlalu berbeda satu dari yang lainnya. Melalui teladan mereka, kita bisa menabur benih-benih pemahaman dan perdamaian dalam masyarakat kita.
Kesimpulannya, Craig melihat Nabi Muhammad saw sebagai seorang yang memerangi rasisme sebelum hari-hari Nelson Mandela, dan sebagai seorang pemimpin yang senantiasa ingin mempersatukan, bukan memecah-belah, bangsa-bangsa dari beragam latar belakang berbeda.
Sebagai warga Amerika penganut Katolik, tidak masalah bagi Craig bahwa Muhammad Saw tidak menganut keyakinan yang sama dengannya. Tapi yang penting baginya adalah, karakter dan perilaku Beliau. Pada akhirnya, itulah yang ia harapkan dari umat manusia: agar mereka dapat melihat melampaui ragam keyakinan keagamaan dan warna kulit manusia, dan menyelam jauh ke dalam hati serta jiwa mereka.