Malam nan syahdu pada 27 Rajab 620 M itu, Sang Sayyidul Mursalin baru saja menuntaskan sembahyang malamnya di sisi Ka’bah. Sementara Abu Bakar as-Shiddiq ra, sahabat tercintanya, tampak sedang merebahkan diri—tak jauh darinya. Di antara mereka, telah hadir penghulu para malaikat, Jibril as. Bersebelahan dengannya, Buraq yang diciptakan Allah dari kilatan Cahaya, bersiap menanti ditunggangi Rasulullah Saw. Ke mana pun matanya menatap, di situlah kakinya berpijak pada saat bersamaan. Nabi agung yang sedang berkabung pada Tahun Kesedihan (‘Aam al-Huzn) itu, masih mengenang Sayyidah Khadijah dan Abu Thalib, yang wafat pada tahun kesepuluh kenabiannya.
Saat hendak menaiki Buraq, kaki Nabi Saw menyenggol sebuah mangkuk. Air di dalamnya pun tumpah, dan ia telah melesat jauh ke Palestina hanya dalam sekejap mata. Itulah malam yang dihadiahkan Allah untuk menghibur hati Nabi Saw yang sedemikian rupa sedihnya. Perjalanan lintas dimensi itu kelak dicatat sejarah sebagai pengalaman manusia paling fenomenal di Bumi. Muslim sedunia menyebutnya dengan Isra’ Mi’raj. Perjalanan malam menembus langit spiritual.
Isra’ Mi’raj, salah satu mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW, mengandung dimensi spiritual yang melampaui sekadar narasi historis. Dalam peristiwa ini, Nabi diperjalankan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa (Isra), lalu naik ke langit ketujuh hingga mencapai Sidratul Muntaha (Mi’raj). Kisah ini diabadikan dalam Surah Al-Isra dan Surah An-Najm.
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىِ بِعْبْدِهِ لَيْلًا مِنِ الْمَسْجِدِ الِحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ الِسَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Isra’ [17]: 1)
Menurut Syeikh l-Akbar ibn ‘Arabi, Isra’ bukan melulu perjalanan fisik Nabi Muhammad dari Makkah ke Yerusalem, tetapi simbol perjalanan ruhani manusia dari keterbatasan duniawinya menuju kesadaran bersama. Masjidil Haram menggambarkan hati manusia yang suci namun masih dikelilingi hawa nafsu, sedangkan Masjidil Aqsa melambangkan pencerahan dan kedekatan dengan Allah.
Dalam pandangan Perennial, perjalanan ini dapat dipahami sebagai kesatuan agama-agama Samawi. Yerusalem adalah pusat spiritual bagi tiga agama besar (Yahudi, Kristen, dan Islam) yang mencerminkan sifat universal wahyu Ilahi. Perspektif Vedanta juga mengajarkan bahwa realisasi spiritual melibatkan perjalanan dari ego (Ahankara) menuju kesadaran bersama (Brahman).
Ada pun buraq dalam dimensi esoteriknya, dianggap sebagai simbol kemampuan jiwa yang melampaui ruang-waktu. Ia melambangkan energi ruhani yang diperoleh melalui ibadah, zikir, dan penyucian hati. Kemampuan Buraq untuk melaju secepat cahaya, mencerminkan percepatan ruhani ketika seseorang tenggelam dalam cinta Ilahi. Dalam literatur Isra’ Mi’raj yang jarang sekali beredar di Dunia Muslim popular, rafraf juga disebut sebagai kendaraan misterius yang dinaiki Sang Ahmad dari Sidratul Muntaha memasuki Kini Abadi Allah SWT. Redaksi rafraf itu (bantal-bantal hijau) juga terdapat dalam Surah ar-Rahman [55]: 76.
Ibn ‘Arabi sering menggunakan warna hijau sebagai simbol kehidupan, kesegaran, dan hubungan dengan al-Hayy (Hyang Maha Hidup). Hijau di sini melambangkan keadaan kesadaran spiritual yang disarati dengan rahmat dan kehidupan Ilahi. Para arif bersandar pada “bantal hijau” ini, yaitu realitas kehadiran Allah yang hidup di dalam hati mereka.
وَلَقَدْ رَآهُ نَزًلَةً أُخْرَى عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى إِذْ يَغْشَى السِدْرَةَ مَا يَغْشَى مَا زَالَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى لَقَدْ رَآى مِنْ آيَاتِ رَبِهِ الْكُبْرَى
“Dan sesungguhnya dia (Muhammad) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, yaitu di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar.” (Surah an-Najm [53]: 13–18)
Bagi Ibn ‘Arabi, Mi’raj adalah perjalanan vertikal yang melambangkan pendakian ruhani menuju kesatuan dengan Allah. Sidratul Muntaha, titik akhir perjalanan, adalah simbol dari batas pengetahuan makhluk. Nabi Muhammad SAW mencapai puncak makrifat, tetapi tetap dalam kehambaan total. Inilah ajaran inti Islam dalam sisi batinnya.
Dalam sudut pandang Ibn ‘Arabi, Jibril juga bukan hanya malaikat, tetapi melambangkan “akal kosmis” atau “ruh universal.” Perantara antara yang Ilahi (sakral) dan yang fana (profan). Kehadiran Jibril saat Mi’raj menggambarkan peran akal dan intuisi tertinggi dalam mendekatkan manusia kepada realitas transendental. Namun, di Sidratul Muntaha, Jibril berhenti karena simbol akal ini tidak dapat melampaui batas pengetahuan makhluk. Hal ini menegaskan bahwa pencapaian tertinggi tidak dapat diraih melalui akal semata, melainkan melalui penyaksian langsung (kasyf) dan cinta Ilahi (mahabbah).
Sedangkan Sidratul Muntaha, menurut Ibn ‘Arabi, merupakan representasi batas pemahaman eksistensial makhluk. Itulah tempat di mana makhluk mencapai puncak eksistensi tetapi tidak dapat menembus Dzat Allah yang mutlak. Dalam tradisi Vedanta, hal ini dapat dianalogikan dengan konsep “maya” (tirai ilusi) yang memisahkan Atman (diri sejati) dari Brahman (Yang Tak Terbatas). Nabi Muhammad memang melampaui batas ini, menyaksikan “Ayat-ayat Tuhan yang Agung,” tetapi tetap berada dalam kehambaan total, menolak klaim penyatuan esensial (ittihad) dengan Tuhan.
Ayat “ma zagh al-bashar wa ma tagha” (penglihatan tidak menyimpang dan tidak melampaui) menggambarkan keharmonisan total antara batin Nabi Saw dan realitas Ilahi. Dalam sufisme, ini melambangkan maqam (stasiun ruhani) tertinggi di mana seorang Manusia Sempurna (Insan Kamil) menjadi cermin bagi realitas Ilahi tanpa penyimpangan. Pandangan ini sejalan dengan prinsip Vedanta, bahwa individu yang tercerahkan (jivanmukta) mencerminkan Brahman tanpa ego atau keterpisahan.
“Di dekat Sidratul Muntaha, yang di dekatnya ada surga tempat tinggal, ketika Sidrah itu diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.”
Dalam pandangan sufistik Ibn ‘Arabi, ayat ini tidak hanya menggambarkan peristiwa lahiriah, tetapi juga menyiratkan kedalaman makna spiritual yang melampaui kata-kata. Sidratul Muntaha, bagi Ibn ‘Arabi, adalah simbol batas terakhir yang dapat dicapai oleh makhluk dalam perjalanan ruhani. Ini bukan sekadar lokasi fisik, tetapi tingkatan kesadaran tertinggi, di mana seorang hamba dapat menyaksikan rahasia Ilahi. Namun, pada tingkat ini, sifat kemakhlukan tetap menjadi batas yang memisahkan dari hakikat Tuhan yang mutlak.
Sidratul Muntaha adalah tempat pertemuan antara yang terbatas dan Hyang Tak Terbatas. Di sini, Nabi Muhammad SAW menyaksikan manifestasi Tuhan dalam bentuk yang dapat dipahami oleh makhluk. Manifestasi ini begitu mendalam dan personal, sehingga tak dapat dijelaskan dengan bahasa manusia. Pada saat yang sama, di dekat Sidratul Muntaha terdapat surga tempat tinggal, yang oleh Ibn ‘Arabi dimaknai sebagai maqam kedekatan, sebuah keadaan kebahagiaan abadi di mana jiwa manusia bersatu dengan kehendak Tuhan.
Frasa “diliputi oleh sesuatu yang meliputinya” menggambarkan pengalaman tajalli Ilahi—sebuah manifestasi Tuhan yang menyelimuti segala sesuatu dengan kehadiran-Nya. Bagi Ibn ‘Arabi, ini menunjukkan bahwa Tuhan senantiasa melampaui segala penggambaran manusia. Manifestasi tersebut, meskipun dapat dirasakan oleh hati yang bersih, tetap merupakan misteri yang tak terungkapkan.
Sidratul Muntaha juga dipandang sebagai batas dimensi waktu dan ruang. Dalam pengalaman ini, Nabi Muhammad SAW melampaui batasan dunia material, memasuki realitas yang absolut. Di sini, konsep duniawi seperti waktu, ruang, dan sebab-akibat tak lagi berlaku. Nabi menyaksikan kesatuan Ilahi (tauhid) yang meliputi seluruh ciptaan, memberikan pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara makhluk dan Penciptanya.
Dengan demikian, QS An-Najm [53]: ayat 14-16, melalui tafsir Ibn ‘Arabi, mengajarkan perjalanan spiritual yang menjadi model bagi setiap pencari Tuhan. Sidratul Muntaha menjadi simbol perjalanan menuju puncak penyaksian terhadap Tuhan, di mana seorang hamba menyadari kedekatannya dengan Sang Pencipta tanpa melupakan sifatnya sebagai makhluk. Ayat ini mengundang manusia untuk terus mendaki tangga ruhani, hingga mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan menemukan makna terdalam dari keberadaan.
Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda mengenai peristiwa Mi’raj; “Kemudian Jibril membawaku naik ke Sidratul Muntaha. Daun-daunnya sebesar telinga gajah, dan buah-buahnya seperti tempayan besar. Ketika ia diliputi oleh perintah Allah, ia berubah, dan tidak ada satu pun dari makhluk Allah yang mampu menggambarkan keindahannya.” (HR. Muslim, no. 162)
Hadits ini memperkuat penjelasan tentang Sidratul Muntaha sebagai simbol batas tertinggi yang dapat dicapai makhluk dalam menyaksikan keagungan Tuhan, sekaligus menekankan keindahan dan kekuasaan Ilahi yang melampaui lisan manusia dalam berbahasa.
Sidratul Muntaha lazim juga diterjemahkan sebagai Pohon Bidara—yang sulit dimengerti akal manusia awam. Pohon ini sekujurnya emas. Dari akarnya memancar dua sungai dalam dan dua sungai luar. Dua yang di dalam mengalir ke surga, sedang dua yang di luar adalah Nil dan Eufrat. Akarnya tertancap di Surga Keenam dan puncaknya menjulang hingga ke atap Surga Ketujuh. Jarak dari akar hingga ke pucuknya yang tertinggi, selama 150 tahun. Bila menggunakan (QS as-Sajdah [32]: 5) yang berbunyi, “Dia (Allah) mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” Maka setelah dikalkulasi secara matematis, hasilnya 54.825.000 tahun di dunia. Apakah nalarmu masih baik-baik saja, Saudaraku?
Daun pohon ini selebar telinga gajah. Masing-masing daun menjadi wakil purwarupa ciptaan di dunia. Buahnya sebesar bejana batu. Beberapa dahannya terbuat dari zamrud, juga ruby, yang satu dahannya saja bisa menutupi dunia seisinya. Pohon ini dipeluk para malaikat, termasuk Jibril as yang menempati dahan berwarna zamrud hijau. Demikianlah pesan yang pernah dititipkan Nabi Muhammad Saw melalui sabdanya yang dirawi oleh Ibn Abbas ra.
Selain diterjemahkan sebagai Pohon Bidara, Sidratul Muntaha juga diartikan sebagai Pohon (yang menjadi) Kesudahan (segala sesuatu). Persis di pohon inilah Nabi Muhammad Saw melucuti segala sesuatu, dari sekujur dirinya, dan tersingkaplah tabir keabadian Allah Swt nan Suci. Beliau lah satu-satunya manusia yang beroleh undangan seistimewa dan semahal itu dari Sang Penguasa Jagat Raya.
Berdasar sumber yang ada, maka kami meyakini bahwa pohon itu adalah tempat kehidupan berawal dan berakhir. Artinya, semua kita pernah di sana dan sekarang di sini. Kita adalah makhluk langit yang berjalan di muka bumi, dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kiasannya adalah, pohon yang tumbuh di tepi sungai. Jika dilihat dari seberang sungai, maka pucuk tertinggi dari pohon tersebut berada di bagian paling bawah, tepatnya di permukaan sungai. Citraannya seolah mengalir bersama air sungai. Namun sejatinya tetap sebagaimana adanya.
Kesatuan Spiritual dalam Perspektif Perennial dan Vedanta
Dalam tradisi Perennial (Filsafat Keabadian), perjalanan ini mencerminkan pengalaman universal yang ada dalam pelbagai agama dan tradisi spiritual. Pengalaman Nabi di Sidratul Muntaha paralel dengan konsep moksha dalam Vedanta, yaitu kebebasan absolut yang melampaui dualitas duniawi.
Menurut Fritjof Schuon (Syeikh Isa Nuruddin), Isra’ Mi’raj adalah simbol purwarupa perjalanan spiritual universal. Isra’ merepresentasikan harmoni di dunia fenomenal (dimensi horizontal), sedangkan Mi’raj menggambarkan pendakian ruhani menuju Hyang Absolut (dimensi vertikal). Sidratul Muntaha, bagi Syeikh Isa, adalah batas eksistensial, di mana makhluk mencapai kesadaran tertinggi tetapi tetap tunduk pada Hyang Transenden. Perspektif ini menegaskan perlunya penghormatan terhadap hierarki kosmis dan pengakuan akan kehambaan total. Hal ini sejalan dengan ajaran Vedanta tentang moksha, tetapi dengan penekanan khas Islam pada adab dan cinta kepada Tuhan.
Namun, Islam memberikan dimensi unik melalui konsep kehambaan Nabi Muhammad. Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa puncak kesadaran bukanlah klaim keilahian, melainkan pengakuan akan kehambaan mutlak kepada Allah (‘abdullah). Sudut pandang ini menyempurnakan pandangan Vedanta, yang sering menekankan penyatuan antara individu dan Hyang Absolut, dengan penekanan pada adab dan cinta kepada Tuhan.
Shalat itu Mi’raj
Sebagaimana yang jamak diketahui Muslim sedunia, shalat adalah artefak Langit yang dibawa Rasullah Saw turun ke Bumi. Maka shalat bukan perkara sembarangan bagi manusia. Ibn ‘Arabi, dalam dua karya utamanya; Futuhat al-Makkiyah dan Fusus al-Hikam, menguraikan konsep Mi’raj dalam shalat dengan pendekatan simbolis dan esoteris yang mendalam. Berikut ini adalah Hadits yang kemudian menjadi ungkapan bijak para mistikus: “ash-shalatu mi’rajul mu’minin.”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ“
“Jika salah seorang dari kalian berdiri dalam shalatnya, sungguh ia sedang bermunajat kepada Rabb-nya.” (HR Bukhari, no. 405)
Ibn ‘Arabi sering mengaitkan Mi’raj Nabi Muhammad Saw. dengan perjalanan jiwa manusia menuju Allah melalui salat. Beliau menafsirkan bahwa setiap mukmin memiliki kesempatan untuk mengulangi pengalaman mi’raj Nabi secara spiritual dalam salatnya. Dalam Futuhat al-Makkiyah, Ibn ‘Arabi menyebut bahwa shalat adalah ibadah yang mengangkat hamba dari keterbatasan duniawi menuju kelapangan Ilahi, sebagaimana Rasulullah Saw diangkat dari bumi menuju langit dalam Mi’rajnya. Shalat itu wahana bagi seorang mukmin untuk menyeimbangkan aspek dzahir dan batinnya, sehingga memungkinkan mereka “naik” dari dunia material menuju alam ketuhanan. Mi’raj dalam konteks ini adalah pendakian menuju maqam al-qurb (kedekatan dengan Allah).
Ibn ‘Arabi menekankan bahwa setiap gerakan dalam salat memiliki makna simbolis yang mencerminkan tahapan perjalanan spiritual. Takbiratul ihram melambangkan awal perjalanan, yaitu meninggalkan perhatian terhadap dunia fana’ dan memusatkan niat hanya kepada Allah. Qiyam (berdiri), simbol keberadaan manusia sebagai ciptaan Allah, berdiri di hadapan-Nya dengan penuh ketundukan (Ihsan). Rukuk, menunjukkan pengakuan akan kebesaran Allah, menindas ego dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Sujud, merupakan fase tertinggi dalam shalat, di mana hamba mencapai puncak kedekatan kepada Allah (aqrabu ma yakunu al-‘abdu min rabbihi wa huwa sajid). Sujud juga melambangkan fana’—peleburan ego dalam wujud Allah. Sementara tasyahud, menyimbolkan kesaksian atas keesaan Allah setelah perjalanan spiritual, serta kembali ke dunia dengan membawa cahaya ketuhanan. Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa shalat memungkinkan mukmin untuk “melihat Allah dengan mata hati,” sesuai dengan hadits Nabi: “Ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya.”
Ibn ‘Arabi menafsirkan shalat sebagai dialog intim antara seorang mukmin dan Tuhannya. Ini tecermin dalam bacaan shalat, khususnya dalam surah Al-Fatihah. Beliau memahami Al-Fatihah sebagai inti dialog manusia dengan Allah. Ayat-ayat seperti, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” menunjukkan kesadaran hamba akan ketergantungannya pada Allah. Ayat ini juga dianggap sebagai ungkapan cinta dan kepasrahan total kepada Allah.
Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi memandang shalat sebagai perantara untuk mencapai kondisi kesadaran penuh (musyahadah), di mana seorang mukmin “menyaksikan” Allah melalui dan dengan hatinya. Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa inti shalat adalah tauhid, yaitu pengakuan akan keesaan Allah. Dalam Fusus al-Hikam, beliau menulis bahwa perjalanan spiritual seorang mukmin dalam shalat harus membawa mereka kepada realisasi bahwa, “Tidak ada wujud yang nyata kecuali Allah, dan seluruh keberadaan hanyalah manifestasi dari kehadiran-Nya.”
Dalam hal ini, Mi’raj seorang mukmin adalah perjalanan menuju kesadaran tauhid yang sempurna, di mana semua dualitas (hamba dan Tuhan, dunia dan akhirat) melebur dalam satu kesatuan eksistensial. Ibn ‘Arabi sering menyebut mahabbah (kecintaan) sebagai pendorong utama dalam shalat. Dalam pandangannya, shalat adalah ekspresi cinta seorang hamba kepada Allah. Seperti dalam perjalanan Mi’raj Nabi Saw, shalat adalah momen ketika hamba mendekati Allah melalui cinta, rindu, dan keinginan untuk menyatu dengan-Nya. “Cinta adalah sayap yang membawa jiwa naik ke Hadirat-Nya dalam setiap rakaat shalat,” demikian yang ia tulis dalam Futuhat al-Makkiyah.
Ibn ‘Arabi mengingatkan bahwa Mi’raj dalam shalat hanya dapat dicapai jika seorang mukmin melaksanakan shalat dengan penuh kesadaran dan khusyuk. Shalat yang dilakukan tanpa perhatian sama belaka seperti perjalanan tanpa arah. Baginya, “khusyuk adalah kondisi jiwa yang memungkinkan seorang hamba menyaksikan hakikat keberadaan Allah dalam dirinya sendiri.” Ibn ‘Arabi juga menekankan bahwa Mi’raj dalam shalat bukan pengalaman yang terputus dari kehidupan keseharian. Sebaliknya, pengalaman spiritual ini harus membawa perubahan pada karakter dan tindakan seseorang. Shalat yang benar akan memunculkan sifat-sifat Ilahi dalam diri seorang mukmin, seperti kasih sayang, keadilan, dan kebijaksanaan.
***
Saat Nabi Muhammad Saw kembali dari Langit Ketujuh dan mendarat di sekitaran Ka’bah, Abu Bakar ra yang sempat tertidur saat ditinggalkan, baru terjaga dari tidurnya. Ia yang semula sempat kecarian sembari menoleh kanan-kiri—termasuk sempat melihat mangkuk yang airnya tumpah dan belum lagi mengering itu, akhirnya bersitatap dengan kekasih hatinya. Rasulullah pun mengatakan pada ayah dari Aisyah itu, bahwa dirinya baru saja kembali dari Hadirat Allah Swt, dan membawa Shalat sebagai hadiah yang teramat sangat indah tak terperikan. []