Sedang Membaca
Menjelang Ramadan
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Menjelang Ramadan

KAMPUNG kami selalu meriah jelang hari pertama berpuasa. Sore hari sebelum berangkat ke masjid, anak-anak kecil giat mencari merang, kembang jambe, daun pandan, dan bebungaan guna keperluan mandi sekeluarga. Para ibu berdiang di dapur. Memasak makanan terenak yang nanti dibawa suami atau anaknya ke masjid.

Aku, pernah jadi bagian kecil dari ritual menyenangkan itu. Membawa senampan makanan berisi hasil kebun, ladang, dan sawah. Setiba di masjid, nampan diletakkan di tengah. Bersatu dengan banyak nampan lain.

Usai salat Isya, sebagian isi nampan ditumpahkan di atas daun jati, lalu kami santap bersama. Sisanya, ditukar tuk dibawa pulang. Sebagai bocah yang ketuaan, aku kerap jadi anak kecil satusatunya di antara para orangtua yang hadir pada malam munggah.

Kerana masih kecil, aku tak perlu berebutan seperti anak-anak muda dan para orangtua. Selalu ada saja yang bersedia mengisi nampan bawaanku dengan makanan enak yang sudah mulai kuincar sejak dari pandangan mata.

Setiba di rumah, nampan yang isinya kemudian telah dipindahkan ke perut warga rumah, kembali diisi oleh ibu dan nenek. Aku jualah petugas pengantar nampan itu ke tetangga atau jiran yang membawa pulang nampan kami. Sampai di rumahnya, nampan pun bertukar lagi ke pemilik asli. Lengkap dengan isian yang baru nan lezat.

Begitu kiranya yang kualami selama menghabiskan masa kecil di Sumatera, dalam balutan budaya “Pujakesuma”: putra Jawa kelahiran Sumatera. Jika di Swarnadwipa ada “Munggahan”, maka di Jawadwipa ada “Megengan”. Sedikit banyak keduanya bermiripan.

Ada beberapa model Megengan. Pertama, megengan gotong-royong. Masing-masing keluarga menyediakan jenis makanan berbeda. Ada yang membawa mie, nasi, ayam, daging, tempe, apem. Semua makanan itu dibawa ke salah satu rumah yang bersedia dijadikan tempat selametan.

Baca juga:  Membongkar Matematika Lailatul Qadar

Ada pun tuan rumah, menyediakan menu masakan untuk dimakan setelah selametan. Biasanya menu yang disajikan nasi rawon. Sedangkan makanan bawaan tadi nantinya dibagi sama rata dengan yang akan dibawa pulang. Di Jawa biasa dinamakan “berkatan.”

Kedua, model hantaran ke masjid. Jenis megengan ini, masing-masing keluarga sudah membawa menu lengkap dari rumah, nasi beserta lauk-pauknya. Makanan tersebut dibawa ke masjid. Setelah selesai dibacakan doa, hantaran lantas dibagi untuk para hadirin dengan cara saling menukar. Ketiga, model hantaran langsung ke tetangga. Setiap keluarga membuat makanan “berkatan” yang kemudian dibagi ke tetangga terdekat.

Di tatar Sunda, tradisi yang sama dinamakan cucurak. Secara harafiah artinya upacara makan bersama. Inti dari munggahan, megengan, dan cucurak adalah, silaturahim. Baik kepada mereka yang masih hidup atau sudah wafat. Berbagi rizki dan kebahagiaan Ramadan yang sudah di depan mata.

Munggahan berarti menaiki tanggal terakhir Sya’ban. Sedang megengan adalah menahan. Ini bentuk kreatifitas bangsa kita menerjemahkan “Marhaban ya Ramadhan,” sebagaimana pernah dilansir Rasulullah saw. Ajaibnya, laku seperti ini juga dilakoni oleh mereka yang bukan beragama Islam. Semata demi menyemarakkan suasana kampung yang berbahagia.

Sejauh ini kami belum menemukan kapan dan siapa yang kali perdana menggelar tradisi itu di negeri kita. Namun yang terpenting kita garis bawahi, bangsa Nusantara telah menghidupkan spirit Islam dalam jantung kehidupannya dengan cara yang unik dan tiada dua di belahan dunia Islam mana pun. Kerana muslim Indonesia telah gemar melaksanakan gotong-royong, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Alquran QS. Al-Ma’idah [5]: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.”

Baca juga:  Sedekah Laut dalam Pandangan Budaya dan Agama

Muslim Indonesia juga sudah terkenal dengan tenggang rasanya pada perbedaan dan cenderung mudah menghargai satu sama lain. Ada anjurannya dalam (QS. Al-Hujurat [49]: 13):

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Teliti.”

Selain dua kecenderungan tersebut, muslim Indonesia juga terkenal akan keramahan dan kelembutannya pada bangsa mana pun di dunia ini. Lagi, Alquran telah mendeklarasikan hal senada:

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 159)

Tradisi penghantar Ramadaan itu sejatinya juga menunjukkan bahwa muslim Nusantara itu hobinya silaturahim. Berjalin kelindan dengan ayat yang menyatakan:

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawwa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 1)

Baca juga:  Apakah “Tasbih” Itu? Kok Ada dalam Tradisi Islam, Katolik, Hindu, Buddha, bahkan di Dunia Politik?

Dalam amatan kami, setidaknya Ramadan yang sudah di depan mata, jadi saksi dua peristiwa besar dalam Islam pada masa awal. Pertama, Fathu Makkah (Pembebasan Makkah) sebagaimana informasi dalam hadis riwayat Bukhari yang dilansir Ibnu Abbas.

Kedua, perang Badr yan legendaris dan heroik itu. Jadi nampaknya, bukan tak mungkin perhelatan menyambut kehadiran Ramadan di negeri kita bertalian erat dengan dua lakon besar tersebut. Semacam perayaan kebahagiaan umat Islam atas kemenangan mereka merontokkan tirani kaum kafir Quraisy. Begitulah salah satu cara warga kami menyambut Ramadan datang.

Dulu, kupikir tradisi itu hanya ada di kampung kami sahaja. Ternyata aku salah duga. Masyarakat di penjuru Nusantara juga punya cara tersendiri untuk menaiki (munggah) tangga bulan Sya’ban terakhir, menuju Ramadan.

Kini, aku memaknai munggahan sebagai sebuah laku kenaikan kelas. Sebab secara spiritual, semua makhluk ciptaan Allah akan terus tumbuh. Ke atas. Mencari cahaya. Mendaki ke Sidrat l-Muntaha. Bukan menua, rusak, atau malah hancur kembali tanah. Jika itu yang terjadi, wajar bila kenangan tentang Ramadhan hanya seputar lapar dan dahaga belaka. Lebih dari itu, tak.

Ramadaan itu selalu tentang puasa. Akarnya upawasa. Diambil dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua kosakata; upa dan Wasa. Upa artinya dekat atau mendekat, dan Wasa berarti Tuhan atau Hyang Maha Kuasa. Jadi puasa atau Upawasa sama dengan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Semoga kita masih bersua Ramadhan… []

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top