USAI menandatangani Perjanjian Aqabah, Rasulullah Saw mematangkan renjana Hijrah ke Yatsrib (sekarang Madinah). Sebab, target utama kaum musyrik Makkah adalah, menggagalkan prosesi hijrah kaum Muslim tersebut. Rasulullah menyiapkan bekal, kendaraan, penunjuk jalan, strategi, dan rute yang akan ditempuh. Beliau juga meminta Abu Bakar ash-Shiddiq ra, dan Abdullah bin Uraiqit ra, agar menemaninya sebagai pemandu jalan.
Upaya persiapan perbekalan dilakukan oleh Aisyah ra dan saudaranya, Asma ra. Penugasan telik sandi guna mengetahui gerak-gerik lawan, diemban ‘Amir dan Fuhairah. Lalu urusan pengelabuan dijalankan dengan baik oleh Ali bin Abi Thalib yang masih teramat belia. Semua rentetan kejadian itu menunjukkan ikhtiar manusia, serta membuktikan bahwa mukjizat tidak boleh diandalkan dalam mencapai suatu tujuan. Perencanaan dan persiapan yang matang dan strategis itulah kunci keberhasilan suatu program.
Rasulullah meninggalkan rumah pada malam hari pada 27 Shafar tahun ke-13 kenabian, bertepatan dengan 12 atau 13 September 622 Masehi. Perjalanan awal keluar Makkah justru menempuh jalan berlawanan menuju Madinah, menuju Goa Tsur. Hal ini dimaksudkan untuk mengecoh para pengejar. Di goa ini mereka bermalam selama tiga hari. Kaum musyrik Quraisy sempat mengejar, tetapi keberadaan Rasulullah dan Abu Bakar di dalam goa, rupanya tidak mereka ketahui.
Peristiwa Hijrah yang harus dilewati dengan susah payah itu, juga disarati segi suprarasional seperti pandangan gerombolan yang mengepung rumah Nabi Muhammad Saw yang ditutup Allah, karena Beliau Saw membaca (QS Yaasin [36]: 9) yang berbunyi, “dan Kami jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang mereka juga demikian, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga tidak dapat melihat.” Ayat ini mengejawantah melalui kejadian berupa kehadiran seekor burung merpati yang sedang mengeram, dan sarang laba-laba di pintu goa Tsur yang baru saja dilewati Nabi Saw bersama Abu Bakar al-Shiddiq ra.
Rombongan Rasulullah Saw akhirnya tiba di Yatsrib pada Jumat 12 Rabiul Awal. Nabi Saw disambut penduduk Madinah dengan gegap gempita. Kedatangan kaum Muslim ke wilayah ini, sejatinya merupakan undangan masyarakat setempat yang selalu bersitegang dengan orang Yahudi keturunan pelarian umat Nabi Musa as—yang kemudian menjadi suku Nadhir, Quraizhah, Khazraz, Qainuqa, ‘Auz,. Jika ditilik dari sudut pandang ini, kita bisa meminjam pribahasa: keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau.
Betapa tidak. Keluar dari Makkah meninggalkan umat yang menjadi keturunan Nabi Ibrahim as, dan masuk ke Madinah lantas bersua dengan lima suku besar yang merupakan anak-cucu umat Nabi Musa as—yang lari dari kejaran Fir’aun. Sama saja artinya, kaum Muslim sedang digembleng begitu keras oleh Allah, langsung dengan skala tertinggi. Dalam perjalanan kehidupan Rasulullah Saw dan Anshar—nama yang kemudian tersemat pada mereka yang Hijrah, menunjukkan gejala kawah candra dimuka sebagaimana yang kami maksudkan. Tempaan keras itulah, yang kelak menaikkan derajat umat Islam ke kancah tertinggi umat manusia. Seperti yang disitir Al-Qur’an:
.رَحِيمٌ غَفُورٌ وَاللَّهُ اللَّهِ رَحْمَةَ يَرْجُونَ أُوْلَئِكَ اللَّهِ سَبِيلِ فِي وَجَاهَدُوا هَاجَرُوا وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ إِنَّ
“Sesungguhnya orangorang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS Sapi Betina [2]: 218).
Sebuah Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, dari Umar bin al-Khattab, juga menegaskan posisi strategis Hijrah dalam laku lampah kehidupan seorang Muslim:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
“Perbuatan-perbuatan itu hanyalah dengan niat dan bagi setiap orang hanyalah menurut apa yang diniatkan. Karena itu, siapa yang hijrahnya kepada kerelaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya ialah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan sesiapa hijrahnya untuk memeroleh keduniaan atau wanita yang bakal dikawininya, maka hijrahnya itu ialah kepada apa yang telah dihijrahi.”
Kata hijrah (هِجْرَةٌ) berasal dari akar kata hajara (هَجَرَ) yang berarti berpindah (tempat, keadaan, atau sifat), atau memutuskan, yakni memutuskan hubungan antara diri pribadi dengan pihak lain, atau panas menyengat, yang memaksa pekerja meninggalkan pekerjaannya. Dalam pengertian syar’iy, hijrah berarti, perpindahan Rasulullah Saw bersama para sahabatnya dari Makkah menuju Madinah, atau perpindahan dalam rangka meninggalkan kampung kemusyrikan menuju kampung keimanan, dalam rangka melakukan pembinaan dan pendirian masyarakat Islam yang sejati. Bisa juga diartikan dengan meninggalkan tempat, keadaan, atau sifat yang tidak baik, menuju yang baik di sisi Allah dan Rasul-Nya (kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw).
Dalam Al-Qur’an, kata hijrah dengan segala bentuk kata jadiannya, digunakan sebanyak 31 kali, dengan mengacu pada makna-makna sebagai berikut: (1) perintah meninggalkan keburukan dan kemaksiatan (QS Orang yang Berkemul [74]: 5); (2) berpaling dari istri yang tidak patuh (QS Perempuan [4]: 34); (3) meninggalkan orang-orang yang tidak beriman dengan cara yang baik, tanpa melukai hati mereka (QS Orang yang Berselimut [73]: 10); (4) kembali kepada Allah dengan harapan mendapatkan hidayah-Nya (QS Laba-laba [29]: 26); (5) meninggalkan tempat, keadaan, atau sifat, karena menuntut ridha’ Allah (QS Perempuan [4]: 89).
Menariknya, pada ayat-ayat tersebut, Allah menggandengkan terma hijrah dengan jihad. Hal ini menunjukkan bahwa tercapai atau tidaknya tujuan hijrah, sangat bergantung pada sejauh mana dan sebesar apa semangat perjuangan ketika berhijrah. Dengan demikian, hijrah membutuhkan jihad dan niat yang benar karena Allah Swt, sebagaimana juga ditegaskan Hadits riwayat Bukhari dan Muslim tersebut.
Syeikh Ibn Athaillah dalam Al-Hikam dengan mengutip Surah An-Najm [53] ayat 42, mengatakan, “Janganlah kau berpindah dari alam ke alam karena kau akan seperti keledai penggilingan, di mana tujuan yang sedang ditempuhnya adalah titik mula ia berjalan. Tetapi berpindahlah dari alam kepada Penciptanya. Allah berfirman, ‘hanya kepada Tuhanmu titik akhir tujuan.”’
Terhitung sejak saat itu, umat Muslim telah menduduki posisi tawar yang tinggi. Terbukti dengan perang demi perang yang berhasil dimenangkan, dan tentu, kedudukan Rasulullah Saw di Madinah—yang bahkan melampaui kehormatan dua kaisar penguasa dunia kala itu; Kay Kushraw di Sasaniyah (pelanjut Persia kuno), dan Heraklius di Byzantium.
Pelajaran berharga yang bisa dipetik dari perjalanan hijrah Rasulullah Saw bersama para sahabatnya adalah, mereka yang sudah beroleh jaminan kemuliaan di sisi Allah itu, berhasil melabrak ketakutan dan kekhawatirannya menghadapi bandul takdir. Mereka menjemput nasibnya yang masih diselimuti misteri, dengan gagah berani. Mereka pergi meninggalkan kebodohan, kejumudan, pertikaian, keterbelakangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban, masyarakat Makkah, dan kemudian berhasil menciptakan adab madani sebagaimana yang dicitakan Rasulullah Saw. Pada era inilah tercipta kali perdana, sebuah keadaan di mana manusia menjadi setara di hadapan manusia lain. []