Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Tafsir Munir menulis, “Amar makruf nahi munkar termasuk fardlu kifayah. Tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang yang tahu betul keadaan dan siasat bermasyarakat, agar ia tidak tambah menjerumuskan orang yang diperintah, atau orang yang dilarang dalam perbuatan dosa yang lebih parah. Karena sesungguhnya orang yang bodoh terkadang malah mengajak pada perkara yang bathil. Memerintahkan perkara yang munkar, melarang perkara yang ma’ruf. Kadangkala bersikap keras di tempat yang seharusnya halus, dan bersikap halus di dalam tempat yang seharusnya keras.” (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005, cetakan ketiga, jilid II, halaman 59).
Menurut kamus al-Munawir Arab-Indonesia, arti amar adalah memerintahkan. Ma’ruf berarti kebajikan. Nahi artinya melarang atau mencegah. Sedangkan munkar bisa diartikan perbuatan keji. Sekarang mari kita bedah bagaimana konsep luhur ini bisa diterapkan dalam laku lampah keseharian. Karena terlampau sering kita mendengar dan mendapati, betapa teramat banyak salah kaprah yang terjadi, lantaran kekacauan memahami konsep tersebut. Kami akan memulainya dengan sebuah kisah sederhana.
Kiyai Hasan Genggong, salah seorang pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, merupakan sosok panutan pada zamannya. Kealiman dan kewalian Beliau tak diragukan lagi. Budi pekerti Kiyai Hasan Sepuh, sapaan akrabnya, pantas diteladani. Pun dengan rasa welas asihnya pada seluruh makhluk Allah. Di areal pesantren, terdapat sebuah pohon belimbing yang dibiarkan terus berbuah. Seluruh santri dan keluarga Beliau, tidak ada yang berani memetik buahnya. Hal itu disebabkan Kiyai Hasan telah memberi maklumat bahwa pohon beserta seluruh buahnya, adalah sedekah Beliau untuk burungburung.
Ada kisah lain yang terjadi pada suatu hari. Kala itu Kiyai Hasan sedang bepergian. Di tengah perjalanan, Beliau mendapati seekor semut rangrang menempel di bajunya. Kiyai Hasan Sepuh pun meminta kusir menghentikan delman. Lantas ia berpikir sekian jenak, di mana kira-kira semut itu bisa menempel di bajunya. Alhasil, Kiyai Hasan meminta kusir mengembalikan semut itu ke tempat semula, yakni di mana mereka berhenti sebelumnya. Ternyata jarak tempat itu dari posisi mereka, sekitar tiga kilometer. Kenapa Kiyai Hasan berbuat demikian? Alasannya sederhana, supaya si semut dan sanak keluarganya tidak dilanda kebingungan.
Anekdot di atas bisa kita jadikan iktibar, bagaimana Kiyai Hasan memerintahkan diri sendiri untuk melakukan kebajikan, dan mengajak dirinya untuk tidak melakukan perbuatan keji. Sebab ia berpikir dengan cara yang teramat sangat sederhana. Jika ia yang mengalami nasib serupa dengan semut itu, niscaya ia juga akan mengalami kebingungan terpisah dengan sanak saudara dan keluarga. Cara seperti inilah yang semestinya lebih dulu dilakukan oleh umat Muslim, sebelum sibuk mengurusi tingkah polah orang lain.
Penelaahan kita berikutnya, berasal dari kisah Nabi Isa ruhulLah yang mendustakan pandangan matanya. Disarikan dari kitab Shahih al-Qashash al-Nabawi karya Umar Sulaiman al-Asyqar (Oman: Darun Nafais, 1997, Cetakan Pertama, hal. 175).
Diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dalam Shahîh masingmasing dari Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bercerita:
“Pada suatu ketika, Nabi Isa melihat seorang lelaki yang mencuri. Lantas oleh Nabi Isa, si pencuri ditanya, ‘Apakah engkau mencuri?’ Pencuri itu menjawab, ‘Demi Allah, Dzat yang tidak ada Tuhan selain Dia, tidak!’ Nabi Isa berkata, ‘Aku beriman kepada Allah dan mendustakan kedua mataku.’”
Hikayat ini menjadi unik lantaran menegaskan betapa para nabi dan rasul tidak mengetahui perkara ghaib dan tersembunyi—kecuali apa yang diberitahukan Allah melalui Wahyu-Nya. Mereka bukan manusia yang mampu membedakan siapa orang jujur dan pendusta. Dalam hati mereka tersimpan rasa haibah dan pengagungan terhadap Asma’ Allah, kendati diucapkan oleh orang yang berbohong. Pencuri itu terbebas dari tuduhan Nabi Isa as berkat sumpahnya atas nama Allah.
Para nabi dan rasul juga tidak diutus untuk mengawasi para hamba-Nya. Hanya Allah-lah yang Mahamengurus, Mengawasi, dan Menghitung amal perbuatan makhluk-Nya. Allah tidak menuntut para rasul untuk menjadi penguasa, hakim, penghitung, dan pembalas amal perbuatan manusia. Kisah inilah yang menjadi salah pijakan para alim ulama dalam menetapkan kaidah fiqih:
السَّرَائِرَ يَتَوَلَّى وَاللَّهُ بِالظَّوَاهِرِ فِيهَا يُعْمَلُ الْأَحْكَامَ أَنَّ
“Hukum itu dijalankan terhadap perkara dzhahir semata, sedangkan Allah yang mengetahui hakikatnya yang tersembunyi.”
Di mana penetapan hukum didasarkan pada bukti-bukti fisik, bukan yang tersembunyi dan tak kasat mata—kendati yang benar adalah perkara tak kasat mata itu. Apa yang dilakukan Nabi Isa as tersebut sejatinya juga merupakan teladan tentang amar ma’ruf nahi munkar. Beliau mengajak dirinya untuk tetap menjadi manusia bijaksana, dengan menghindarkan diri dari penilaian-penghakiman sepihak. Karena itulah, Beliau terhindar dari perbuatan keji pada makhluk Allah yang lain.
Melalui tulisan ini, kami hanya ingin mengajak sesama saudara Muslim untuk menerapkan prinsip mendengar, melihat, mengucap, memikirkan, merasakan, melakukan, dan menjalankan prilaku yang baik. Karena dalam banyak ayat Alquran, Allah menyematkan Diri-Nya sebagai Hyang Mahamendengar dan Mahamelihat. Jadi perlu bagi kita untuk melatih diri dulu sebagai pendengar, sebelum melihat keadaan. Jika kita mau mendengar terlebih dahulu apa yang sejatinya menjadi alasan sebuah perbuatan munkar, niscaya kita takkan gegabah mengambil penilaian.
Persoalan utama yang kita hadapi saat ini, terlalu banyak orang yang gemar menghakimi tanpa memeriksa diri sendiri. Ikhwal ketelitian mengamati diri sendiri itulah yang membuat Rasulullah bisa berperangai lemah lembut kepada para sahabat dan umatnya, hingga sampai saat ini. Maka menjadi absah bila Rasulullah Saw menjadikan dasar hukum anjuran ini yang ditemukan dalam beberapa ayat Alquran, dengan satu di antaranya yang berbunyi:
“(yaitu) para pengikut Rasul, Nabi yang ummi, yang (namanya) mereka dapati tertulis dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka segala beban dan belenggu yang ada pada mereka. Maka orangorang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (Alquran), mereka itulah orangorang yang beruntung.” (QS. Persada Tertinggi [7]: 157).
Berdasar itu pula Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْإِيْمَانِ أَضْعَفُ وَذَلِكَ فَبِقَلْبِهِ يَسْتَطِعْ لَمْ وَمَنْ فَبِلِسَانِهِ يَسْتَطِعْ لَمْ فَإِنْ بِيَدِّهِ فَلْيُغَيِّرْهُ مُنْكَرًا مِنْكُمْ رَأَى مَنْ
“Sesiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia menghilangkan dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Orang yang tidak mampu dengan lisannya, maka dengan hatinya, dan dengan hati ini adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).
Maksud Hadits ini adalah, seseorang yang melihat kemungkaran dan ia mampu menghilangkan dengan tangan, maka ia tidak boleh berhenti dengan lisan. Jika kemungkaran tidak berhenti dengan lisan, dan orang yang mampu dengan lisan, maka ia tidak boleh berhenti hanya dengan hati. Segigih dan sekeras apa pun kita mengajak orang lain berbuat bajik, jikalau kita tak pernah melakukannya secara istikomah, itu sama belaka dengan jauh panggang dari api. Pun bila dalil yang disampaikan mendakik-dakik dan kita sendiri gagal menahan diri berbuat mungkar, niscaya takkan ada satu pun orang yang mau menggugu dan percaya. Tong kosong nyaring bunyinya. Wallahua’lam… []