Pada akhir abad dua puluh, di puncak Gunung Gde. Bersama salah seorang kawan SMA, kami duduk dalam ngungun. Menatap jauh ke cakrawala barat. Nun di bawah, alam baru saja membuka “kerudung” hijaunya. Keindahan hakiki yang ia sembunyikan pun, tersingkap. Momen ini sejalin kelindan dengan malam pertama pernikahan.
Bila Anda ingin mencoba, mudah caranya. Datanglah ke pegunungan dengan niat dan itikad baik. Maka gunung serta koleganya akan secepat mungkin menyambut Anda secara hangat, santun, lagi berbudi.
Kembali ke puncak Gde. Karib kami yang budiman itu lantas berkisah, sambil mengapit kedua dengkulnya dengan dua tangan yang ditangkupkan. Tatapan matanya lurus ke depan. Dari mulutnya meluncur kalimat yang kiranya berbunyi begini:
“Dari perkampungan manusia di bawah sana, aku melihat doa-doa beterbangan menuju langit. Tapi sedikit saja yang berhasil menembus pintunya. Sementara yang lain terus mengawang tak tentu arah.”
Laporan pandangan mata itu ia sampaikan sambil menggerakkan tangan ke segala arah. Seperti menggaris vertikal secara imajiner. Kami yang mendengarkan hanya bisa melongo saja. Mungkin jika dicarikan citra imajinya, persis seperti saluran sibernetik dunia kita hari ini—yang menerbangkan rangkaian data dijital dalam rambatan gelombang elektromagnetik.
Rekaman ingatan kami itu ternyata menemu salurannya dalam riwayat lain, yang berkenaan dengan Syekh Nawawi al-Bantani.
Paruh akhir abad-19, jazirah Arabia dilanda kekeringan teramat panjang. Demi mengatasi masalah ini, Raja Hijaz mengumpulkan dan membawa para ulama Makkah dan Madinah. Mereka diminta memanjatkan doa kepada Allah, di areal Ka’bah, agar hujan segera diturunkan.
Setelah semua sarjana dan para ulama berdoa, ndilalah hujan tidak turun juga. Sebaliknya, Hijaz malah menjadi lebih panas selama beberapa bulan. Penduduk di negeri itu pun kian susah hatinya.
Dibekap kekalutan, Raja Hijaz seketika teringat akan seorang sarjana yang belum diundang untuk berdoa. Kemudian ia menitahkan dawuh pada bawahannya untuk memanggil sarjana tersebut. Sosok yang dimaksud berperawakan mungil. Kulitnya sawo matang. Segenap penduduk Makkah mengenalnya dengan nama Syekh Nawawi bin Umar Tanara al-Bantani al-Jawi. Seorang alim yang telah memiliki karya lebih dari 40 judul. Semua berbahasa Arab yang fasih.
Ulama asal Dusun Tanara, Tirtayasa, Banten tersebut, lantas berangkat berdoa meminta hujan kepada Allah SWT di hadapan Kakbah. Ada yang janggal. Kendati Syekh Nawawi mampu berbahasa Arab dengan fasih, ia malah berdoa meminta hujan dengan menggunakan bahasa Jawa.
“Ya Allah, sampun dangu mboten jawah. Kawulo nyuwun jawah.”
Segenap ulama Makkah dan Madinah yang berdiri di belakangnya pun, lantas menengadahkan tangan sembari berkata, “Amin…”
Seketika itu juga mendung datang dan kemudian hujan turun begitu deras. Semua orang yang menyaksikan kejadian tersebut sontak heran. Ada segelintir orang bertanya, bahasa apa yang telah digunakan Syekh Nawawi berdoa, karena mereka tidak pernah mendengar bahasa itu. Sedangkan sebelumnya para ulama dan sarjana Hijaz telah berdoa menggunakan bahasa Arab nan fasih, namun tidak mujarab.
Terkait doa berbahasa Jawa yang dipanjatkan Syekh Nawawi, KH. Idris Marzuki Lirboyo pernah ngendiko;
“Kowe ki nek nompo dungo-dungo Jowo seko kiai, sing mantep. Kae kiai-kiai ora ngarang dewe. Kiai-kiai kae nompo dungo-dungo Jowo seko wali-wali zaman mbiyen. Wali ora ngarang dewe kok. Wali nompo ijazah dungo Jowo seko Nabi Khidlir—yen ketemu wali Jowo ngijazahi dungo nganggo boso Jowo. Ketemu wali Meduro nganggo boso Meduro.”
“Kamu jika mendapat doa-doa Jawa dari kiai, yang mantap. Para kiai itu tidak mengarang sendiri. Mereka mendapat doa Jawa dari wali-wali zaman dahulu. Wali itu mendapat ijazah doa dari Nabi Khidlir—yang jika bertemu wali Jawa memberi ijazah doa memakai bahasa Jawa. Jika bertemu wali Madura menggunakan bahasa Madura.”
Lalu pelajaran apa yang bisa kita petik?
Benarkah penentu doa yang mujarab adalah kualitas individu seseorang dengan bahasa apa pun yang ia gunakan? Sementara betapa banyak manusia bromocorah yang juga berdoa pada Tuhan, dan ternyata dikabulkan. Salah seorang karib kami, contohnya. Ia bahkan tak tahu menahu dengan Islam, tapi tetap mau beragama ala kadarnya. Ia teramat sangat percaya tuhan adalah pemilik segalanya.
Apakah mungkin doa apa pun yang dipanjatkan anak-anak manusia, sudah termaktub sebelumnya dalam Lauhul Mahfudz?
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia saja, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang Nyata (Lauh Mahfudz).” (QS al An’am [5]: 59)
Tunggu dulu. Ada pula ayat yang berbunyi;
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ
“Dan Tuhanmu berfirman, ‘”Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.'” (QS al Mu’min [40]: 60)
Masih ada satu lagi ayat yang bisa kita telaah:
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ ۖ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya lah terdapat Indung Kitab/Lauh l-Mahfudz.” (QS ar Ra’d [13]: 39)
Sampai di sini, paling tidak kita bisa menyusun pemahaman yang adekuat—betapa perkara ini sejatinya masuk dalam ranah misteri Ilahi yang musykil dipecahkan. Tuhan adalah pencipta-pengatur rancangan terbaik yang diselubungi lapisan rahasia berlapis makna. Satu selubung yang berhasil kita singkap, bukanlah jawaban dari apa yang kita pikirkan. Bukan yang sebagaimana mestinya.
Einstein saja perlu berspekulasi hampir sepanjang hayatnya, demi membongkar kegaiban waktu yang melengkung dalam ruang. Itu pun masih sebatas kulit luar. Kita berdoa maupun tak, Tuhan tetap Mahakaya. Takkan pernah mengalami kekurangan kendati terus memberi. Berbanding terbalik dengan kita yang tak jemu meminta, dan sedikit sekali memberi. Aduh deh…
Maka itulah, supaya terhindar dari kecenderungan sok tahu dan mendahului Ilmu Tuhan, ada baiknya kita menahan diri dari sikap gegabah, dan tetap setia pada jalur temuan kebijaksanaan hidup—sebagaimana yang telah diwasiatkan Baginda Nabi Muhammad Saw:
“Pencarian hikmah adalah kewajibanmu dan sesungguhnya kebaikan itu berada dalam hikmah.”
Sebagai salah seorang anggota keluarga langit yang beranak pinak di bumi, menjadi wajar bila kita digelayuti kegandrungan pada segala hal adikodrati yang seakan sulit dicerna, namun kian menumbuhkan rasa penasaran tiada bertepi—di sini. Tak ayal, Kanjeng Nabi Muhammad Saw pernah menyitir doa semacam nih; “Duhai Tuhan, anugerahkanlah patik, hakikat dari segala sesuatu.” (ATK)
Banten, 8 Mei 2019