Seorang bapak baru saja mengantarkan anaknya yang hendak mengaji. Rumah mereka dan kodong (tempat anak-anak ngaji), hanya dipisahkan sebuah jembatan. Usai menuntun anaknya ia pun balik kanan menuju kediaman. Saat kakinya baru saja akan memasuki rumah, seketika terdengar bunyi tanah merekah, bergeliat, dan bluuummm.
Kali ini ia membalik badan ke arah jembatan. Tatapan matanya yang menyiratkan kekagetan luarbiasa, hanya bertumbukan dengan sebuah hamparan tanah kosong berlumpur—dan kemudian dibalut kesedihan tiada tara. Bapak yang malang itu, baru saja melewati fenomena terbaru di negeri ini, yang disebut likuifaksi. Bumi menelan semua yang ada di atasnya hanya dalam hitungan detik. Tanpa ampun.
Perkampungan yang hilang akibat semburan lumpur dari perut bumi itu, bernama Petobo. Masuk dalam distrik Sigi. Berdasar data yang berhasil dihimpun kemudian, ada 180 ha persegi lahan yang hilang dalam sekejap. Menurut Dr. Eka Erwansyah, relawan Tim DVI Unhas, diperkirakan sekira 900-an orang terkubur hidup-hidup di sana, termasuk di antaranya 200-an orang siswa SMA sedang berkemah di kampung tersebut.
Rajahan likuifaksi yang menimpa Petobo, adalah rangkaian terakhir guncangan gempa berskala 7,4 SR berjarak sepuluh kilometer dari Donggala di Palu—yang kemudian mewujud tsunami. Secara keseluruhan, sekira 2.010 jiwa yang mangkat hidupnya pada Jumat, 28 September 2018 lalu. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Tulisan sederhana ini kami alamatkan guna mengingatkan diri sendiri. Bukan malah mengutuki mereka yang terdampak bencana itu sebagai segolongan kaum yang sedang diazab. Sungguh, itu akan sangat menyakitkan hati saudara kita di Palu sana. Kisah pilu di Palu tidak sama dengan yang menimpa kaum Sodom-Gomora (Amora), yang kotanya dicungkil Malaikat Jibril as lantas dibawa terbang ke langit dan kemudian dibanting secara terbalik. Lalu berubah menjadi Laut Mati.
Tulisan ini juga bukan untuk membela seorang anak manusia yang kini ditahbis sebagai presiden ketujuh negara kita—dan dituduh segelintir orang bernalar nuklir. Bukan sama sekali. Kami yakin seyakin-yakinnya, sejak era kenabian-kerasulan dipungkasi manusia agung bernama Ahmada Mustofa bin Abdullah, Allah pun menutup pintu adzab di dunia. Kenapa? Ya karena Kekasih-Nya itu. Kabar dari Janji Allah ini pernah kami dengar dulu sekali, saat mengawali karier mengaji Hadits di langgar kampung, di bawah arahan seorang kiai muda perbawa.
Pertanyaannya, jika memang harus dinamakan azab, kenapa bukan Las Vegas milik Donald Trump di Amerika sana yang dilamun gempa? Sepengetahuan kami, sedari awal manusia mulai menyekolahkan rasionalitasnya, persoalan tersebut kerap diperdebatkan untuk kemudian dijawab. Jadi saudara-saudara, ini bukan semata-mata soal hukuman tuhan. Ini tentang bagaimana kita harus memaknai sebuah bencana menjadi hikmah. Kami akan membincangnya dengan menggunakan sinaran Theodesi.
Secara harfiah, Theodesi bisa diterjemahkan sebagai Keadilan Tuhan. Terambil dari dua suku kata dalam Bahasa Yunani: theos (tuhan) dan deki (keadilan).
Mari kita tilik sejenak sejarah Kota Palu? Nama kota ini berasal dari kata topalu’e: tanah yang terangkat, karena daerah ini semula adalah lautan. Gempa dan pergeseran lempeng lah pembentuk daratan lembah yang sekarang menjadi Palu. Kota ini jelas berdiri di atas patahan besar sejak dulu kala, sejak masih berbentuk kerajaan pada 1796. Berdasar catatan ilmuwan Belanda, sudah beberapa kali Palu mengalami gempa besar. Data gempa tertua terekam pada 1 Desember 1927 dan mengakibatkan tsunami di Teluk Palu. Lantas gempa terjadi lagi pada 30 Januari 1930, juga disertai tsunami. Delapan tahun berselang pada 1938, kembali terjadi hal yang sama.
Palu terletak di dataran tunak dengan lapisan tanah yang belum solid, dan kaya akan kandungan air dalamnya. Kota ini terletak di teluk yang merupakan corong pengumpul energi jika terjadi gelombang tsunami. Satu lagi, Topalu’e berada di lembah yang dihimpit oleh pegunungan, yang ternyata merupakan hasil dari sebuah patahan (Sesar Palu Koro ke arah barat laut–tenggara). Inilah sesar teraktif di seantero dunia dengan rata-rata pergerakan 40 mm per tahun.
Rekam jejak inilah yang sesungguhnya bisa kita pelajari.
Likuifaksi yang menerjang Petobo, terpicu oleh massa batuan yang bergerak karena gempa utama 7,4 SR dan membuat pergerakan longsoran (submarine slope failure) sepanjang zona patahan dengan sedimentasi lunak di atasnya. Di lembah yang entah mengapa malah dijadikan perumahan). Tanah menjadi kehilangan daya dukung, air yang ada di dalamnya keluar, batuan endapan menjadi laiknya bubur, dan alhasil segala yang ada di atasnya amblas ditelan bumi.
Demi memudahkan penalaran, mari kita gunakan silogisme berikut:
Tuhan Mahabaik dan Mahakuasa. Dunia mengandung kejahatan dan atau keburukan.
Konsep bahwa Tuhan itu Baik dan kejahatan itu ada, diduga berasal dari kaum Manikhean penganut Zoroastrianisme di Persia (Iran sekarang), atau mungkin juga dari agama Hindu yang lebih tua dari Islam. Hal yang jarang terpikirkan banyak orang adalah, Kebaikan Tuhan tak berdampak pada kekejaman hukuman-Nya. Karena musibah dan bencana, merupakan ketidakmampuan kita mencerap nilai Kebaikan Sejati Tuhan dalam hidup di semesta raya ini.
Perihal itu melulu murni kerana ketiadaan kesanggupan memafhumi. Selaik ketunarunguan, kebutaan, sakit, kebodohan, dan kelemahan, adalah ketiadaan pendengaran, penglihatan, kesehatan, pengetahuan, dan kemampuan. Karena merupakan ketiadaan (nonexistence, nonbeing, nothingness—dalam terma filsafat), maka kejahatan atau keburukan tak bersumber dari Pencipta, sebab penciptaan hanya berjalin kelindan dengan keberadaan dan kemengadaan (mawjudat, existence, being). Pada kesempatan lain kami akan mengurai kajian ini dengan lebih saksama.
Model penalaran seperti itu pun, terkadang masih akan dibenturkan dengan dua hal. Agama dan Sains. Dua subjek besar yang kerap bertarung sengit ini, selalu memiliki klaim dan argumentasi tingkat tinggi demi membangun apologi atas apa yang mereka yakini. Kalangan agama akan mengamini bahwa: boleh jadi Palu memang harus dihantam bencana seperti itu. Supaya mereka sadar dengan kesalahan yang selama ini sudah dilakukan.
Kaum saintifik beda cerita. Bencana takkan bisa dihindari, karena lengkap secara syarat dan potensi. Alam, sudah bekerja cerdas dengan caranya sendiri. Mekanika Newton, relativitas Einstein, jadi pisau bedah utama bagi kelompok ini.
Sepintas, kita akan melihat bagaimana tajamnya perbedaan kedua golongan itu. Padahal jika ingin merenung lebih dalam. Lebih tenang. Keduanya nyaris seperti sekeping mata uang. Agama memiliki dalil Ilahiah, saintis menggunakan aksioma. Dalil ilmiah adalah upaya manusia brilyan untuk menjawab kerja ajaib nan misterius Tuhan. Aceh, Nias, Jogja, Lombok, Palu boleh luluh-lantak. Dibabak-bundas oleh samudera. Lantak dihembalang petaka. Tapi adakah di antara kita yang bisa menguak tabir misteri Rencana Besar apa yang sedang disembunyikan Tuhan di balik bencana itu?
Indah pemandangan di puncak gunung, baru bisa dinikmati setelah kita rela bersusah payah melintasi segala halang rintang yang menghadang. Maka ketika kaki kita berdiri di puncaknya, hanya tabularasa yang bisa dinikmati. Itulah keindahan sejati. Hidup kita ini juga berpusar di sekitaran itu. Allah Maha Indah dan Dia mencintai keindahan. Allah Mahabaik dan Dia menyukai kebaikan.
Maka menjadi wajar kiranya jika kemudian Rendra menggurat bagian akhir dari puisi panjangnya dengan syair: “Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja.” Senada belaka dengan firman Allah dalam Surah al Hadid [57]: 22):
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِى ڪِتَـٰبٍ۬ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٲلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ۬
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan [tidak pula] pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab [Lauh Mahfuzh] sebelum Kami menciptakannya. Sungguh yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Sepahit-pahit obat, kita tetap harus menelannya demi mendapatkan kesembuhan. Separahparah musibah, tampaknya memang kita harus menerimanya tanpa bisa ditawar. Jika hal itu tak dibolehkan, sama dengan kita menutup datangnya Kebaikan yang sudah tertabiri kejahatan, kebanalan, yang bersimaharajalela.
Catatan singkat ini jelas akan sangat sedikit bersumbangsih pada pencarian jawaban. Selebihnya, kami hanya berupaya menyingkap selendang misteri penciptaan, yang tak lain adalah satu dari sepersekian milyar usaha manusia untuk bisa mengada. Mungkin. []
Depok, 5 Oktober 2018