SEKAMPUNG manusia di Cisolok, Sukabumi, terbenam longsoran tanah. Menyusul mereka yang rejam disapu tsunami di Pantai Carita. Semburat sinar kembang api berpendaran di langit malam terakhir 2018. Festival tutup tahun usai dipentaskan. Orang-orang ditenggelamkan euforia. Diseret waktu yang tak kenal ampun, dan hanya menyisakan lupa dalam benak manusia. Bersama lembaran riwayat baru kehidupan. Kalender lama sudah disobek oleh masa lalu.
Kalender baru yang kita gunakan saat ini dinamai “Masehi”. Deret waktu tahunannya (1 M) diasumsikan dari masa kelahiran Isa al Masih (Yesus Kristus). Berdasarkan pembagian tersebut, sebelum tahun 1 disebut sebagai SM (Sebelum Masehi), BC (Before Christ), atau BCE (Before Common Era), dan sesudahnya sebagai M (Masehi), AD (Anno Dominii), atau CE (Common Era). Setiap tahun terbagi menjadi duabelas bulan. Masing-masing bulan tersusun antara 28-31 hari.
Pertanyaannya, kenapa harus dimulai dari waktu kelahiran Yesus?
Jika Anda mengikuti riwayat Perang Salib, perebutan Andalusia (1492), hingga kemunculan Rennaisans di Inggris dan Prancis, maka jawabannya adalah: politis dan nostalgia belaka.
Umat Kristen yang pernah ketinggalan zaman dalam segala hal—hampir satu millennium lebih itu, ingin juga membuat tonggak dalam sejarah peradaban agamanya. Tak jauh beda dengan Kalender Hijriyah yang dihitung sejak proses hijrah Rasulullah saw dari Mekkah al Mukarromah menuju Madinah al Munawwaroh.
Hampir seabad sejak Andalusia yang adalah mercusuar peradaban emas Islam, jatuh ke tangan Spanyol-Portugis, tampuk kendali dunia segera berpindah stempel ke Vatikan, Roma. Sosok penting yang kemudian muncul sebagai penentu langkah baru itu bernama Paus Gregory XIII.
Pemilik nama kelahiran Ugo Buoncompagno ini menjabat antara tahun 1572-1585. Ia mulai terkenal lantaran menetapkan sistem Kalender Gregorian dengan terlebih dahulu memperbaiki Kalender Julian pada 1582. Sistem penanggalan Gregorian berdasarkan siklus pergerakan semu Matahari melewati titik vernal equinox dua kali berturut-turut, yang lamanya rata-rata adalah 365, 242199 hari.
Vernal equinox adalah titik semu Musim Semi Matahari pada lintasan ekliptika tempat matahari melewati atau tepat berada pada garis ekuator langit (perpanjangan garis ekuator bumi), yang menandai dimulainya musim semi astronomis. Titik ini tejadi sekira 20 Maret di belahan bumi utara dan 23 September di belahan bumi selatan.
Revolusi bumi mengelilingi matahari sepanjang tahun, mengakibatkan matahari terlihat dari bumi bergerak melintasi bola langit. Padahal, sebenarnya bumi bergerak mengitari matahari. Maka kita melihat matahari diproyeksikan pada medan bintang berbeda-beda. Lintasan matahari semu selama setahun ini kemudian disebut ekliptika.
Mudahnya, bayangkan saja bintang-bintang di langit yang tampak terbit dan tenggelam setiap hari. Hal ini tidak lain diakibatkan oleh rotasi bumi terhadap sumbunya, bukan karena bumi yang diam dan dikelilingi bintang-bintang, seperti yang dikira orang-orang zaman dahulu selama berabad-abad.
Sistem penanggalan dengan acuan matahari seperti ini disebut juga solar calendar atau kalender syamsiah (matahari). Disebabkan penyesuaian dengan pergerakan semu matahari inilah, setahun dalam kalender Gregorian lamanya 365 hari.
Sistem penanggalan Gregorian dengan 365 hari seperti sekarang ini sebetulnya merupakan reformasi dari sistem penanggalan yang digunakan sebelumnya.
Semula, kalender Gregorian digunakan bangsa Romawi kuno dan bukan berdasarkan pada siklus matahari seperti sekarang ini. Kalender aslinya dulu tidak terdiri dari duabelas bulan, tetapi sepuluh bulan saja: Martius, Aprilis, Maius, Junius, Quintilis, Sextilis, September, October, November, December, dengan 304 jumlah hari sepanjang tahun.
Permulaan tahun dalam kalender Romawi kuno dihitung sejak pendirian kota Roma pertama kalinya atau “from the founding of the city (of Rome),” yang diterjemahkan dari bahasa Romawi “ab urbe condita.”
Awal tahun barunya dirayakan tiap tanggal 1 Maret, bukan 1 Januari seperti sekarang. Setali tiga uang dengan paragraf kedua tulisan kami. Kemudian kalender ini dimodifikasi menjadi terdiri dari 12 bulan dengan jumlah hari tiap bulan masih menyesuaikan dengan siklus peredaran bulan mengitari bumi, rata-rata 29,5 hari.
Raja Romawi, Numa Pompilius kemudian memperkenalkan Februari dan Januari di antara bulan Desember dan Maret. Dengan demikian didapat perhitungan tahun yang lamanya 354 hari. Kemudian pada 450 SM, Februari dipindahkan ke posisinya sekarang ini, nyelip di antara Januari dan Maret.
Tetapi, tahun dengan 354 hari tersebut ternyata tak sesuai dengan periode bumi mengelilingi matahari yang telah diketahui waktu itu, yaitu 365,242199 hari. Pada setiap akhir tahun kalender yang dimodifikasi, terjadi ketidaksesuaian sekitar sebelas hari dengan pergantian musim, dan setelah tiga tahun perbedaan dengan musim ini, menjadi sekitar sebulan. Bagaimana mengakalinya?
Kalender segera dikoreksi dengan menambahkan satu bulan setiap dua tahun sekali. Tidak berapa lama, kalender yang dikoreksi menimbulkan kebingungan dalam masyarakat Romawi kuno. Persis sama dengan Anda saat membaca bab astronomi ini. Maafkan…
Pada 46 SM, Julius Caesar merombak kalender kebingungan itu dengan kesimpulan bahwa panjang satu tahun haruslah 365 hari dan terdiri dari 12 bulan, berdasarkan pertimbangan seorang ahli astronomi dari Alexandria, Sosigenes.
Kebijakan ini mengakibatkan sejumlah hari harus ditambahkan pada beberapa bulan agar panjang tahun yang semula 354 hari dapat menjadi 365 hari. Ia juga menetapkan bahwa bulan-bulan yang berada pada urutan ganjil berjumlah 31 hari, dan bulan yang berada pada urutan genap sebanyak 30 hari, dengan Februari yang berjumlah 29 hari.
Selain itu, pada 44 SM, bulan Quintilis diubah namanya menjadi Juli untuk menghormati Julius Caesar—kaisar misoginis yang tak ingin permaisurinya melahirkan secara normal, dan kemudian memaksa dokter kekaisaran untuk melakukan pembedahan di bagian perut.
Kita sudahi rumpian itu.
Setelah kehadiran Quintilis, jumlah hari dalam beberapa bulan tidak lagi bersesuaian dengan siklus bulan mengelilingi bumi yang lamanya rata-rata 29,5 hari. Kalender Julian pun tidak lagi bersifat lunar calendar (kalender Qamariyah) karena ketidakakurannya dengan siklus bulan.
Masalah tidak serta merta selesai. Rupanya masih ada perbedaan sekitar seperempat hari antara kalender Julian dengan panjang tahun sebenarnya (pergerakan semu matahari sepanjang tahun). Jika dibiarkan terus, dalam kurun waktu empat tahun, kalender ini akan mengalami akumulasi perbedaan sebesar satu hari. Dalam waktu beberapa puluh tahun, jumlahnya akan mengalami akumulasi perbedaan dengan musim lebih besar lagi. Dengan demikian, Kalender Julian tidak lagi sesuai dengan pergantian musim, padahal tujuan utamanya penyesuaian dengan musim. Kalender ini pun harus mengalami degradasi.
Tak habis cara. Mengakali perbedaan musim tersebut, berdasar pertimbangan lain lagi dari Sosigenes, setiap empat tahun sekali harus ditambahkan satu hari pada Februari. Tahun seperti inilah yang kemudian kita kenal sebagai kabisat. Maka, pada tahun tersebut Februari akan terdiri dari 30 hari, sehingga jumlah hari satu tahunnya berjumlah 366. Dengan begitu, panjang rata-rata tiap tahun adalah 365,25 hari dan menjadi cukup dekat dengan tahun sebenarnya yang panjang rata-ratanya 365,242199 hari.
Setelah diperoleh durasi tahun rata-rata yang cukup dekat dengan panjang tahun sebenarnya dengan solusi tahun kabisat, rupanya panjang tahun ini belum cukup akurat, sehingga dalam kurun waktu yang cukup lama tetap mengakibatkan ketidaksesuaian dengan musim. Hanya karena “kesalahan” yang besarnya 0,007801 hari setiap tahun, dalam kurun waktu 128 tahun akan terdapat ketidaksesuaian dengan musim (panjang tahun sebenarnya) sekitar satu hari. Pada 1582, Kalender Julian sudah tidak sesuai dengan musim sejauh sepuluh hari.
Demi mengatasi hal tersebut, Paus Gregorius XIII mengambil dua langkah. Pertama, ia memutuskan bahwa 4 Oktober 1582 akan langsung diikuti dengan tanggal 15, bukan tanggal 5. Kedua, untuk mencegah ketidaksesuaian dengan musim ini kembali terjadi, ia juga menetapkan bahwa tiga dari empat tahun abad (tahun yang berakhiran 00, misalnya tahun 1600, 1700, dst) bukanlah tahun kabisat.
Berdasar peraturan tahun Kabisat yang dulu, tiap empat tahun sekali, tahun yang habis dibagi empat akan menjadi tahun kabisat. Tetapi, dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Paus Gregorius ini maka tahun abad yang tidak habis dibagi 400 tidak akan menjadi tahun kabisat. Dengan demikian, tahun 1700, 1800, 1900 bukan tahun kabisat, sedangkan tahun 2000, yang habis dibagi 400, merupakan tahun kabisat.
Peraturan dari Paus Gregorius ini tidak langsung diterapkan. Meskipun negara-negara dengan mayoritas umat Katholik dengan segera mengubah penanggalannya ke sistem penanggalan yang telah diperbarui Paus Gregorius, tetapi tidak demikian pada negara-negara dengan mayoritas umat Kriten Protestan dan lainnya. Pada banyak negara, Kalender Julian masih digunakan, bahkan sampai 1918 masih digunakan di Rusia. Sehingga dalam kurun waktu 1582-1918 tersebut, harus jelas penanggalan mana yang digunakan.
Kita tinggalkan silang sengkarut dua kalender di atas. Sekarang tibalah saatnya mengulas 12 nama bulan yang ada di dalamnya. Semua berkaitan dengan khazanah kebudayaan Romawi kuno.
Januari diambil dari nama Janus. Dewa permulaan dan akhir bangsa Romawi. Februari adalah Februus. Dewa kematian dan pemurnian. Setiap tanggal 15 pada bulan ini menjadi perayaan ritual pemurnian. Maret milik dewa perang, Mars. April bersumber dari aperire yang artinya membuka. Bulan ini merupakan penghormatan untuk Dewi Venus, pemilik cinta dan keindahan–yang dalam bahasa Yunani disebut Aphrodite (Aphros).
Mei diambil dari nama Maia Maiestas. Dewi penjaga kelahiran dan perkembangbiakan keturunan. Juni bermula dari Juno. Istri Jupiter, penguasa bulan. Juli jelas milik Julius Caesar. Augustus dicuplik dari nama kaisar Romawi pertama.
September dari kata septa atau tujuh dalam bahasa Latin. Oktober berarti delapan (okto). November berakar kata novem, untuk sembilan. Desember sama dengan sepuluh (decem). Dalam almanak Julian, empat bulan ini memang bukan berada pada urutan sembilan sampai duabelas sebagaimana kita kenal sekarang.
Sekadar pembanding. Dewa-dewi yang namanya dipakai sebagai bulan kalender itu, tidak sama dengan paganisme. Tak ubah halnya dengan cara kita mengenal Dewi Sri, Kandita, Kamaratih, atau Ibu Pertiwi. Semoga dalam tulisan lain, kami bisa mengupasnya dengan lebih menjeluk.
Muasal Perayaan Tahun Baru
Dalam sidang Konsili Clermont pada 25 November 1095 M, Paus Urbanus II memfatwakan konsep baru Kristen, Sacrum Bellum (Perang Suci) saat dirinya menawarkan pengampunan sempurna atas dosa masa lalu bagi setiap penganut Kristen yang sedia bergabung dengan legiun Perang Salib I.
Paus Urbanus II juga secara resmi mengecap seluruh Muslim sebagai ras “terkutuk,” yang sangat terasingkan dari tuhan, sebuah generasi yang tak diragukan lagi, tidak mengarahkan jiwa dan memasrahkan hatinya kepada Tuhan.
Ia mendesak calon tentara Salib-nya agar memusnahkan ras hina ini dari muka bumi. Lantas menutup pidatonya yang berapi amarah itu dengan kalimat yang sarat misteri, “Deus Volt: Tuhan bersama Kita.”
Perang Salib Pertama itu pun meletus di Yerusalem pada 12 Desember 1098 M. Berikut ini kami anggit komentar salah seorang tentara Salib yang bernama Raymond of Aguiles:
“Pemandangan indah yang harus disaksikan. Beberapa laki-laki di antara kami yang (tergolong lebih berbelas hati) memenggal kepala-kepala musuhnya; yang lain memanahnya, sehingga mereka jatuh dari menara-menara; yang lain lagi menyiksa mereka dengan melemparkannya ke dalam api. Gundukan tangan, kaki, dan kepala, berserakan di jalanan Yerusalem. Perlu berhati-hati mencari jalan di antara tubuh-tubuh manusia dan kuda. Namun ini semua cuma masalah kecil dibanding apa yang terjadi di Kuil Solomon (Sulaiman as)–sebuah tempat lazimnya doa dilantunkan dan dipanjatkan… di berandanya, manusia bergerak pelahan dalam genangan darah yang mencapai lutut mereka dan tali kekang kuda.”
Sampai 15 Desember 1098, pasukan Salib terus membantai kaum lelaki, perempuan, dan anak-anak. Ribuan orang dipancung. Kekejian itu masih belum berhenti. Dua catatan saksi mata (Radulph of Caen dan Albert of Aix) dari pasukan Salib sendiri yang tergolong independen, menulis:
“Di Ma’arra, pasukan-pasukan kami merebus orang-orang penyembah berhala (Muslim) dewasa dalam panci-panci masak; menusuk anak-anaknya dengan tusukan daging dan melahap mereka setelah dipanggang.”
Usai meringkus Yerusalem dengan kebengisan yang belum pernah terjadi sebelumnya, pasukan Salib Paus Urbanus II pun kembali ke kampung mereka yang kumuh di Eropa. Saat itulah semua warga Eropa bersorak-sorai riang gembira setelah dendam kesumat mereka pada Muhammad al-Fatih yang menduduki Konstantinopel (kota suci mereka) dengan damai pada 1453 M, tumpas sudah.
Seluruh Eropa mengharu biru. Mereka berpesta-pora dalam genangan anggur dan selangkangan perempuan penghibur. Ratusan kembang api dilontarkan ke angkasa. Pesta hedon itu baru berakhir pada waktu Subuh 31 Desember 1098 M.
Kini, sejarah mengulang kelakuan tak terpuji itu dengan ucapan Happy New Year. Catatan itu kami nukil dari The Abrahamic Faiths: Judaism, Christianity, and Islam. Similarities and Contrasts karangan Dr. Jerald F. Dirks, M.Div., Psy.D, terbitan Amana Publications, 2004.
Kearifan Pranatamangsa
Selain kalender yang didasarkan pada pengamatan astronomi, masyarakat di Nusantara juga memanfaatkan pengetahuan lain dalam penyusunan kalendernya. Lazim dikenal sebagai sistem Pranotomongso, atau Pranatamangsa (Penanda Musim).
Satuan waktu terkecilnya adalah hari: matahari terbit-terbenam. Bulan/Mangsa-nya bervariasi antara 23 ñ 43 hari, dikarenakan posisi Jawa yang sekitar tujuh derajat Lintang Selatan. Siklus tahun terbagi menjadi empat Mangsa Utama (Ketiga, Labuh, Rendheng, & Marëng) yang panjangnya berbeda-beda, dengan pola enam bulan, serta enam bulan berpola kebalikannya.
Sistem kalender Pranatamangsa dalam prakteknya cukuplah rumit, karena tidak hanya menggunakan panduan benda langit, tetapi juga fenomena alam yang menyertai, meteorologi, ekologi, berikut ungkapan sastra untuk memperkaya penamaan.
Tak hanya berpatok pada benda langit, namun juga fenomena yang terjadi di alam: musim tanaman, perilaku binatang, arah angin, kelembaban, curah hujan. Kalender ini juga dijadikan sebagai pedoman bertani, berdagang, merantau, berperang, & pemerintahan. Baru pada Abad ke-19, kalender ini dibakukan sebagai sistem kalender oleh Sri Susuhunan Pakubuwono ke-VII.
Sistem kalender Pratamangsa tidak hanya sebagai penjaga waktu, namun juga mencerminkan kearifan lokal leluhur kita pada masa lampau. Sebagaimana digambarkan pada Mangsa 1: Sesotya murcâ ing embanan (Permata berguguran), yaitu ketika bulir air jatuh dari kapuk randu. Kondisi lingkungan menyebabkan embun tidak lagi mudah terbentuk, atau pohon kapuk sudah sulit ditemukan.
Sampai di sini, kami cukupkan dulu kajian seputar segala jenis kalender buatan manusia. Soal kita yang utama tertuju pada waktu belaka. Terkait awal mula kehadiran, dan bagaimana kelak kita kan pergi selamanya. Di antara interval itu, ada deretan pertemuan & perpisahan. Misteri teragung penciptaan yang diperam dalam rahim waktu.
Keajaibannya tak tertembus akal yang paling tajam sekali pun. Kegagalan sebagian besar manusia, ditandai dari ketakutan mereka menghadapi sayatan waktu itu, yang meninggalkan luka. Menyembuhkan duka. Mengajari kita mengulum masa depan–yang diramu oleh angan, impian, dan harapan semu berkepanjangan.
Padahal sebagaimana telah dimaklumatian Gusti Allah dalam Alquran. Dia bersumpah atas nama Waktu, dan sesungguhnya manusia senantiasa mengalami kerugian. Kecuali mereka yang mau sepenuh penuh percaya pada-Nya, terus berbuat baik, saling mengingatkan dalam kebenaran, dan tetap berada di jalur kesabaran yang indah. Panjenengan semua sangat mendamba keselamatan hidup kan? Au revoir… []
Pondok Petir, 1 Januari 1927 Saka
Kenapa pesta di Eropa tersebut disangkutpautkan dengan al-Fatih? Bukankah perang salib di Yerusalem selesai tahun 1272 sedang konstantinopel sendiri takluk pada 1453? Sekian.
Mantul…