Sedang Membaca
Kita adalah Anak-Cucu Waktu
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Kita adalah Anak-Cucu Waktu

Alam semesta hanya mengenal satu perkara: bergerak. Mengikuti sebuah rancangan besar yang terentang sepanjang tiga belas miliar tahun lampau. Lalu terciptalah ruang, energi, serta materi—dengan Ledakan Dahsyat (ad-Dukhan). Menggabungkan materi dan energi jadi atom-atom. Meleburkan atom jadi molekul; dan dari molekulmolekul inilah, pola rumit nan ajaib makhluk hidup, dirakit.

Waktu mewujud dalam kehidupan kita sebagai gerak tak henti. Nirbatas. Melaju sesukanya. Menggilas apa dan siapa saja. Ia menyimpan dalam dirinya, kenangan masa lalu dan lalu masa depan—pada kekinian yang serentak. Meruang di seantero penjuru. Waktu menatar kita mengakrabi jenuh menunggu, sabar berjuang, rindu bertemu, tabah berpisah, lahir lalu mati, sedih nan bertungkus lumus, dan lepas dari kemelekatan pada ke-ada-an dalam ketiadaan.

Perihal itu semua, geraklah penanggungjawabnya. Ia mematri hukum pada dirinya dengan apa yang kita sebut; berubah. Perubahan. Peralihan. Malih. Mulih. Semua makhluk bergerak menuju puncak pencapaian tertinggi. Gerak transendental ke arah cahaya. Selaik suara, gerak pun beresonansi hingga ke tepian semesta. Menyusuri kehendak abadi tuhan yang tak henti mencipta ketiadaan. Bukan creatio ex nihilo sebagaimana yang diyakini manusia di Barat sana, bahwa segala sesuatu muncul dari ketiadaan. Sejatinya, kita tak pernah muncul. Kita tetap berada dalam ketiadaan yang diadakan—dan kemudian kembali pada kemeniadaan. Tiada tapi mengada-ada.

Duh, agak rumit memang. Namun begitulah. Para mistikus Islam abad pertengahan malah dengan yakin mendaku bahwa alam raya adalah imajinasi Tuhan yang wajib wujudnya.

Lebih lucunya lagi, Tuhan memberi kita kesempatan menduduki tampuk tertinggi dari keabsurdan itu. Dia menganugerahi kita Ruh-Nya, jiwa, akal, qalbu, sulthan, hidup, nafsu, dan tubuh yang melekat dalam kefanaan. Sudah tiada, sementara pula. Aksioma seperti ini sulit dicerna, tapi begitulah adanya. Hanya kita lah satu-satunya makhluk di jagat raya yang sanggup memasuki medan kerumitan semacam.

Baca juga:  Virus Corona, Keagamaan, dan Kemanusiaan Kita

Sebelum segala sesuatu meruang-mengada dan dinamai, waktu lah yang lebih dulu tercipta. Ia ditawari amanah oleh Tuhan tuk merawat semesta raya, namun dengan rendah hati ia menolak. Halus sekali. Bahkan sangat halus. Saking halusnya, ia melindap dalam reka cipta Tuhan bersama keabadian. Waktu terus menjadi. Sedari Adam pertama hingga yang ke-40 ribu bani berikutnya.

Sepanjang karier waktu setelah itu, ia terus setia menemani segala sesuatu yang kemudian bernama. Ia mengejawantah di dalam ketukan, tempo, rambatan, interval, jarak, ruang, momen, dan zaman. Horizontal pun vertikal. Ia mengada sejak azali—mula yang tak tercandra, tak tertandai. Tak satu pun kita bisa memastikan permulaan hadirnya, juga di mana ujung perhentiannya. Ia tetap setia menyelubungi dirinya dalam misteri.

Selain ayam (hayam) yang presisi menandai badan halus waktu, matahari (Sunda) yang jadi penentunya, kita manusia, juga tak kenal lelah memahami lesatan waktu, dan terus berjuang mengalahkan gelombang lengkungnya—seperti yang diyakini Einstein seabad lalu. Upaya penaklukan itulah yang kemudian menuntun kita menamai waktu silam sebagai lalu, waktu di sini sebagai kini, waktu kemudian sebagai masa datang.

Waktu yang lalu, berubah kenangan. Kini jadi sekarang. Waktu nanti kita sebut harapan—yang terselip dalam doa-doa.

Semua kondisi tersebut hanya tinggal nama. Waktu tetap setia pada tugasnya. Ia terus merambat pelan, melindas, pasti, niscaya, terasa. Tak peduli apa, siapa, bagaimana, semua sama di hadapannya. Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, windu, dasawarsa, abad, alaf, adalah perkara yang sama. Semua kita bagian dari perjalanan panjang waktu yang tak bisa mundur barang sekejap. Ia terus melaju. Ke ujung terjauh.

Para sufi qalandar (highlander, dalam terma masyarakat Barat), sadar betul bagaimana cara menghadapi waktu. Mafhum cara mewaktu. Fasih dalam meruang. Mereka terlibat intim proses Allah Mencipta dalam karsa-Nya (kerso ning Gusti). Tekun menelusuri jalurnya. Khawatir dan takut jika keluar dari interval-Nya. Perilaku itulah yang lantas menjadi qadha, takdir, dan nasib.

Para sufi qalandar, adalah bagian dari segelintir manusia yang menyadari peran dan fungsinya sebagai anak-anak zaman. Para penyintas sejati yang tak hidup di masa lalu dan yang akan datang. Mereka hidup di sini, sekarang, pasti.

Waktu merenggut usia kita dan mengembalikannya pada semesta. Kenapa kita? Kerana hanya kita lah di dunia ini yang selalu punya urusan dan perhitungan dengan waktu. Bahkan tuhan bersumpah atas nama waktu dan memaklumatkan kerugian besar manusia yang tersimpan dalam waktu (QS. Al ‘Asr [103]: 1-2).

Baca juga:  Bineka Tunggal Warteg: Melihat Lebih Lekat Sejarah Warteg dan Perkembangannya

Kesadaran pada hukum waktu itulah yang membedakan kita dengan makhluk lian di jagat raya. Kita belakalah yang getun menunggu putaran waktu kelahiran, merayakannya, bersuka cita, dan kemudian meratapi diri yang terus menua. Usia seolah bertambah. Tapi jatah hidup makin tersisa sedikit saja.

Hukum waktu membedakan antara dunia, zaman, bumi, dan masa buatan peradaban manusia modern yang terpisah dari lingkungan asalinya, semesta hidup: kosmos. Itu semua menegaskan bahwa semua pergolakan planet dan kekacauan sosial yang kita alami saat ini berhubungan langsung dengan pengutamaan berlebihan pada teknologi manusia, bukan tatanan Ilahi dan kodrat kehidupan.

Hal ini disebabkan kesalahpahaman kolektif terhadap rambatan (frekuensi) waktu. Hidup dalam waktu yang artifisial (palsu), membuat hubungan kita terputus—dengan alam kita sendiri. Kita selalu merasa seperti memiliki “waktu yang cukup lama”. Padahal sebaliknya.

Kita merasa telah kehabisan waktu, meski sejatinya waktu tak permah memberikan seinci saja dari dirinya untuk kita. Engkau hanya sedang merasa-rasa. Lebih tepatnya mengada-ada belaka. Seolah memiliki ternyata miskin papa. Fakir sejati. Bagaimana tidak. Bahkan diri ini saja tiada pernah jadi milik kita seutuhnya. Takkan.

Sebagaimana waktu diperam oleh batu, seluruh fakultas diri kita pun memiliki kemampuan merekam putaran waktu dunia masing-masing. Lalu kita memilih jalan lain yang entah ke mana hilirnya. Kita selalu menyukai perjumpaan, dan sangat mengkhawatirkan perpisahan. Kemudian kita pun bersedih, terluka, sengsara. Kita terus-menerus berjumpa dengan kekinian, dan selalu gagal menyikapi kenyataan. Sadar atau tak, seluruhnya itu kian mempersulit diri sendiri.

Baca juga:  Joseph Schacht dan Teguran bagi Pelajar Muslim

Hukum Waktu menyatakan: Energi yang diperhitungkan menurut waktu sama dengan seni. Dalam persamaan ini, (E[nergi]) mengacu pada semua fenomena dalam proses hidup kita; dan (W[aktu]) adalah momen saat ini yang bekerja sesuai perhitungan tetap. Maka segala sesuatu yang terbentuk oleh waktu adalah seni.

Berdasar itulah, kita bisa menahbiskan hidup sama dengan seni. Keindahan penciptaan tuhan yang takkan berulang. Adikarya yang mandiri. Satu-satunya. Tunggal manunggal. Tak bisa disamakan dengan persamaan apa pun. Kita yang sedemikian rupa ini, adalah objek sekaligus subjek utama hidup yang hidup bersama waktu.

Mari kita belajar dari para penyintas waktu. Mereka yang telah hadir di masa itu, masih terus ada hingga saat ini. Nama dan hidup mereka kita catat jadi sejarah.

Peran dan fungsi mereka, mangkus dalam hidupnya. Jutaan manusia hari ini mengagumi kerja nyata mereka—yang berjalan dalam titik, garis, bidang, dan ruang semesta kecil. Mikrokosmos. Jagat alit.

Wajar jika pusara mereka masih ramai dikunjungi peziarah kehidupan. Umat beragama menyebut ini sebagai karomah, keramat, berkah, tuah, santa—dari daya mati. Sudah puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun mereka pergi mendahului kita, selamanya, namun kian berkibar pula nama mereka di dunia ini. Harum nan mewangi. Akhir kalam, kita punya satu soal semata: menyintas kehidupan.

Siapa pun yang berhasil menggandeng tangan waktu, niscaya ia telah berada di jalur keabadian. (ATK)

Ren Muhammad, 24 April 2019

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top