Sedang Membaca
Bongal: Kepingan yang Sempat Hilang dari Kronik Islam di Nusantara
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Bongal: Kepingan yang Sempat Hilang dari Kronik Islam di Nusantara

balai arkeologi sumut

Pada medio 2022, tim Balai Arkeologi Sumatera Utara menancapkan tenda-tenda kecil di sebuah kampung sunyi di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Situs Bongal, nama yang sebelumnya hanya dikenal oleh warga sekitar sebagai kebun kelapa dan rawa bekas sungai mati, mulai dibuka lapis demi lapis. Namun bukan emas atau keris yang mereka cari, melainkan fragmen sejarah yang selama ini tersembunyi di antara akar-akar pohon dan batu nisan tua yang nyaris tak terbaca.

Mereka menemukan pecahan keramik—beberapa berglasir hijau zamrud, lainnya bertatah pola khas Persia. Keramik itu bukan milik rakyat lokal. Ia datang dari ufuk Barat, menumpang kapal dagang dari Basra, Shiraz, atau Gujarat. Ini bukan sekadar barang pecah belah. Melainkan saksi bisu dari dunia yang pernah terhubung jauh sebelum bangsa-bangsa mengenal kata globalisasi.

Bongal ternyata bukan titik pinggir, melainkan simpul. Pada abad ke-10 hingga ke-13 Masehi, pesisir barat Sumatera adalah jalur laut yang ramai dilayari para saudagar Muslim. Bongal menjadi dermaga persinggahan, tempat perahu kayu berbendera asing menurunkan rempah, kain, dan juga firman Tuhan. Islam datang tidak lewat pasukan atau kerajaan besar. Ia hadir dalam bentuk perdagangan, hubungan antarmanusia, dan liang lahat.

Di salah satu sudut penggalian, ditemukan nisan batu dengan inskripsi Arab yang samar. Gaya ukirannya khas Gujarat, mengisyaratkan hubungan erat antara Sumatera dan pesisir barat India. Nisan itu bukan saja penanda makam, tapi juga penanda zaman. Islam telah hadir, berbaur, dan bertumbuh di Bongal sebelum nama-nama besar seperti Samudera Pasai naik ke panggung sejarah.

Hal yang menakjubkan adalah kesadaran bahwa para pelaut itu tidak sekadar singgah. Beberapa di antara mereka memilih mati di sini. Mereka bukan penakluk, tetapi penyemai. Mereka tidak memaksakan, mereka menawarkan. Islam yang datang melalui laut adalah Islam yang lentur, sarat dialog, dan memahami bahwa keyakinan bukanlah barang dagangan, melainkan gema dari rangkaian pertemuan kecil yang tulus.

Kini, Bongal nyaris tak dikenal. Tapi justru dalam ketidakterkenalannya, ia menyimpan pelajaran penting. Sejarah besar memang seringkali tidak berawal dari pusat kekuasaan, melainkan dari dermaga sepi, dari kuburan tak bernama, dari sepotong pecahan tembikar yang sabar menunggu disentuh ulang oleh manusia yang ingin mengingat.

Bongal mengajarkan bahwa laut bukan saja pembatas, tapi pemersatu. Perjalanan Islam di Nusantara tak melulu soal kerajaan dan politik, tapi juga soal manusia biasa yang memikul iman di pundaknya dan menjatuhkannya perlahan ke bumi asing—yang kemudian mereka sebut rumah.

Baca juga:  Ziarah ke Yerusalem: Tertahan di Pintu Al Quds

Bongal dan Pecahnya Peta Lama

Selama puluhan tahun, pelajar di sekolah-sekolah Indonesia mengenal tiga jalur masuknya Islam: teori Gujarat, teori Arab, dan teori Persia. Di dalamnya, ada asumsi besar bahwa Islam hadir lewat para raja, kerajaan besar, dan pusat-pusat dagang di pesisir timur Sumatera dan Jawa. Aceh, Samudera Pasai, dan Demak mendapat porsi utama. Nama-nama seperti Barus atau Lamuri tercatat, namun lebih sebagai bayangan pinggiran daripada titik sentral.

Namun Bongal datang membawa gangguan. Temuan dari tahun 2022 dan 2023 ini membuat peta itu retak-retak. Bongal bukan di timur, melainkan di barat Sumatera. Ia tak dikenal sebagai pusat kerajaan, tapi sebagai pelabuhan kecil yang sepi dari naskah kuno. Tapi dari tanahnya, muncul jejak-jejak dunia Islam yang sudah mapan sejak abad ke-10. Pecahan keramik Persia, nisan bergaya Gujarat, dan lapisan budaya yang menunjukkan aktivitas perdagangan intensif, menunjukkan bahwa proses Islamisasi berlangsung lebih awal dan lebih horizontal.

Jika teori Gujarat mengatakan Islam datang ke Indonesia sekitar abad ke-13 melalui pelabuhan-pelabuhan timur Sumatera dan berkembang lewat kerajaan-kerajaan besar, maka Bongal menunjukkan bahwa proses itu mungkin sudah dimulai jauh sebelumnya, lewat pantai barat, langsung dari Samudera Hindia.

Bongal memulihkan kembali teori Arab dan Persia yang kerap diabaikan: bahwa saudagar dari Timur Tengah dan wilayah Syiah di Iran sejak abad ke-8 hingga ke-10 sudah menjadikan pesisir barat Sumatera sebagai titik singgah. Bukan tidak mungkin, komunitas-komunitas Muslim kecil telah terbentuk di Bongal jauh sebelum Samudera Pasai berdiri, dan merekalah yang perlahan mengakar di tanah, menikah dengan penduduk lokal, membangun surau kayu, dan menatahkan surah Al-Fatihah di batu nisan dengan tangan gemetar.

Teori Persia atau Arab yang selama ini dicurigai karena kurang bukti arkeologis, kini mendapat pembelaan dari tanah Bongal. Ia menjadi mosaik yang menantang narasi lama bahwa penyebaran Islam ke Nusantara adalah proses politik yang dipimpin elite. Bongal menunjukkan bahwa Islam bisa masuk lewat pasar, pelabuhan kecil, dan liang lahat—bukan semata lewat mahkota.

Di situlah letak keindahan Islam Nusantara: ia bukan hanya agama raja, tapi juga agama nelayan, penjual rempah, dan pelaut yang memilih mati jauh dari kampung halamannya.

Baca juga:  Perbincangan dengan Andree Feillard: Islam yang Berubah

Pelabuhan yang Meramaikan Dunia Islam

Jika kau berdiri hari ini di Bongal, tak banyak yang bisa dilihat. Sebidang tanah, sunyi, diapit bukit dan sungai yang tak lagi deras. Tapi dari keheningan itu, sejarah perlahan berbicara. Tak lewat suara, melainkan serpihan benda—keramik Persia, manik-manik India, nisan-nisan tua dengan aksara Arab yang menyusut dimakan cuaca. Mereka bicara, bukan hanya tentang kedatangan Islam, tapi juga tentang sesuatu yang lebih luas: bagaimana dunia dahulu terhubung oleh lautan, dan bagaimana manusia biasa jadi simpul-simpul kecil dari peta besar sejarah.

Situs Bongal menyodorkan bukti betapa jauh sebelum Malaka jadi pusat dunia, di tempat terpencil ini pernah berdiri perkampungan yang ramai oleh lalu lalang silang budaya. Ada fragmen keramik Cina Dinasti Song, manik-manik India Selatan, dan nisan bergaya Persia. Barang-barang ini tak bisa berjalan sendiri. Mereka dibawa oleh tangan-tangan asing yang pernah menetap, menikah, atau sekadar meninggalkan jejak.

Inilah wajah Nusantara yang lama tersembunyi: wajah multikultural yang tak hanya menerima, tapi juga meramu. Islam datang bukan sebagai satu warna, melainkan sebagai pelangi. Di Bongal, tidak penting apakah kau Syiah, Sunni, pedagang Hindu, atau penganut kepercayaan lokal—yang penting kau bisa hidup dan berdagang berdampingan. Tenggang rasa, jelas lebih tua tinimbang naskah undang-undang Indonesia kita.

Arkeologi bukan sekadar mencari artefak; ia juga membaca lanskap. Bongal pernah berada di tepi sungai besar yang kini mengering. Dari situ, para arkeolog menemukan sisa-sisa kulit kerang, abu pembakaran, bahkan kemungkinan fondasi dermaga sederhana. Semua ini menandakan bahwa Bongal bukan pelabuhan besar, tapi titik singgah penting. Tempat di mana kapal-kapal kecil bersandar, menukar rempah dengan kain, atau menurunkan saudagar yang sakit dan tak bisa melanjutkan perjalanan.

Ini memberi kita satu pelajaran ekologis: bahwa sejarah tak hanya ditentukan oleh manusia, tapi juga oleh sungai yang berubah aliran, hutan yang membuka jalan, dan bukit yang memberi teduh. Bongal adalah contoh bagaimana peradaban tumbuh bukan di pusat, tapi di lekukan-lekukan kecil yang sabar menunggu giliran dicatat sejarah.

Selama ini kita mengira jaringan dagang Samudra Hindia hanya mencakup Arab–India–Aceh. Tapi temuan dari Bongal menunjukkan bahwa ada cabang lain, lebih ke selatan, lebih sunyi, tapi tak kalah penting. Bongal bisa saja menjadi bagian dari jalur “belakang layar” yang menghubungkan Gujarat, pantai barat Sumatera, hingga ke pesisir Kalimantan dan Jawa periode awal Islam.

Baca juga:  Al Aqsa, Masjid Para Malaikat

Ini membuka kemungkinan bahwa sejarah perdagangan maritim Nusantara lebih rumit dari yang kita kira. Tidak semua kekuatan dagang muncul dari kerajaan yang mapan, melainkan juga dari komunitas-komunitas kecil yang saling menghubungkan. Bongal, dalam peta ini, adalah jembatan kecil antara dua dunia besar.

Sisa arang, fondasi tiang kayu, dan struktur tanah memperlihatkan adanya pemukiman tetap. Ini artinya: Bongal bukan sekadar tempat singgah. Ia ditinggali. Ia dibangun—dan yang paling menarik: orientasi beberapa sisa bangunan mengarah ke barat laut—arah Makkah.

Tanda ini penting. Ia menunjukkan bahwa Islam di Bongal bukan hanya lewat batu nisan. Ia sudah menjadi bagian dari tata ruang dan arsitektur. Rumah-rumah menghadap kiblat. Mungkin di tengahnya ada surau kecil, tempat di mana azan pertama dikumandangkan di tanah Mandailing, bahkan sebelum para raja mengenal khutbah Jumat.

Jika satu atau dua nisan kuno itu milik tokoh yang dihormati, maka sangat mungkin Bongal dulunya adalah tempat ziarah. Di situlah muncul ingatan lokal tentang “orang luar yang mati di sini untuk Tuhan.” Kisah-kisah seperti ini tak tertulis dalam narasi sejarah, tapi hidup dalam dongeng, dalam pohon yang tidak boleh ditebang, atau dalam sungai yang katanya tak boleh dipancing.

Bongal mengajarkan bahwa Islam datang bukan dengan meruntuhkan keyakinan lama, tapi menyatu dengan narasi-narasi spiritual yang telah ada. Ia tidak memadamkan tradisi, tapi menambahkannya satu lapis cahaya. Mungkin karena itulah, Islam bisa tumbuh subur di Nusantara: karena ia mengerti cara menghormati roh-roh yang lebih dulu menetap di sini.

Bongal bukan saja situs arkeologi; ia adalah cermin retak yang merefleksikan ulang cara kita memahami sejarah Nusantara. Ia membisikkan bahwa peradaban tidak selalu lahir di pusat, tapi seringkali dari tepian. Islam datang bukan sebagai gemuruh, tapi selaik Angin Muson Barat yang basah menyentuh tanah, mengakar, dan menyuburkan. Riwayat yang terlupakan pada masa lampau, bisa jadi adalah penentu arah masa depan bila kita bersedia mendengar lagi suaranya. []

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top