Sedang Membaca
Islam ‘Mazhab’ Senda Gurau, Urip Mung Mampir Ngguyu
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Islam ‘Mazhab’ Senda Gurau, Urip Mung Mampir Ngguyu

Jamaah Pengajian Tertawa

Dalam Alqur’an surah Muhammad, al-Ankabut, dan al-An’am, kita bisa menemukan ayat yang redaksinya begini: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”

Islam sudah tumbuh di negeri Zamrud Khatulistiwa sejak abad-7 M. Tapi kenapa Muslim Indonesia masih saja bertungkus lumus dengan soal tenggang rasa. Kasus terakhir terjadi di Cilebut, Bogor, saat umat Nasrani sedang merayakan Natal 2022 di rumah mereka sendiri.

Mirisnya lagi, pelarangan oleh sekolompok oknum Muslim itu terjadi manakala penganut Nasrani tersebut tak bisa menggelar misa di gereja karena tak beroleh izin membangun rumah ibadah dari pengurus warga setempat–yang notabene juga Muslim. Habis perkara.

Bogor menjadi kota ke sekian yang warganya punya masalah serius dalam beragama. Sebelumnya sudah ada Sabang, Banda Aceh, Medan, Padang, Tanjung Balai, Cilegon, Depok, Bogor, Makassar, dan Jakarta (Kompas, 2 Juni 2021), merupakan sepuluh kota yang masyarakatnya paling punya masalah dengan tenggang rasa. Warga ibu kota yang harusnya berkarakter kosmopolitan, ternyata malah jadi katak dalam tempurung. Pemerintah yang berkuasa, berikut partai pemenangnya, gagal dan gagap menyikapi soal tersebut. Apa buktinya? Kementerian Agama tak pernah diampu tokoh selain Muslim. Wajar bila gereja, vihara, klenteng, selalu jadi bulan-bulanan umat Muslim yang mayoritas.

Tak cukup berhenti di situ. Sekarang kita bisa melihat dengan gamblang, betapa orangorang Muslim di Indonesia, gandrung bukan kepalang dengan pola berpakaian masyarakat Arab yang kurang citarasa seninya. Padahal jika menalar konsep menutup aurat, seluruh pakaian adat bangsa ini sudah memenuhi standar semacam itu. Lantas apalagi yang kurang? Lebih menarik lagi, para penganjur Islam yang kapiran tersebut, akan berkata bahwa meniru cara berpakaian Nabi Muhammad adalah sunnah. Jika tak dilakukan, sama dengan bukan bagian dari Islam. Lelucon semacam ini sudah merajalela ke alam pikiran umat Muslim Indonesia kiwari. Mereka lupa, bahwa yang penting menjadi Muslim adalah, kebagusan budi pekerti.

Kita baru menyoal satu perkara. Masih ada banyak tumor-kanker dalam laku keberagamaan di negeri ini, yang sengaja diimplan oleh bangsa asing. Sekarang ini mereka dipuja-puji, disembah, diagungkan sedemikian rupa sebagai anak turunan nabi. Padahal semua manusia sama di hadapan tuhan, tak ada yang perlu diidolakan. Ya, kita semua sejatinya pilihan Allah, untuk lahir ke muka bumi sebagai khalifah-Nya.

Baca juga:  Respons KH. Ahmad Siddiq, Gus Dur, dan Nurcholis Madjid 36 Tahun Silam atas Khittah NU 1926

Narasi agama juga seringkali dijadikan tameng untuk menindas, menipu, menakuti orang lain dengan ancaman dosa-neraka, dan iming-iming surga. Alhasil, sedikit sekali di antara umat beragama di negeri ini yang tahu apa itu hidup bahagia di dunia.

Bagaimana bisa merasakan, ya karena sering dihipnotis dengan ancaman “jangan hubud dunya (cinta dunia).” Sementara yang menganjurkan, rumahnya kayak istana. Orang semacam ini, tersebar di mana-mana. Ada yang mengaku habib, syeikh, maulana, kiyai, ajengan. Orang beragama harus miskin, supaya bisa jadi sapi perah mesin liberalisme. Maka mudah bagi kita untuk mengerti, kenapa bangsa asing di Indonesia, bisa menjadi golongan orang terkaya, dan sebaliknya, warga pribumi selamanya menjadi kacung di negeri sendiri.

Warna-warni dan Rasa Kehidupan ini serbaneka sifatnya. Anda bisa percaya pada apa pun sebagai keyakinan, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi keindahan tetaplah indah dipandang mata. Tak semua orang akan menggali apa yang Anda gali, tapi Anda berhak menggali segala makna dalam kehidupan—termasuk kehadiran kita di semesta raya tak berbatas. Inilah corak khas bangsa Nusantara. Kisanak baru bisa menenggang perbedaan yang serbaneka dalam panggung megah kehidupan ini, bilamana sudah mampu membereskan betapa sering pikiran, ucapan, tindakan, dan perasaan kita saling bertentangan.

Memang diperlukan sikap santai dan gembira dalam beragama. Kalau masih taraf belajar beragama, niscaya sulit menemukan keindahan agama yang akan melibatkan kita pada pengalaman bathini-ruhani. Maka membincang kelenturan, kita mesti membahas kedewasaan diri dalam beragama.

Ini bukan lagi soal sentimen antarumat beragama, atau akidah yang kerap diperdebatkan para alim ulama. Menenggang rasa mestinya dalam banyak hal, bahkan dengan kawan-kawan yang tidak beragama, atau malah tak bertuhan. Sadarilah, kendati mereka begitu, mesti ada pelajaran yang bisa kita anggit dari mereka sebagai sesama saudara manusia.

Tentu, rasa kemanusiaan saja sudah cukup menjadikan kita sebagai manusia bermoral. Agama menganjurkan menjaga silaturahim. Tapi tanpa pengetahuan itu, kita bisa merasakan sendiri betapa menyenangkan berkumpul dengan kerabat, dan wagu rasanya bila terpaksa bermusuhan. Banyak contoh lain yang dapat Anda temui dalam kehidupan masing-masing. Semua perbuatan baik akan terasa nyaman bila dikerjakan. Sebaliknya, perbuatan buruk pasti membawa kita dalam suasana serba tidak nyaman.

Sejatinya, agama lebih mirip buku petunjuk seseorang untuk membaca peta kehidupannya. Hukum-hukum dalam Islam misalnya. Menaati hukum itu menjadikan kita lebih tertib dengan perbuatan baik. Dampaknya lebih sering baik, tapi salah membaca juga bisa berakibat fatal. Seperti terjebak dengan perasaan sombong, lebih baik dari yang lain, dan paling benar sendiri.

Baca juga:  Iklan Majalah Adzan: Bukan Berkumandang, Tapi Berhadiah

Beragama adalah ketika ajaran agama sudah berjalin kelindan dengan kehidupan seseorang. Nilai-nilainya sudah jadi laku lampah setiap waktu, ngawiji, manunggal. Jika sudah sangat intim, kita tak butuh lagi penilaian orang pada cara kita beragama, apalagi menilai cara orang lain dalam beragama.

Karena intim, meski harus mendaki gunung, keluar masuk hutan, menahan kantuk, kelelahan, sedih, terkadang susah hati, kita tetap beragama dengan cara yang diajarkan Allah kepada diri pribadi. Santai dan gembira perlu, tapi itu masih belum cukup. Suatu hari, seorang bijak bestari pernah berpesan begini pada kami, “Agama seperti bara api yang menyala. Digenggam pedih dan panas, tapi tak boleh dilepas.”

Oleh karena itu, sebagaimana kami ungkapkan di atas, kita harus segera mendewasa dalam beragama. Sembahyang sudah bukan lagi sekadar memenuhi panggilan muadzin, takut dosa atau berharap pahalanya. Saya sembahyang memang karena butuh. Saya penuh menyeluruh mendalami agama dan spiritual juga karena butuh, bukan terpengaruh orang lain. Sama halnya dengan tidak memberi ucapan selamat dalam perayaan agama lain, karena kita tak tahu esensi perayaan tersebut. Tapi kita harusnya tak punya soal apa pun dengan mereka yang merayakannya. Sesederhana itu.

Secara garis besar, kita perlu berusaha membangun keintiman beragama. Berusaha menemukan hakikat dan hikmah dari laku lampah dalam kehidupan ini. Maka laku beragama pun jadi tak terpisahkan dari ruang-waktu. Bukankah ketika kita hendak memulai “segala kegiatan,” dianjurkan dengan mengucap Bismillah? Mandi, buang air, ada tata caranya? Bahkan nafas juga ada dzikirnya? Kita bisa mendawamkan “Ya Rahman, Ya Rahim, saat berjalan. Menjaga hati dan pikiran dari kesombongan, berburuk sangka, dll. Hal itu juga perlu dilakukan setiap saat.

Coba bayangkan bila Anda terlahir sebagai penganut Nasrani dan dilarang beribadah di rumah sendiri? Padahal secara akidah, kita sama tak mengerti kenapa dilahirkan seperti ini. Sudahlah tak bisa mengenali diri sendiri, Anda keukeuh menilai liyan secara serampangan—sesuai standar berpikir sendiri yang lemah. Pahamilah, Saudaraku, menolak peran serta dan kehadiran orang lain, itu sama dengan manafikan karya agung Tuhan.

Kalau masih tetap belum bisa memafhumi sisi senda gurau dalam kehidupan ini, barangkali Anda perlu ngopi. Lalu bukalah lagi lembaran sejarah Islam. Sambangilah sejenak seorang Sahabat Nabi bernama Nu’ayman bin Amr. Penyintas Perang Badr ini unik. Ia punya cara tersendiri untuk mencintai kekasihnya, Muhammad Saw. Lelucon dan keusilannya kerapkali berhasil menyunggingkan senyum di bibir Nabi Muhammad. Padahal warga Madinah tahu bahwa lelaki yang satu ini gemar sekali menenggak khamr.

Kendati telah berulangkali dihukum oleh para Sahabat lain, dan juga Rasulullah Saw, ia tetap saja getol pada minuman keras. Suatu hari, para Sahabat kembali memergokinya dalam keadaan mabuk berat. Seperti yang bisa Anda tebak, ia kena damprat dan diberi nasihat yang nyaris sama, “Sudah berdekatan dengan Nabi Saw, tapi kok masih saja bejat.”

Baca juga:  Diaspora Santri (4): Peran Nahdlatul Ulama dalam Isu Xinjiang

Sang Nabi yang kebetulan sedang melintas di sekitaran tempat Nu’ayman digrebek itu, kemudian mendekat. Setelah menerima penjelasan dari para Sahabat, Beliau pun ngendika.

“Jangan pernah sekali lagi kalian menghujat dan melaknat Nu’ayman. Meskipun dia seperti ini, tetapi ia selalu membuatku tersenyum. Ia masih mencintai Allah dan aku, dan tidak ada hak bagi kalian melarang Nu’ayman mencintai Allah dan mencintaiku sebagai Rasul.” Demi mendengar pembelaan dari Rasulullah Saw sedemikian rupa untuk Nu’ayman, para Sahabat lantas membubarkan diri.

Ketika Nu’ayman wafat mendahului Rasulullah, ia bahkan masih saja berkelakar. Proses pemakaman berjalan seperti biasa, hingga akhirnya tiba waktu Rasulullah dan para Sahabat meninggalkan makam Nu’ayman.

Saat itulah Rasulullah tertawa, hingga tampak gigi gerahamnya. Para Sahabat heran dan bertanya-tanya dalam hati, “Ada apa gerangan Rasulullah tertawa di atas makam Nu’ayman.”

Di tengah perjalanan, salah seorang Sahabat memberanikan diri menanyakan perihal tersebut. Rasulullah Saw pun menjelaskan:

“Ketika aku berdiri di atas makam Nu’ayman, datanglah Malaikat Munkar dan Nakir melakukan tugasnya seperti biasa. Ketika Nu’ayman ditanya: “Siapa Tuhanmu?” ia menjawab dengan mantap, ‘Allah Tuhanku,’ dan ketika ditanya, “apa kitabmu?” jawabannya, ‘Alqur’an kitabku.’ Tapi ketika ditanya, “Siapa Nabimu?” sambil menunjuk ke arahku, Nu’ayman berseru, ‘Tuh orangnya di atas, sedang mengantar.’ Itulah yang membuatku tertawa.”

Rasulullah Saw melanjutkan sabdanya, “Nu’ayman akan masuk Surga sambil tertawa, karena dia seringkali membuatku tertawa.”

Jikalau kisanak pernah bersinggungan dengan khazanah kebudayaan masyarakat Jawa, tentu pernah mendengar petuah yang berbunyi begini, “Urip mung mampir ngguyu: Kehidupan hanya sekadar mampir ketawa.” Dengan kata lain, orang Jawa sudah menyelami intisari Islam, sebelum agama rahmat ini tiba di kepulauan Nusantara. Rahayu… []

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top