“Seorang nelayan di Kecamatan Sepulu, Bangkalan, Madura, sontak kaget. Jaring yang ia tebar di tengah laut seketika terasa berat saat diangkat. Dengan harap cemas ia menarik jaringnya, sambil berkeyakinan bisa membawa pulang seekor ikan besar.
Namun betapa ia terhenyak begitu jaring berhasil diangkat ke perahu. Ternyata bukan ikan yang didapat, melainkan tubuh manusia. Lebih mengagetkan lagi, ternyata tubuh itu adalah Lora (Ra) Lilur yang sedang membujur. Sontak nelayan tersebut menceburkan kembali tubuhnya ke laut.”
Begitu sepenggal riwayat yang dituturkan Abah Kiyai saat kami mendaras kitab fikih al-Matnu asy-Syarif karangan Syeikhona Khalil bin Abdul Latif Bangkalan, buyut Ra Lilur–yang juga seorang waliyullah.
Berbeda dengan buyutnya, KH. Khalilul Rahman tidak mengampu pondok pesantren. Malah pada 1979, ia membakar pesantren tinggalan buyutnya itu. Namun setelah dibakar Ra Lilur, pesantren kuno itu malah bersalin rupa jadi gedung berlantai tujuh dan mirip sekali dengan hotel berbintang lima.
Kegemaran Ra Lilur menyelam di tengah laut, juga pernah ia lakukan di daerah Socah. Laku mirip Nabiyullah Khidir as ini sudah berjalan selama puluhan tahun. Sudah menjadi rahasia umum. Pokoknya apa yang dilakukan Ra Lilur, pasti menabrak keawaman masyarakat.
Seperti ketika ia menikahi seorang perempuan penjemur ikan asin yang tak jelas bibit-bebet-bobotnya. Kasus ini jelas di luar kebiasaan kalangan kiyai yang pasti menikahkan anaknya dengan sesama anak dari kiai lain.
Pertanyaan Abah Yai pada kami, “Bagaimana menghukumi perilaku manusia sejenis Ra Lilur? Bagaimana fikih menjatuhkan hukum bila ia shalat mengambang di dalam laut. Bisa menyelam sehari di laut tanpa alat bantu, itu sudah luarbiasa. Lha ini bertahun lamanya? Sunnatullah jenis mana yang berlaku pada Ra Lilur?”
Mendengar itu, kami hanya tertegun sambil menatap kitab yang tergeletak di atas lekar.
“Mang Santri,” lanjut Abah. “Islam itu diturunkan Allah sebagai tangga mendaki ke Sidrat al-Muntaha. Mereka yang sudah berhasil melampaui batas syariat dan menemukan jalan dengan tarekat, niscaya menemukan hakikat segala sesuatu dalam dirinya. Ia jadi insan paripurna yang telah mengenal diri sejati. Maka alam semesta pun tunduk melayaninya.”
Beberapa dari kami manggut-manggut mendengar wedaran Abah. Segelintir santri malah tenggelam dalam tidurnya lantaran kantuk melanda. Kusulut sebatang kretek. Abah bersiap melanjutkan. Jarum jam di dinding majelis berdentang duabelas kali. Malam yang dingin-beku itu, entah kenapa seketika beraroma garam yang bacin.
Seketika ingatanku kembali dari masa lalu. Di layar sabak seketika muncul berita pada pukul sepuluh malam. Ra Lilur berpulang ke Rahmatullah. Cicit Syaikhona Khalil Bangkalan yang bernama asli Kholilurohman ini, baru saja kembali ke tuhannya.
Lidahku mendadak kelu. Bangsa ini kembali kehilangan salah seorang penjaga tiang langit–yang setia dalam diam dan sepi. Senantiasa terjaga dalam keheningan.
Di tahun 2005 di saat KH. R. Abd Muiz Idris (Pendiri PP Al-Munir Banyuglugur Situbondo) wafat, menurut kesaksian seorang kawan di Bangkalan Madura, beliau Ra Lilur pernah berujar : “Ade’ lah tang kanca e dhelem tase’ ” (Gak ada sudah temanku di dalam laut)
Di mencari guru mursid yg tinggal di lingkungan sederhana…tapi penuh ke arifan…