Sedang Membaca
Adzan Terakhir di Madinah
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Adzan Terakhir di Madinah

Nabi Muhammad shallaallahu ‘alaihi wa sallama berbisik ke telinga Fathimah Ra, “Akan tiba kita di suatu masa, kita akan bersua di sana. Akan tiba kita di suatu masa, kita akan bersua di sana.”

Ar-Rafiqul ‘A’la. Ar-Rafiqul ‘A’la. Ar-Rafiqul ‘A’la.”

Mendengar lirih ucapan ayahandanya yang mulia itu, air mata Fatimah meleleh. Wajahnya seketika muram. Ia sadar, hari itu, 8 Juni 633 M, adalah saat terakhir ayahnya hidup di dunia. Sambil memangku kepala sang ayah, Fatimah membelai lembut rambut Nabi Saw. Belaian terindah yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.

Tak lama setelah itu, napas terakhir Nabi Saw pun berhembus. Fatimah, Ali karamallahu wajhahu dan seisi rumah Nabi Saw, tertunduk pilu. Mereka baru saja melepas kepergian manusia terindah sejagat raya, kembali ke Rumah Asalnya, ke hadirat Allah.

Berita kemangkatan Nabi Saw itu segera meluas ke seantero jazirah. Para Sahabat berdatangan takziah. Seluruh warga Madinah berduka. Di setiap sudut kota, kaum Muslim menangis tersedu sedan.

Sampai hari ketiga, suasana lara masih memayungi Madinah—bahkan alam semesta. Jasad manusia paling dicintai Allah itu, masih terbaring. Menanti ucapan perpisahan umatnya. Memberi kesempatan siapa pun yang mau melihatnya terakhir kali.

Setelah Abu Bakar Siddiq Ra terpilih secara aklamasi menggantikan posisi Nabi Saw—selaku khalifah, para Sahabat utama akhirnya sepakat mengebumikan jenazah Nabi Saw di Masjid Nabawi. Pada hari yang bermuram durja itu, ada sekira 30-an ribu Muslim yang turut menshalatkan jenazah Nabi Saw dan mengantarkan beliau ke pusaranya.

Baca juga:  Mengenang Kiai Yamin Muallim; Ahli Retorika dari Bilik Pesantren

Ketika jasad Nabi Saw dibaringkan di liang lahat, Al-Mughirah berkata.

“Di kaki Nabi ada sesuatu yang belum dibenahi.”

Sahabat lain berkata, “Masuklah kamu ke liang lahat, lalu perbaiki.”

Al-Mughirah lalu turun ke liang lahat, memasukkan tangannya dan memegang kedua kaki Nabi Saw.

“Ambilkan tanah,” seru Mughirah.

Para sahabat mengambilkan tanah hingga sampai separuh betisnya.

Kemudian Al-Mughirah keluar dan berkata.

”Akulah yang baru saja (terakhir) berjumpa dengan Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallama.” (HR. Ahmad)

***

Semenjak Rasulullah Saw wafat, Bilal Ra menyatakan bahwa ia takkan mengumandangkan adzan lagi. Ketika Khalifah Abu Bakar memintanya menjadi muadzin kembali, dengan hati ricih nan sendu Bilal berkata,

“Biarkan aku hanya menjadi muadzin Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.”

Abu Bakar pun tak bisa mendesak Bilal agar berkenan mengumandangkan adzan. Kesedihan sebab ditinggal wafat Rasulullah Saw terus mengendap di hati Bilal. Kesedihan itu pula yang mendorongnya meninggalkan Madinah. Lalu ia ikut pasukan Fathul Islam (Pembebasan Islam) menuju Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria (kini Suriah). Setelah sekian lama Bilal tak mengunjungi Madinah, pada suatu malam, Rasulullah hadir dalam mimpinya.

“Ya Bilal, wa maa hadzal jafa? (Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku? Mengapa sampai seperti ini?”)

Bilal pun bangun terperanjat. Tanpa berpikir panjang, ia segera mempersiapkan perjalanan ke Madinah, demi menziarahi makam Rasulullah Saw. Setiba di Raudhah, Bilal menangis sepuasnya dan melepas rasa rindunya pada Rasulullah, pada Sang Kekasih.

Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak dewasa, mendekatinya. Mereka adalah cucu Rasulullah, Hasan dan Husein. Dengan mata sembab karena tangis, Bilal yang kian beranjak tua, memeluk kedua cucu Rasulullah tersebut. Lalu Husein berkata kepada Bilal.

Baca juga:  Dari Musthafa Shadiq Rafi’i untuk Ibuku

“Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami ingin mengenang kakek.”

Saat bersamaan, Umar bin Khattab yang telah menjabat Khalifah, juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu, dan ia pun memohon Bilal agar mau mengumandangkan adzan lagi, meski sekali saja. Setelah menimbang sekian jenak, akhirnya Bilal pun memenuhi permintaan mereka.

Manakala waktu salat tiba, Bilal pun naik ke tempat dahulu ia biasa mengumandangkan adzan semasa Rasulullah masih hidup. Saat lafadz Allahu Akbar dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap. Segala kegiatan terhenti. Semua orang terkejut. Suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan agung, suara yang begitu dirindukan itu, telah kembali.

Ketika Bilal mengumandangkan lafadz Asyhadu an laa ilaha illallah, seluruh warga Madinah berlarian ke arah suara itu, sambil berteriak histeris. Bahkan para gadis dalam pingitan pun menghambur keluar. Sewaktu Bilal hendak mengumandangkan Asyhadu anna…, Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan. Bilal tak sanggup melanjutkan adzannya dengan lantunan Muhammadan Rasulullah.

Mereka semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Rasulullah. Umar bin Khattab lah yang paling keras tangisnya. Di atas menara Nabawi, Bilal tak sanggup meneruskan adzan. Lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai.

Hari itu seantero Madinah mengenang masa saat Rasulullah masih ada di antara mereka. Itulah adzan pertama dan terakhir bagi Bilal setelah Rasulullah Saw wafat. Adzan yang tak bisa dirampungkan. Rasa cinta mendalam dan kehilangan teramat sangat pada kekasih tercinta, membuat Bilal dan generasi pertama Islam di kota Nabi itu, hanyut dalam haru-biru tak terperi. Semoga Allah merahmati mereka selalu. Kepada Baginda Rasulullah Muhammad Saw, mari kita hadiahkan bacaan surah al-Fatihah… []

Baca juga:  Jelang 100 Tahun Saifuddin Zuhri: Berdakwah dan Berpolitik

Banjarmasin, 26 November 1927 Saka

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top