Hiruk-pikuk sidang Mahkamah Konstitusi terkait isu kecurangan Pilpres 2019, bagai kemarau disiram hujan sehari. Betapa tidak. Pada Senin, 24 Juni tahun ini, seorang mentalis kampiun Indonesia, Deddy Corbuzier, melepas keyakinan lamanya dan kemudian memeluk Islam di bawah bimbingan Kiai Ma’ruf Amin dan Gus Miftah. Kiai sepuh yang cum Wakil Presiden Indonesia terpilih itu pun menahbiskan nama anyar pada sedulur anyar kita, Ahmad Deddy Cahyadi.
Sebagaimana bisa ditebak. Berita bahagia ini pun tak luput dari gorengan warganet. Wajar saja. Sang Mualaf dibimbing langsung oleh pemenang Pilpres. Tak ayal. Bola liar pun menggelinding tak tentu arah. Sumbernya sudah pasti. Gerombolan ustaz yang ngajinya entah di mana dan nyinyir sedemikian rupa atas pilihan Deddy yang lumayan menghebohkan itu.
Inilah uniknya Indonesia. Orang berbuat baik saja masih dicibir. Tunggu dulu. Itu juga yang jadi keajaiban Islam. Siapa pun yang meninggalkan atau memeluknya, kerap kali jadi buah bibir manusia. Hemat penulis, hal semacam belum pernah terjadi pada dua agama Samawi yang lain.
Ada sebuah hadis yang juga bisa kita jadikan panduan terkait kenapa umat Islam sedemikian rupa terkait satu sama lain dalam hal persaudaraan iman.
“Setiap mukmin ialah cermin bagi mukmin lain: al-mu`min mir`at al-mu`minin.”
Sayangnya, pesan mulia Kanjeng Nabi itu tak terlalu diperhatikan oleh kalangan Muslim, sehingga perbalahan sering kali pecah di antara mereka. Inilah sesungguhnya tantangan Islam pada zaman halai balai—yang diselimurkan dengan sebutan modernisme.
Sekarang kita tinggalkan kabar membahagiakan itu. Mari kita masuk ke topik utama yang hendak patik ulaskan untuk sidang pembaca sekalian. Secara universal, Islam bisa diterjemahkan dengan lema pasrah-berserah, tunduk-patuh, atau selamat sejahtera. Sekarang pahamilah, Kisanak. Makhluk mana kah di semesta ini yang tidak memasrahkan diri pada Sang Hyang Wenang?
Alquran merajut dengan baik postulat itu manakala seorang hamba bijak bestari, Ibrahim bin Azar, memanjatkan doa kepada Tuhannya—tujuh alaf silam:
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ
“Duhai Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (hendaklah) anak-cucu kami tunduk patuh pula kepada-Mu…” (QS Sapi Betina [2]: 128)
Pada ayat di atas, termaktub lema muslim dalam dua bentuk tasyrifan. Ayat ini sekaligus menegaskan bahwa umat Nabi-Nabi terdahulu juga termasuk golongan muslim. Islam sejak mulanya.
Nabi Muhammad Saw sebagai pamungkas dari nabi-rasul Allah, melengkapi laku ketundukan-kepasrahan manusia pada tuhan, dengan empat matra yang diajarkannya. Sebagaimana yang tertera dalam sebuah hadis masyhur (nan janggal) dalam kalangan sufi.
“Syariat adalah kata-kataku (aqwali), Tariqah adalah amalanku (a’mali), dan Hakikat adalah maqam/keadaan batinku (ahwali).”
Matra pertama yang mendahului hakikat adalah, makrifat. Kenal diri. Kenal Ilahi. Anehnya, Rasulullah tidak ngendiko perkara itu dalam hadis di atas. Biarlah sedulur sedanten yang mencarinya sendiri dalam kenyataan hidup masing-masing.
Sebagai sebuah petunjuk, bolehlah kita tilik hadits popular yang berbunyi, “Ana Madinatu l-‘Ilm wa ‘Aliyyu babuha: Saya adalah Kota Ilmu dan ‘Ali pintunya.” Tak heran bila seluruh ajaran esoterik (kebthinan) Islam, kerap kali merujuk pada ‘Ali selaku mursyid kedua setelah Baginda Nabi Saw.
Namun sayang sekali, Sunnah utama ini malah terbalik formatnya pada zaman kiwari. Orang-orang yang mendaku diri relijius, menyembah tuhan dalam pikirannya sendiri. Bukan Dia sebagaimana Ada-Nya. Padahal membanteras kemusyrikan merupakan proyek utama kenabian dan kerasulan. Tapi apa mau dikata. Dunia tunggang langgang ini memang sedang jungkir balik. Semoga hati kita tak mengeras membatu.
Perkara lain yang kerap kali diperselisihkan hampir seribuan tahun lamanya yaitu, Islam sama dengan Arab. Kajian mengenai ini sudah tak terkira banyaknya. Kami hanya sekadar ingin menambahi dengan secuil analisa. Begini, tuan-puan sekalian. Kita tengok sejenak ayat di bawah:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۖ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Dialah Tuhan Hyang Mahakuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Ibrâhim [14]: 4)
Kehadiran seorang nabi-rasul di tengah umat mereka, tidak sama dengan keistimewaan. Alquran menjelaskan ini dengan sangat baik. Syarat utama kemunculan seorang nabi-rasul adalah, kerusakan adab dan moral kemanusiaan yang runtuh.
Sejarah telah mengabarkan pada kita bagaimana tabiat masyarakat Jahiliyah Makkah sebelum Rasulullah Muhammad Saw dilahirkan—pada abad ketujuh. Pada masa yang sama, di negeri ini sedang dibangun monumen spiritual megafraktal dalam format empat dimensi yang masih tegak menjulang hingga kini; Bhwana Shaka Pala, yang kadung disalahpahami sebagai Çandi Borobudur.
Berdasar rekam jejak catatan manuskrip kuno, belum pernah ada satu pun utusan tuhan yang ujug-ujug datang dari negeri dongeng. Sebaliknya, Beliau adalah warga asli setempat. Anak kandung zamannya. Keturunan terbaik keluarga terhormat. Unggul secara kualitas. Jasmani. Pun ruhani.
Bahasa Cahaya
Konteks billisani qawmihi yang dicatat surah Ibrahim tersebut, bila dikaitkan dengan nabi akhir zaman, tak melulu tentang bahasa Arab. Seturut yang telah dibuktikan para peneliti agama mumpuni, Nabi Muhammad Saw unggul bukan lantaran kearabannya.
Beliau tampil terdepan sebagai suri tauladan, justru kerana bahasa non verbal yang ia gunakan.
Tutur katanya halus. Tingkah lakunya santun. Perangainya berbudi. Perasaannya halus lembut bak sutra bersulam salju. Putra semata wayang Abdullah ini, mengajak manusia zaman itu (dan seterusnya) kembali ke diri asali. Menjadi manusia sejati. Memanusiakan Manusia. Menuhankan Tuhan.
Muhammad Saw hadir di tengah masyarakatnya yang centang prenang, dan ia melampaui kebobrokan peradaban mereka dengan khazanah yang seolah baru—padahal terbenam jauh di dasar jantung kemanusiaan.
Nabi terakhir ini, yang dengan rendah diri diperjalankan Tuhan ke Puncak Tertinggi, berhasil menerjemahkan peradaban Langit di muka bumi. Madinah kota barunya, ia terangi dengan cahaya kenabian. Ia menjelma cahaya di sana. Bahkan ke seantero jagat raya.
Muhammad memuji semua makhluk bumi, untuk Tuhannya yang Maha Tinggi. Seluruh makhluk pun memuji Muhammad dengan puja-puji terindah yang belum pernah ada sebelumnya. Muhammad lah Cahaya kehidupan. Qalbunya bersinaran. Terang benderang menerobos gulita kebodohan.
Maka absah kiranya jika segala sesuatu bersaksi atas keberadaannya. Tanpa kecuali. Iblis terkutuk pun, bertekuk lutut di hadapan wajahnya yang mulia. Muhammad pula satu-satunya Rasul yang disaksikan Allah dan terangkai menjadi Syahadat alam raya. Maka sesiapa yang mengaku Muslim, wajib baginya mengakui ke-Muhammad-an & ke-Allah-an dalam dunia mayapada ini.
Berdasar itu, mungkin Anda jadi mafhum bagaimana sebuah pohon dan seekor tokek kemudian bersyahadat pada Muhammad Saw. Sebatang kurma Masjid Nabawi yang menangis lantaran tak lagi dipakai sandaran khutbahnya. Unta yang jadi penunjuk posisi di mana kaum Muhajirin harus membangun masjid pertama mereka di Madinah. Satu lagi.
Pohon tua di Yordania yang bocah Muhammad pernah berteduh di bawahnya—kemudian bergelar Pohon Sahabi—masih hidup hingga kini.
Cahaya yang mawjud jadi bahasa dalam diri Rasulullah Saw itu, telah sejak awal mula kehadirannya, berhasil disalin rupa oleh bangsa Nusantara ke dalam pelbagai ajaran luhur. Di Bali menjadi Budi Dharma. Di barat Jawa ada Sunda Wiwitan, Sukma Maneges, Sirnagalih, & Buhun. Di Jawa Tengah & Timur ada Kejawen, Purwoduksino, dan Budi Luhur.
Di pantai utara Swarnadwipa ada Mulajadi Nabolon, Parmalim, Parbaringin, Pamena, & Arat Sabalungan di Mentawai.
Masyarakat Minahasa, Sulawesi Utara, memeluk Tonaas Walian. Orang Bugis dengan Tolottang. Wetu Telu di Lombok. Naurus di Pulau Seram, Maluku. Marapu di Sumba.
Masih ada Bolim, Basora, Samawi, Pahkampetan, dan Kaharingan yang dianut orang Dayak di Kalimantan.
Pada Abad-14 M di Trowulan ibukota Majapahit, ada seorang waskita dan linuwih yang dengan cermat berhasil menuliskan sebuah risalah agung dalam 13 pupuh yang bernama Nirartha Prakreta. Berikut ini kami nukillan pupuh I buah karya Mpu Prapanca tersebut:
Santawya ngwah i jon Bhatara Paramarthatyanta rih Niskala. Sah tan sah sinamadhi mungwi tenahin hret-tikta syunyalaya. Suryopama siran prakasya menuhi sarwatma diptojjwala. Byaktawas kahidep swa-dipa sumeno lumren manah niccala.
“Daku memohon ampunan di bawah kaki Bathara Paramaartha (Tuhan Penguasa Kenikmatan Dunia) Hyang Maha Niskala (Melampaui Segala Ukuran Duniawi), yang merupakan tujuan samadi (dan) bersemayam di pusat kegaiban yang sunyi hampa. Bagaikan Matahari yang perkasa menyelimuti segala makhluk dengan gemilang cahaya, Terang dan Nyata (Sang Bhatara) adalah (yang) Bercahaya dengan Sendirinya, Penerang hati yang tak tergoyahkan.”
Ndah yan mankana lot sayojya hana rin cittatisyuddhottama. Mangeh sadhananinwan amrih ateken lamban gumegwan karas Nahan donkun amuspa rin pratidineh ratryamalar sanmatan. Pinten karananin wenan rumacananan syabdatemah bhasita.
“Maka sudah selayaknyalah (Bhatara Paramaartha) terus menerus bersemayam dalam hati yang suci dan utama, sebagai pegangan bagi hamba yang hendak mempergunakan (keberadaan-Nya) sebagai tongkat demi untuk memegang teguh Kesejatian. Demikian maksud hamba berdoa siang-malam hanya demi mohon perkenan (Bhatara Paramaartha), supaya memberi segala kekuatan (kepada hamba, agar) mampu merangkai syair menjadi kebenaran.”
Hati seorang manusia yang diliputi Cahaya Kebenaran, maka ia kan melihat yang tak kasat oleh mata. Huruf tan aksara. Mendengar yang tak diucapkan lidah. Merasa yang tak bisa dirasakan perasaan. Hidup baginya adalah kenyataan paling absah dari Sang Hyang Nistemen (Al Kholiq/Mahapencipta).
Hidup seorang anak manusia yang disarati Cahaya Kehidupan, maka ia mengejawantah jadi Cahaya itu sendiri. Sejurus dengan petuah Rasulullah Saw yang bersabda, ‘Al ‘ilmu nuurun: Ilmu itu Cahaya.” Siapa saja yang memiliki Ilmu, Cahaya dan dirinya menyatu padu. Satu dan lainnya sulit dibedakan.
Sampai di sini, perlu lah kiranya kita renungkan lagi jiwa Islam itu—yang jika disandingkan dengan kata ad-Din, maka menjadi agama sarat ketundukan. Pasrah bongko’an pada Gusti Allah. Bukan malah seenak udel sendiri. Islam dan Hidup itu berjalin kelindan. Saling isi mengisi. Tidak saling mendahului.
Akhir kalam. Izinkan kami menyitir sebuah puisi demi menutup tulisan sederhana ini;
Engkau Hyang Mahaindah
Kupuja dengan tetesan haru rindu
dari sungaisungai airmata
Semawar cinta t’lah kupetik dari taman paling puitik
saat Kita bersua dalam malam Cahaya purnama menggantung di langit hati surgawi
yang Kaucipta dengan kelindan kerinduan sepanjang masa
lalu kurangkai jadi kuntum demi kuntum gelisah tiada sudah
sejak berjumpa
aku lupa cara berpisah
kalah dalam peluk-Mu yang basah. (atk)