Seribu tiga ratus delapan puluh tujuh tahun lampau, terjadilah sebuah maha-keajaiban yang belum pernah ada padanannya, dan takkan lagi terulang kali kedua.
Alkisah, pada 622 M, Muhammad bin Abdullah yang yatim piatu, ditinggal wafat pamanda, Abu Thalib, dan istri tercinta, Khadijah binti Khuwailid. Masih belum cukup. Sang Nabi terakhir ini, bersama anak angkatnya, Zaid ibn Haritsah, diusir dan dibalangi batu oleh penduduk Thaif sehingga sekujur tubuh mereka berlumuran darah. Duka lara ini kemudian berbuah teramat manis.
Setiba di tanah kelahiran, Makkah, Allah menghadiahi Muhammad Sang Hamba, perjalanan agung dalam dan bersama Cahaya, dari Masjidilharam (Makkah) ke Masjid Alaqsa (Palestina), lantas munggah ke Langit Tertinggi (Sidratul Muntaha).
Kejadian ini, yang dinamai sebagai Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw, bertitimangsa 27 Rajab tahun ke-12 dari masa kenabian Baginda. Ketika Nabi masih berumur 52—setahun sebelum Hijrah dari Makkah ke Madinah. Alquran mencatatnya dalam;
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada satu malam dari Masjid l-Haram ke Masjid l-Aqsha, yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya (Muhammad) sebagian dari tanda² (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (QS al-Isra’ [17]: 1)
Sepulang dari Mikraj itulah Nabi Saw didawuhi Gusti Allah salat 50 waktu. Lima di antaranya dilakoni saban hari. Padahal ini semacam acuan dalam Sunnah. Tapi kenapa sedikit sekali muslim yang mau menelaahnya. Kenapa pula beliau baru diperintahkan salat pada usia ke-52? Ada rahasia apa dibalik itu… Teka-teki lain yang harus dipecahkan adalah, Baginda Muhammad Saw malah diberangkatkan sebagai hamba (bi’abdihi). Bukan sebagai nabi dan rasul.
Lantas apa pertautan antara judul tulisan kami dengan Isra’ Mikraj? Begini, Kisanak…
Kala itu, Masjid Nabi (Nabawi) masih berupa lapangan yang dilingkari tembok. Beralaskan tanah berpasir, beratapkan pelepah kurma. Dindingnya dilumuri adonan lumpur. Teramat sangat sederhana untuk ukuran sebuah sarana beribadah. Di tengah masjid, sekarang ada dua ruang dengan atap seperti payung yang bisa dibuka.
Dahulu pada zaman Nabi, di tempat tersebut berdiri tegak sebatang pohon kurma yang telah ditebang. Bila Nabi berbicara di hadapan para Sahabat yang memenuhi masjidnya, Beliau berdiri di bagian masjid paling depan, bersandar pada batang pohon kurma itu—di sebelah kanan yang sekarang kita kenal sebagai Mihrab Nabi.
Pada tahun ke-7 dan ke-8 Hijriyah, ketika kaum muslim mulai membludak dan memadati Masjid Nabawi, beberapa Sahabat antara lain Sa’d ibn Ubadah dan Tamim al-Dari mengusulkan agar dibuat tempat khusus bagi Nabi berdiri sehingga kelihatan sampai barisan jamaah paling belakang. Maklumlah, saat itu belum ada pelantang suara dan atau televisi layar datar yang lazim digunakan untuk menampilkan wajah para khatib atau penda’i yang sedang ceramah di masjid zaman kiwari.
Maka pada tahun itu pula beliau mengirim utusan kepada seorang perempuan untuk menyampaikan pesan, “Suruhlah budak Najjarmu membuatkanku penyangga tempat duduk kala berbicara kepada khalayak banyak.”
Titah Nabi disambut penuh semangat oleh si Najjar. Dibuatlah sebuah mimbar dari pohon tamaris ghabah. Setelah rampung, Nabi menunjuk tempat yang pas guna meletakkannya. Mimbar ini berundak tiga, dan Nabi sering duduk di undakan teratas. Itulah dasar kenapa mimbar-mimbar masjid kita berbentuk seperti sekarang.
Pada suatu Jumat, setelah mimbar dibuat, beliau yang mulia keluar dari pintu kamarnya. Lantas berjalan menuju mimbar, melewati pohon kurma itu. Ketika Beliau menaiki mimbar hendak berkhutbah, seketika para Sahabat mendengar rintihan yang sangat memelas, dan berubah tangis.
Tangisan itu mengguncangkan tanah yang menjadi alas Nabawi. Debu-debu dari tembok pun berjatuhan. Suara tangisan itu makin lama kian keras. Para Sahabat tak ayal ikut menangis, hanyut dalam tangisan misterius yang menggiris hati—sambil tidak tahu dari mana sumber tangisan tersebut.
Nabi turun kembali dari mimbarnya. Lalu mendekati sumber suara, meletakkan tangannya yang mulia pada batang kurma yang malang. Mengusap, dan kemudian memeluknya. Perlahan, suara tangisan itu mereda dan akhirnya tenang kembali.
Sebentar kemudian terjadilah percakapan hangat antara batang kurma dan Kanjeng Nabi Saw.
“Kenapa engkau menangis?”
“Daku nelangsa kerana tak lagi Baginda gunakan bersandar manakala berkhutbah…”
Seulas senyum merekah di bibir Sang Nabi.
“Berkenankah engkau kupindahkan ke kebunmu semula, berbuah, dan memberikan makanan kepada kaum mukmin, atau aku pindahkan engkau ke surga? Setiap sulur akarmu minum dari minuman surga, lalu para penghuni surga menikmati buah kurmamu?”
Sambil sesunggukan, rupanya batang pohon kurma itu memilih yang kedua, lantaran Nabi Saw bersabda, “Af’al insyaAllah! Af’al insyaAllah! Af’al insyaAllah!” Kemudian Nabi bersabda lagi, “Demi Allah, yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau tidak aku tenangkan batang kurma itu, ia akan terus merintih sampai hari kiamat—ikhwal kerinduannya kepadaku.”
Ternyata, tak hanya manusia saja yang memiliki perasaan dan bisa bersedih. Sebatang pohon kurma yang telah ditebang pun juga bisa melakukannya. Bahkan tinimbang kami yang faqir ini, ia jauh lebih mulia derajatnya di hadapan Nabi Saw dan Allah. Kami hanya mendaku diri sebagai muslim, namun pada junjungan sendiri tak kenal sama sekali. Sekadar mengikuti Sunnah dan ajarannya pun, tak. Malang nian nasib kami ini rupanya.
Baru menjadi muslim saja sudah pongah. Sombong bukan kepalang. Macam mana mau jadi mukmin, muhsin, mukhlisin, insan kamil, apalagi hamba sahaya? Akhir kalam, kapan terakhir kita menangis untuk Kanjeng Nabi Muhammad Saw? Kapan pula kita menangisi kedhaifan diri yang hina-dina ini?
Isra Mikraj mengajarkan pada kita sebuah derajat tertinggi kemanusiaan di hadapan Allah. Derajat yang anehnya di mata manusia sedemikian jelata. Proyek besar percontohan ini adalah panduan utama bagi kita yang telah berangkat dari titik awal kehidupan, menuju akhir—yang uniknya: sama. Sebab sejatinya kita tidak sedang menjauh dari poros-Nya. Kita hanya sedang menyusuri jalan pulang, yang seolah-olah kepergian. Duh, Gusti, ampun berdaun-daun… []
Ren, 2 April 1941 Çaka