HIRUK-pikuk pemilihan presiden Indonesia 2019, turut pula meruyak ketenangan sebuah pesantren terpencil di barat Jawa—yang santrinya hanya berjumlah empat orang sejak didirikan. Nama pondokan ini, berikut identitas dua tokoh yang ada dalam tulisan kami, sengaja tak ditayangkan. Demi menghindarkan mereka dari guyuran fitnah dan berita bohong yang kian merajalela.
“Mang santri, nanti mau nyoblos siapa?” tanya seorang lelaki paruh baya berperawakan tinggi. Seluruh rambut di kepalanya, memutih sudah. Santri yang ia sapa, sedang ngungun merenungi nasib.
“Can nyaho, Abah. Belum tahu. Saya malah sedang mikirin diri sendiri saja lah. Sudah tiga puluh tahun nyantri, masih begini pisan kelakuan. Jangankan capres, dengan diri sejati saja saya tidak kenal.”
“Lantas apa saja yang engkau pelajari selama puluhan tahun di sini, Mang?”
Suasana hening sejenak. Angin berkesiur menyentuh dedaunan sembilu di samping kobong mang santri.
“Ada delapan hal, Abah. Tidak lebih dan kurang,” jawab mang santri usai nyeruput kopi dan menyulut kreteknya.
“Jagat dewa batara… Coba tolong uraikanlah delapan hal itu pada abah.”
Abah kiyai yang sudah hidup sejak masa Abu Hamid al-Ghazali itu pun, menegakkan punggung. Bersila. Sebatang kretek telah berasap di jepitan bibirnya. Secangkir kopi hangat lagi kental, baru saja diantarkan ke hadapannya oleh seorang santri lain. Figuran dalam kisah kita.
“Pertama, ketika abdi memandangi makhluk yang ada di dunia ini, masing-masing terlihat mempunyai kekasih, dan ingin selalu bersama—bahkan kalau bisa hingga ke dalam kubur. Namun ketika sang kekasih telah dikubur, mereka merasa kecewa karena tidak Iagi dapat bersama masuk ke liang lahat (lebih tepatnya, takkan mau) dan berpisah selamanya. Karena itu daku ingin menjadikan perbuatan baik sebagai kekasih sejati, sebab jika kelak daku masuk dalam kuburan, maka ia akan ikut bersama.”
“Benar sekali itu, Mang,” ujar Abah Yai sambil manggut-manggut. Apa yang kedua?”
“Allah SWT berfirman, ‘”Dan ada pun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu, maka sungguh Surgalah tempat tinggal bagi mereka.’” (QS an Nazi’at [79]: 40-41)
Manakala memperhatikan kehidupan manusia zaman ke zaman, abdi teh yakin bahwa firman Allah SWT tersebut, benar adanya. Manusia tinggal jadi seonggok daging karena dikuasai hawa nafsunya semata,” pungkas mang santri.
“Alangkah celakanya hidup yang demikian itu, Mang. Naudzubillah… Sok dilanjutkan!”
“Muhun, Abah. Ketiga. Ketika memandangi manusia di dunia fana’ ini, semua makhluk memiliki ragam benda, dihargai, dianggap bernilai, dan dijaga sekuat tenaga. Padahal dalam Alquran Allah telah berfirman, ”Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah kekal abadi, dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala terbaik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS an Nahl [16]: 96)
“Karena itulah setiap kali menengadah tangan ini ke atas dan jatuh sesuatu yang berharga—pun bernilai, seketika abdi hadapkan kepada Allah, agar kekal di sisi-Nya.”
Abah Yai membuka tutup gelas kopi. Membiarkan aromanya menguar ke segala penjuru kobong.
”Lalu apa yang keempat, Mang?”
“Manusia yang ada di dunia ini, masing-masing selalu menaruh perhatian khusus terhadap harta, kebangsawanan, kemuliaan, dan keturunan. Lalu ketika daku renungi semua itu, tibatiba tampak tidak ada apa-apanya. Sebagaimana firman Allah SWT, “… sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha-mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al Hujurat [49]:13)
“Maka daku pun berjuang mencapai maqam itu, dan ternyata susahnya luarbiasa. Laksana memasukkan gajah ke lubang jarum. Mohon doa dan ridhanya, Abah…”
“Muhun, Mang. Bismillah… Lantas apa yang kelima?”
“Anak-anak manusia itu ternyata gemar saling menohok, mengolok, dan mengutuk satu sama lain. Penyebabnya adalah kedengkian. Padahal dalam firman Allah dinyatakan, ”Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupannya dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang Iain, dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS az Zukhruf [43]:32)
“Maka itulah perasaan dengki pun kutampik dan daku pun “menjauh” dari orang banyak. Lantaran tahu pembagian rizki dari Allah, karena itu, permusuhan orang banyak, kunafikan.”
“Berhasil, Mang?” tanya abah sembari nyumut kreteknya yang kesekian.
“Jelas gagal melulu, Abah…” Mang santri tertunduk malu.
“Ula pundung kitu. Tak usah bersedih. Abah juga masih susah payah mengendalikan diri. Sarua kéné… Terus apa yang keenam?”
“Banyak sekali manusia di dunia ini yang suka berbuat kedurhakaan dan berperang satu sama Iain. Lagi-lagi telah diingatkan Allah dalam firman, ”Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh, karena sesungguhnya gerombolan setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS Fatir [35]: 6)
“Perkaranya adalah, bagaimana cara memusuhi suatu objek yang nirkasat? Apa pula bedanya setan dengan iblis, Bah?”
“Iblis teh hobinya ngajak musyrik. Kalau setan, seneng nyalahin yang lain,” jawab Abah sedikit menggoda.
“Aduh deh…”
“Jadi yang ketujuh apa, Mang?”
“Setiap orang kerap kali mencari sepotong bagian dari dunia ini. Lalu ia menghinakan diri padanya dan memasuki ranah yang dilarang oleh tuhan. Andai mereka mau menelaah ayat Alquran berikut ini;
”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan AIIah-Iah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu sekaligus tempat penyimpanannya. Semua telah tertulis dalam Kitab yang Nyata/Lauhul Mahfudz.” (QS Hud [11]: 6)
“Daku termasuk binatang melata yang rizkinya ada pada Allah. Karena itulah kukerjakan apa yang menjadi hak Allah pada diri ini, dan kutinggalkan apa yang menjadi hak Allah pada diri pribadi.”
“Waduh berat eta, Mang. Kudu banyak tirakat. Riyadhah. Mujahadah…”
Kini abah yai terdiam. Matanya menembus jauh ke kaki langit selatan.
“Justru sebab itu saya nyantri sama Abah. Usia sudah tiga puluh tujuh begini. Malu sama hidup.”
“Oh iya, naon atuh yang terakhir?”
“Teramat banyak manusia menggantungkan diri pada makhluk lain—yang jelas lebih rendah derajatnya. Ada yang menghamba pada benda-benda, perniagaan, kegemaran, fantasi, sensasi, tipuan pikiran, atau pada samsara perasaan. Alquran juga sudah menyinggung perkara ini;
‘”… dan sesiapa bertawakal kepada Allah niscaya dicukupkan segala keperluannya. Sungguh Allah melaksanakan urusan-Nya, juga mengadakan ketentuan bagi segala sesuatu.”‘ (QS at Thalaq [65]: 3)
“Daku pun berupaya tawakal kepada Allah, agar tercukupi seluruh keperluan hidup sendiri.”
“Pada kenyataannya kumaha, Mang
Santri?”
“Lieur, Abah. Hampura… Abdi mah apa atuh.”
”Mang santri, semoga Allah SWT melimpahkan karunia-Nya kepadamu. Sekarang abah mau tanya. Di antara semua bagian dalam diri kita, manakah yang paling bertanggung jawab sebagai aku? Sehingga dengan itu kita berani mengajukan pengakuan. Pendakuan. Mengaku sebagai yang paling mengerti segala. Mendaku pemegang tunggal kebenaran dan menghakimi yang lain dengan hujatan tak berkesudahan.”
Mang santri mendadak sibuk memutar biji tasbihnya.
“Manusia, dengan riwayat panjang selaku pengampu kehidupan di bumi, di dunianya, telah membangun pusparagam pemahaman bertingkattingkat yang saling berhubungan. Kita cenderung tertantang melakukan pencarian tanpa henti. Mencari apa saja yang berkenaan dengan kehadiran kita di sini. Dalam kehidupan ini. Mencari jawaban atas sekian banyak pertanyaan—yang lebih sering tak memiliki jawaban.
Bianglala kehidupan yang kita warisi dari para Pendahulu, sejatinya sama saja dari waktu ke waktu. Hanya berisi kumparan pertanyaan melingkar tanpa ujung.
Seolah hidup ini disusun secara misterius nan ajaib dari rangkaian pertanyaan saja. Lalu, kenapa kita gemar bertanya dan dari manakah sebuah pertanyaan muncul ke permukaan pikiran? Para bijak bestari meyakini sumbernya adalah rasa ingin tahu. Secara sederhana kita sering menyebutnya; kegelisahan. Maka manusia yang gelisah akan menautkan dirinya dengan bertanya tentang:
Siapa kita sebelum dilahirkan? Kenapa kita jadi manusia dan bukan lainnya? Kenapa yang lainnya tidak jadi manusia?
Ke-ada-an kita didahului ketiadaan. Maka kita hanya ketiadaan yang mengadaada. Lalu kenapa kita bersusah payah memilikinya?
Ke mana perginya masa lalu?
Di mana kehidupan berada? Apakah penyusun sejati ruang-waktu hidup ini?
Ke mana katakata melindap setelah diucapkan? Akan menjadi apa semua yang kita pikirkan, renungkan, dan jalani, ketika kembali muspra? Ada itu apa? Tiada itu bagaimana?
Kita mukim di Bumi. Lantas kenapa memikirkan Langit?
Apa yang terjadi bila tak ada agama atau agama kemudian tiada?
Masih banyak pertanyaan lain yang bisa diunggah. Sumangga ditambahkan sendiri dan jawablah [jika berkenan], tanpa bantuan kitab suci mana pun yang pernah ada,” pungkas Abah Yai yang kemudian lenyap dalam dirinya sendiri.
“Duh, Abah, saya izin nyantri sampai mati… [belum tamat]
Pelabuhan Ratu, 13 April 2019
isi materinya copas dari 8 masalah Hatim al-‘Asham yak? Saat berguru selama 33-40 tahun.