Kepada seorang santri alumnus Pondok Pesantren Al-Falah dan Al-Musaddadiyah, Abdul Mughni Shiddiq, Gus Dur membocorkan rahasia hidupnya.
“Begini, Kang Mughni. Ketika saya didatangi banyak orang yang meminta perlindungan, apakah orang itu benar atau salah, saya terima mereka semua dengan lapang dada. Karena apa? Saya selalu yakin, Allah lah yang menggerakkan hati mereka agar mendatangi saya. Jika saya tolak karena mereka bersalah, itu sama saja saya menolak kehendak Allah. Perlindungan saya kepada orang-orang yang disudutkan karena kesalahannya itu, bukanlah bentuk bahwa saya melindungi kesalahannya, tapi saya melindungi kemanusiaannya.
Lebih jauhnya begini. Jika kamu membenci orang karena ia tidak bisa membaca Alquran, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi Alquran. Jika kamu memusuhi orang yang berbeda agama denganmu, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah, bukan yang lainnya. Pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, ya kamu harus menerima semua makhluk. Karena begitulah Allah.”
Format beragama wa bil khusus berislam model Gus Dur terasa begitu membumi. Mudah dipahami. Dimengerti. Dijalani. Berbanding terbalik dengan fenomena Muslim “hijrah” yang menerapkan agama mereka hari ini dalam kehidupannya.
Hidup di dunia tapi malah kepikiran akhirat. Lantas lupa tugas utama manusia hidup di dunia. Kepengin mencintai Allah tapi membenci makhluk-Nya. Padahal, mencintai makhluk saja sudah sulit bukan main, apa pula mencintai Allah yang Maha Melampaui Segala.
Perilaku sedemikian itu serupa belaka dengan tong kosong nyaring bunyinya. Dalam pepatah Sunda, kecenderungan tersebut boleh lah disebut dengan … teang tapak heulang di awang-awang… teang tapak meri (itik) dina leuwi… jeung teang tapak sireum (semut) dina batu…” Mencari jejak elang di udara… Mencari jejak itik di sungai… Mencari jejak semut di atas batu…
Menurut Syaikhul Akbar Muhyidin Ibnu ‘Arabi, “Mustahil bagi manusia yang serba terbatas untuk mencintai Allah yang Maha Tak Berbatas.” Sebab dalam perkara cinta-mencintai, kita ini membutuhkan objek & subjek. Tanpa keduanya, nihil belaka. Tak satu pun manusia di dunia mau dan bisa mencintai seseorang yang tak jelas rimbanya. Namun jangan khawatir, tak ada yang musykil dalam rumus Allah. Kendati kita takkan sanggup mencintai-Nya, tapi Allah akan selalu mencintai makhluk-Nya yang terpilih. Itu saja.
Sebagaimana yang telah dituturkan Gus Dur di bagian atas tulisan ini, kami sertakan juga sebuah hadis yang dalam khazanah tasawuf, lazim ditelaah. Begini bunyinya:
“Tiada seorang hamba pun yang sudah mengucapkan la ilaha illallah kemudian ia wafat kecuali orang tersebut masuk Surga.” (HR. Bukhari dan Muslim/muttafaq ‘alaih)
Berkaitan dengan hadis ini, ketika itu Rasulullah ditanya oleh para sahabat, “Ya Rasulullah, apakah ia akan tetap masuk Surga walaupun telah berbuat zina atau pun mencuri?”
Rasulullah menjawab, “Ya, meskipun ia berzina dan mencuri”.
Kemudian ditanya lagi oleh para sahabat dengan pertanyaan yang sama, lalu dijawab Rasulullah dengan jawaban yang sama pula, bahkan terulang hingga tiga kali.
Dalam hadis semisal, juga terdapat matan yang nyaris sama tapi dengan sedikit tambahan:
“Tiada satu orang pun yang bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah yang ucapan itu sungguh betul keluar dari qalbunya yang suci, kecuali Allah mengharamkan orang tersebut masuk neraka. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini disampaikan Rasulullah Saw ketika mengadakan perjalanan ke luar kota bersama Mu’adz bin Jabbal Ra. Lalu dengan penuh semangat Mu’adz berkata pada Beliau, “Ya Rasulullah, apakah boleh berita ini kusampaikan kepada semua orang, supaya mereka berbahagia?”
Rasulullah pun mengatakan, “Kalau begitu, Mu’adz, nanti orang-orang akan meremehkan agama.”
Maka sejak itu, Mu’adz tidak berani menyampaikan hadis tersebut, sampai ia memasuki usia tua. Ketika rambutnya sudah memutih beruban, tulangnya merapuh, pandangan matanya kabur merabuk, ia khawatir termasuk golongan orang yang menyembunyikan hadis. Karena itulah, ia menyampaikan hadis ini kepada orang-orang yang bisa memegang amanah.
Hadis ini terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Riyadush Shalihin, dan juga al-Lu’lu’ wal Marjan. Maka benarlah kiranya jika sebenarnya Islam itu mudah dan tidak memberatkan. Islam mestinya menjadi jalan hidup—bahkan kehidupan itu sendiri, dan hidup adalah kehidupan yang menjadi agama. Keduanya tergantung bagaimana saudara memulai lantas meresapinya.
Acuan utama tulisan ini adalah Islam sebagai agama, sejatinya tak muluk-muluk. Sangat mudah diterima akal. Dinalar, bahkan oleh bocah yang belum lagi akil balig. Menjadi relijius bukan berarti kita harus kehilangan rasa belas kasih. Hidup yang Islami jangan pula memisahkan diri kita dari kemanusiaan.
Semua manusia cenderung menyenangi kebaikan & keindahan. Dari situlah benih kasih-sayang bertumbuh kembang bersama cinta. Maka beragama yang baik, berislam yang dakik, mestinya dilandasi, dilambari, juga menyelubungi manusia dengan cinta seluas semesta.
Saya haqqul yaqin bahwa Gus Dur memang manusia pilihan Tuhan yang hanya dilahirkan seratus tahun sekali. Setiap zaman ada masanya. Setiap masa ada waktunya. Di antara zaman dan waktu itu, ada sosok manusia tertentu yang tampil sebagai pengampu. Duh, Gus Dur, betapa tanpamu, kini bangsa Indonesia jadi bertambah repot selalu. []
Ren Muhammad, 26 September 1440 H