KIAI Muchtar Mu’thi, pengasuh Pesantren Siddiqiyah dan Mursyid Thariqat Shiddiqiyah, Ploso, Jombang, di Jawa Timur, pernah bercerita pada kami pada 2015 silam–terkait Sumpah Pemuda. Menurut Beliau, sejarah besar manusia mencatat bahwa pemuda pertama yang berani mengangkat sumpah melawan keangkaraan adalah Nabi Ibrahim as.
Kemudian disusul oleh Nabi Musa as, Nabi Isa Ruhullah as, Nabi Muhammad Saw, Sultan Muhammad al Fatih, Mahapatih Gajah Mada, Sultan Agung Hanyokrokusumo, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dhien, Umar Said Cokroaminoto, dan Sukarno.
Sezaman dengan Bung Karno muda, sembilan puluh tahun silam, sekelompok pemuda Nusantara berkumpul dalam sebuah kongres yang mewakil organisasi kepemudaan seperti Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dan lain², serta pengamat dari pemuda Tionghoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Coan Hok, Oey Kay Siang, dan Coi Jien Kwie.
Keputusan yang mereka hasilkan setelah berembuk selama dua hari (27-28 Oktober 1928) di Batavia, menegaskan cita-cita akan adanya tanah air, bangsa, dan bahasa yang diikat oleh satu nama: Indonesia. Sebuah mimpi besar yang dulu mungkin nyaris sulit diwujudkan, dan kini malah telah kita buktikan kenyataan dan kekuatannya.
Beberapa nama penting yang termaktub dalam sejarah emas negara kita, terkait pembacaan hasil kongres yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda adalah;
Prof. Mr. Sunario Sastrowardoyo, Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H, Johannes Leimena, Sugondo Joyopuspito, Joko Marsaid, Amir Syarifuddin Harahap, Wage Rudolf Supratman, Sarmidi Mangunsarkoro, Kasman Singodimejo, Mohammad Rum, Adnan Kapau Gani, Sie Kong Liong (pemilik rumah tempat deklarasi Sumpah Pemuda), dan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo.
Pemilik nama terakhir itu–secara tak terduga pada kemudian hari, malah menyempal & melabrak sendiri sumpah yang telah ia ikrarkan–dengan mendirikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Kartosuwiryo memilih jadi pemberontak negara berdaulat yang dipimpin oleh Sukarno. Saat Kartosuwiryo berada di Jalan Keramat 106 bersama puluhan pemuda itu, Bung Karno sedang menenun nasib di Bandung dan kelak menggegerkan dunia dengan pleidoinya: Indonesia Menggugat (Indonesia Klaagt Aan).
Dua orang besar itu sejatinya bersahabat sedari masih jadi anak kosan di rumah Cokroaminoto–yang mukim di Surabaya. Namun takdir berkata lain untuk mereka. Kartosuwiryo membuktikan sendiri kekeramatan sumpahnya dan mati diterjang timah panas para regu tembak Republik Indonesia. Sukarno pun demikian. Ia yang malah tak hadir dalam pembacaan sumpah keramat itu, terkeramatkan sejarah hidupnya lantaran meyakini benar tiga ikrar sumpah tersebut sepanjang masa jabatannya sebagai presiden pertama negara ini.
Mohammad Yamin yang penyair dan kemudian menyusun teks Sumpah Pemuda, mengatakan bahwa, landasan dasar kongres itu adalah kesamaan “sejarah, bahasa, adat istiadat, pendidikan, dan kemauan” kita sebagai sebuah bangsa. Ditilik lebih menjeluk, sesungguhnya pada lima hal inilah kita saling bertautan. Maka kita bisa bertanya pada siapa pun mereka yang masih meragukan keabsahan bangsa & negara ini sejak didirikan; tentang apakah leluhurnya ikut terlibat memperjuangkan kemerdekaan atau tidak?
Apabila lima acuan yang diajukan Yamin itu tak terpenuhi, maka pantaslah jika kita menyebut mereka sebagai manusia setengah Indonesia. Namun bila syarat-ketentuan itu tercukupi, tak salah jika tiga butir sumpah tersebut perlu ditelaah ulang. Darah yang kita warisi dari para leluhur, merekam dengan baik bagaimana mereka menggadaikan hidupnya demi bait-bait sumpah yang berbunyi:
Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah yang Satu, Tanah Indonesia.
Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa yang Satu, Bangsa Indonesia.
Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.
Kekeramatan sumpah ini kemudian bertuah. Para pemuda Bangsawan Pikiran sebagaimana dicanangkan Tirto Adhi Suryo, mulai menerapkannya dalam medan perjuangan mereka masing-masing. Meski dalam sembilan dekade perjalanan waktu, kesatuan tanah air, kebangsaan, dan bahasa Indonesia, terus menerus diuji ketangguhannya menghadapi zaman. Terutama bahasa Indonesia, yang dengan sangat terpaksa menggerus 721 bahasa daerah sebagai induk semang–yang pelahan mulai dinafikan penuturnya. Namun untuk memecahkan soal tersebut, diperlukan kajian lebih serius dan tepat guna.
Dibanding Negara Kesatuan Republik Indonesia, kehadiran Sumpah Pemuda bahkan jauh lebih dulu ada, dan monumental. Sumpah ini muncul ke permukaan dengan mengatasi pusparagam perbedaan. Berbanding terbalik dengan yang kita alami pada permulaan abad-21 ini. Indonesia bolak-balik dihadapkan pada isu, konflik, dan perbalahan antar suku, agama, dan keyakinan politik yang terbelah.
Maka demi menyikapi ketegangan yang terjadi hari-hari belakangan, terkait pembakaran bendera hitam HTI yang menyusup dalam perayaan Hari Santri Nasional, tampaknya perlu juga kita angkat Sumpah lagi yang isinya adalah:
Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku, beragama yang satu, agama cinta dan kasih sayang.
Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung tinggi aksara persatuan, Aksara Pegon.
Jika masih berwujud manusia, mestinya mudah bagi kita untuk saling mencintai apa dan siapa saja. Termasuk, mencintai para leluhur, yang juga mencintai para pelanjutnya dengan melakukan perjuangan mengusir penjajah. Padahal mereka tak punya pengetahuan akan kelahiran kita kelak. Rumus berpikir ini bisa kita temukan jejaknya pada hadis Nabi Muhammad saw yang dirawikan oleh Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahuanhu, ia berkata bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah tentang hari kiamat. “Kapankah hari kiamat itu tiba?”
Rasulullah balik bertanya, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapi hari itu?”
“Tidak ada, wahai Rasulullah, hanya saja sesungguhnya saya mencintai Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Rasulullah saw bersabda, “Engkau akan bersama dengan orang tercintamu.”
Maka pesan kami pada sesama pejalan cinta; jangan pernah ubah cintamu jadi benci. Jangan! Cintai apa yang dicintai kekasihmu. Ia pun akan mencintaimu dengan cara yang kurang lebih sama. Pecinta akan memafhumi apa-apa yang tak disukai dan disukai kecintaannya. Lalu petiklah buah termanis dari cinta, yang bernama rindu. Berdasar inilah kita perlu meneladani segala kebaikan yang bersumber dari cinta (sejati). Di titik pusaran inilah Nabi Muhammad Saw menduduki maqam sebagai kecintaan Allah Sang Maha Cinta.
Terkait Aksara Pegon, perlu kita ingat bahwa bangsa yang agung bisa dilihat dari kearifan mereka merawat sejarah, bahasa, dan terutama aksara. Bangsa kita jelas memenuhi syarat itu. Aksara Batak, Kerinci, Rejang, Sunda, Jawa, Lampung, Bali, Lontara, dan Bugis, telah sejak lama dipakai sebagai penata masyarakat Nusantara. Namun baru pada era jelang kemerdekaanlah, terbit aksara baru yang mampu menyatukan kekayaan khazanah itu sebagai media perjuangan dan pendidik anak bangsa.
Tiga manusia adiluhung bernama Syekh Nawawi al Bantani, Syekhona Kholil Bangkalan, dan Kiai Soleh Darat, adalah sosok penting yang menemukan Aksara Pegon saat mereka masih menjabat Guru Besar di Masjidil Haram. Merekalah jua yang memudahkan kerja generasi pelanjutnya dari kalangan pesantren, untuk saling bertukar pesan & informasi, dalam merebut kemerdekaan.
Pegon, sama dengan sandi yang di dalamnya terkandung rahasia pengetahuan, cita rasa agama, serta kebijaksanaan hidup Manusia Indonesia.