“Jika ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah kebatilan dengan agama,” demikian pesan Ibnu Rusyd dari Cordova pada Abad-12 M.
Sejak era pencerahan Islam itu, hingga saat ini, umat Islam sedunia–terutama di Indonesia, masih bertungkus-lumus dengan kepandiran. Berkubang dalam kenaifan. Segelintir orang yang menjadikan ayat Alquran sebagai barang dagangan demi meraup massa, berhasil menangguk untung dari keawaman. Wilayah ushuluddin (teologi) diaduk di bejana politik. Alhasil, benturan pun tak bisa dihindarkan.
Setelah isu takfiri (pengafiran), kini mencuat gelombang kebanalan baru: pemurtadan. Mari kita teroka sejenak perkara ini. Golongan pedagang ayat yang kami sitir tersebut, dengan gagah perkakas melabeli seseorang menjadi murtad–hanya bermodalkan satu sudut pandang yang sumir, tanpa mau menilik sejarah Islam secara saksama.
Tak kurang-kurang teladan yang bisa kita ambil dari riwayat awal Islam hadir di muka bumi. Rasûlullâh sendiri malah pernah menjamin keselamatan pemeluk Nasrani di Biara St. Chaterine. Sayyidina ‘Umar bin Khattab ra sempat masuk ke Gereja Makam Kudus di Yerussalem. Pun dengan Muhammad al Fatih, yang setelah berada di dalam Gereja Aya Sophia, malah memberi pengampunan pada umat Kristen yang berlindung di dalamnya. Murtadkah itu namanya?
Terlepas dari kecenderungan mereka yang kita tahu beraliran puritan, kita bisa menelaah satu hal: seni berdakwah mereka kapiran. Receh. Remeh-temeh. Tidak tahu duduk perkara. Membicarakan sesuatu tanpa menggunakan kaidah ilmu sama sekali.
Jadi, apa sih murtad itu? Bagaimana cara memahaminya? Harus bagaimana kita menjalani Islam, jika kekisruhan semata yang diwacanakan?
Murtad dalam Islam, berasal dari akar kata riddah atau irtidad yang berarti kembali. Istilah murtad berarti keluar dari agama Islam dalam bentuk niat, perkataan, atau perbuatan yang menyebabkan seseorang menjadi kafir atau tidak beragama sama sekali.
Pada awal sejarah Islam, istilah riddah dihubungkan dengan kembalinya beberapa kabilah Arab, selain Quraisy dan Saqif, dari Islam kepada kepercayaan lama setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Keimanan mereka goyah dihempas kenyataan.
Saat itu, sejumlah kabilah yang murtad menuntut dihilangkannya kewajiban shalat dan meminta dihilangkannya kewajiban membayar zakat. Khalifah Abu Bakar as-Sidiq ra memerangi kabilah-kabilah yang murtad itu sehingga meletuslah Perang Riddah.
Menurut Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baroe Van Hoeve, beberapa perbuatan yang dikelompokkan sebagai perilaku murtad antara lain adalah pengingkaran adanya pencipta, peniadaan rasul-rasul Allah Swt, dan penghalalan perbuatan yang disepakati haram serta pengharaman perbuatan yang disepakati halal.
Kemurtadan, masih menurut Ensiklopedia Islam, berarti batalnya nilai religius perbuatan orang yang bersangkutan. Kembali kepada kekafiran setelah beriman, berarti ‘terputusnya’ hubungan ketersingkapan dengan Allah Swt. Tirai kegaiban pun kembali diturunkan.
Hal itu antara lain dijelaskan dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 217, “Sesiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu mati dalam kekafiran, mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia, dan akhirat dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Seseorang dianggap murtad bilamana telah mukalaf (baligh) dan menyertakan kemurtadannya secara terang-terangan, atau melansir kata-kata yang menjadikannya murtad atau perbuatan yang mengandung unsur-unsur kemurtadan.
Ranah yang kita bahas ini, masuk ke wilayah syariat, yaitu korpus aturan yang dialamatkan untuk menunjukkan dimensi keindahan Islam. Ditinjau dari segi mana pun, Islam itu memang indah. Tak heran kemudian seorang polimath Islam Abad-10 asal Persia, Muhammad ibn Zakariyah Ar-Razi, mengenalkan kaidah estetika sebagai salah satu pisau analisa keilmuan.
Apabila Islam kita tinjau dari disiplin ilmu yang satu ini, maka yang muncul adalah segi keindahan sejati–yang kerap kali jarang diperhatikan Muslim kiwari. Islam seolah hanya bicara salah-benar. Dosa-pahala. Surga-neraka. Kafir atau beriman.
Padahal dalam begitu banyak ayat Alquran yang bertaburan bak permata manikam, kita bisa menemukan ragam keindahan itu. Seni sejati kehidupan, dikandung Alquran dengan segala kerahasiaan tak tepermanai. Salah satu contohnya, Islam mengajarkan manusia seni dalam berpikir. Begini.
Seorang ahli hikmah pernah menanyai kami, pada suatu hari. “Maukah kalian dekat dengan Allah?” Beberapa orang sedulur seperjalanan yang hadir saat itu, sontak menjawab mau. Saya, malah sebaliknya. Mengetahui ini, ia kemudian mencecar saya dengan pertanyaan baru, “Kenapa tidak mau? Kok sombong sekali ndak mau berdekatan dengan Allah?”
Tanpa babibu, saya katakan padanya bahwa pertanyaan itu sudah salah jika merujuk petunjuk Alquran. Suasana di sekeliling kami mendadak membingungkan. Sorot pasang mata mulai mengarah ke saya. Mungkin mereka sedang berpikir bagaimana juntrungannya pertanyaan itu bisa menjadi salah.
Kepada sang ahli hikmah saya ajukan QS Qâf [50]: ayat 16 yang berbunyi, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat leher.” Artinya, kita semua manusia, sudah dekat dengan Allah. Soalnya adalah, kita tak benar-benar mau merasakan kedekatan itu.
Dekat yang tak bersentuhan. Jauh tapi tiada jarak. Bagian ini seolah membingungkan. Tapi itulah gambaran termudah bagi kita tuk memahami konsepsi kedekatan dengan Sang Maha Pencipta. Kedekatan kita dengan kekasih pujaan hati, melampaui dimensi fisik kan? Nah, kira-kira setingkat di atas itulah penalaran berdekatan dengan Allah.
Sedulur semua yang saya muliakan. Nukilan ayat pendek itu tak sendirian. Masih ada lagi yang lain. Seperti berikut ini. “Sesungguhnya Aku beserta kalian, Aku mendengar dan melihat setiap saat.” (QS Tha Ha [20]: 46). Dalam sebuah Hadis Qudsi, kita juga bisa menemukan khazanah keindahan yang menuntun nalar kita untuk berpikir lebih menjeluk.
“Jika hamba-Ku mengingat-Ku dalam dirinya, Aku akan mengingatnya dalam Diri-Ku, dan jika ia mengingat-Ku di keramaian, Aku akan mengingatnya dalam keramaian yang lebih baik.” (HR. Bukhåri, Tawhid 7405; Muslim, Zikr 2675; Ibn Majah, Adab 3822).
Perkara ingat (zikir) ini, banyak sekali ayat yang menyatakannya. “Sungguh Aku ini Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (QS Tha Ha [20]: 14). Ayat yang lain berkata, “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Hanya dengan mengingat Allah sahaja hati menjadi tenteram.” (QS Ar-Ra’d [13]: 28)
Andaikata kita berhasil melakoni zikir dalam laku lampah keseharian, niscaya mudah memafhumi ayat yang mengatakan bahwa, “Sesungguhnya agama di sisi Allah itu Islam.” (QS ‘Ali Imrân [3]: 19). Kalau Allah menyebut Nasrani dan Yahudi juga, kita takkan mau memilih Islam sebagai panutan keyakinan. Wahana menanamkan keimanan.
Maka membandingkan Islam dengan agama lain dengan segala pendekatan, tetap mengandung masalah. Kalimatun sawa’ (benang merah kebijaksanaan) tak bisa diurai dari situ. Islam adalah ajaran tuhan. Pun demikian dengan Nasrani & Yahudi. Toh kitab² mereka disebut dan bahkan lebur dalam al Quran. Wajar bila kemudian muncul ayat, “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku”. (QS al Kafirun [109]: 6).
Kita kembali ke ahli hikmah tadi. Ia menyodorkan lagi pertanyaan baru kepada kami, “Lantas kalian mau mencari apa dengan memercayai Tuhan? Mau bertemu dengan-Nya?” Ruangan tempat kami duduk bersila melingkar itu seketika hening. Kali itu saya memilih diam. Namun apa mau dikata, sosok bijak bestari di hadapan kami, kembali meminta saya menjawab.
Pertanyaan itu pun saya jawab dari belakang.
Pertama, tak ada satu pun manusia yang bisa bertemu dengan Allah. Alquran tak menerangkan itu secara rinci. Termasuk ayat tentang Isra’ Mi’raj. Malahan Rasulullah sendiri menyitir sebuah hadis riwayat Muslim yang bersayap, “Sesungguhnya Allah Swt memiliki tujuhpuluh hijab berupa cahaya & kegelapan,” riwayat lain dari Tabrani menyebut “tujuhpuluh ribu.” Seorang Sahabat juga pernah bertanya pada Beliau, “Apakah Baginda pernah melihat Rabb kita?” Beliau menjawab tegas, “Hanya Cahaya, bagaimana mungkin aku bisa melihat-Nya. (HR. Muslim, Iman 178).
Hadis tersebut berkesesuaian dengan ayat berikut–yang juga sekaligus menegaskan pernyataan Rasulullah, “Dan tidak mungkin terjadi bagi seorang manusia Allah berkata-kata dengannya kecuali dengan perantaraan Wahyu, di belakang tabir, atau dengan mengutus malaikat, lalu diwahyukan kepada ia dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Mahabijaksana.” (QS Asy Syura [42]: 51)
Kedua, saya menjawab untuk apa mau percaya pada Tuhan dengan nalar yang paling bisa dipertanggungjawabkan, yaitu: mencari rahmat-Nya. Bukan karena takut nyemplung ke neraka, atau ingin masuk dalam surga. Sang ahli hikmah menyungging senyum di bibirnya. Rahmat itu fasilitas ketuhanan, yang juga diperoleh Muhammad Saw ketika turun dari Sidrat l-Muntaha. Ia menjelma rahmat bagi semesta alam.
Usai momen luar biasa itu, wajar kiranya Rasulullah tampil sebagai pribadi yang mengesankan. Beliau mengajak manusia menerapkan seni mencintai manusia. Musuhnya tak hanya diampuni, melainkan dicintai. Apalagi mereka yang menjadi sahabatnya. Madinah tumbuh subur. Kerukunan umat manusia tercipta. Dari ufuk timur hingga ke barat pandangan mata.
Seni kehidupan itu mengejawantahkan kebudayaan. Sejarah menamainya dengan era masyarakat madani. Budaya luhur menurunkan kesenian. Maka lahirlah karya sastra unggulan, musik, tari, rupa, olah suara, arsitektur, kuliner, tata busana, dan terutama seni berpikir–yang kelak melahirkan para saintis kampiun sejak era Umayyah, Abbasiyah, dan Andalusia.
Mereka yang hidup pada masa kegemilangan Islam dahulu, sadar betul bahwa seni & Islam itu berjalin kelindan. Dasarnya jelas. Allah itu Indah, dan Dia menyukai (mencipta) keindahan. Di sinilah letak pembeda estetika Islam dengan dunia barat. Islam tak mengenal seni bebas nilai. Ekspresi keindahan dalam Islam, dianggit dari kenyataan hidup & alam sekitar. Semata demi kemaslahatan peradaban manusia.
Kehidupan, secara hakiki, sudah merupakan kesenian yang indah. Islam mengajak kita mengerti betapa ada begitu banyak hal yang harus kita renungkan. Khususnya yang sudah terjadi dan kita lalui sebagai pribadi. Berdasar tolok ukur itu, kita bisa membangun kesadaran yang bersumber dari pertanyaan mendasar; dari semua hal yang telah berlalu sepanjang hidup kita, adakah yang lebih kita terima selain pergantian siang dan malam?
Suka atau tidak. Mau atau tak. Kita harus menerima segala permintaan yang tidak Dia kabulkan, dan mensyukuri pula apa² yang telah Dia beri bahkan tanpa kita minta. Konsep rezeki yang telanjur termaterialkan, harus dikembalikan pada harkatnya semula. Masih bisa bernafas pun termasuk rezeki besar yang lebih sering kita nafikan.
Karena itulah, seni terindah yang hendak dikenalkan Islam adalah kesadaran tertinggi tentang kenyataan bahwa kita, anak² manusia, merupakan puncak mahakarya Tuhan. Dia khaliq. Kita makhluq. Dia Wujud. Kita diwujudkan. Dia tak terbatas. Kita, gemar melampaui batas. Dia Mahaberkehendak. Kita mestinya tunak.
Akhir kalam, izinkan kami menukil sebuah doa yang diajarkan oleh ahli hikmah tersebut, “Duhai Allah… Jangan pernah kabulkan segala keinginan hamba, dan tolong berilah daku kekuatan agar bisa mengabulkan apa yang Engkau kehendaki sahaja.”
Keindahan pikiran itu sejatinya adalah spirit Islam yang nyaris padam. Dapatkah saudaraku sekalian menganggit rasa keindahan dari doa tersebut? Sungguh, hidup dalam keberislaman, atau Islam dalam kehidupan itu, indah semata–apabila kita mau menggunakan rasa. (SI)
a xi ba