Sedang Membaca
Ulama Banjar (95): H. Syarkawi Berahim
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Ulama Banjar (95): H. Syarkawi Berahim

H. Syarkawi Berahim

(L. 21 April 1929 – W. 1987)

Syarkawi kecil terlahir di desa Paringin Hilir dari keluarga petani pada tanggal 21 April 1929 M bertepatan dengan 12 Dzulkaidah 1347 H, dan satu-satunya anak laki-laki dari lima orang bersaudara. Ayahnya bernama Berahim seorang pembuat gula aren/gula merah (menyadap laang). Ibunya bernama Fatimah seorang petani ladang, bersawah yang hasilnya dibawa ke pasar Sanayan yang merupakan hari pasar untuk kota Paringin seminggu sekali. Bisa dibayangkan kehidupan masa kecil Syarkawi termasuk keluarga miskin, sebagaimana umumnya mereka yang tinggal di pedesaan.

Oleh kedua orang tuanya Syarkawi disekolahkan pada Sekolah Rakyat (SR) dan sore harinya belajar mengaji. Setamatnya dari Sekolah Rakyat ini dikirim ke Normal islam Amuntai, yang saat ini dikenal sebagai Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah). Selain giat dan tekun belajar, Syarkawi juga suka mengikuti kegiatan ekstra di sekolah dan beliau memilih aktif di kegiatan kepanduan atau pramuka. Guru-guru tempat menimba ilmu pengetahuan agama maupun dalam belajar kepribadian cukup banyak, dan mereka merupakan tokoh sentral atau ulama sepuh yang berpengaruh pada masa itu, di antaranya adalah:

  • Idham Chalid.
  • Tuan Guru H. Abdul Wahab Sya’rani.
  • Abdul Muthalib Muhjiddin.
  • Muallim H. Napiah.
  • Abdul Rasyid Nasar.
  • Abdul Gani majedi.
  • Nawawi.
  • Thahir Chalid.

Sebagai seorang santri, Syarkawi tidak hanya terbatas belajar di Normal Islam saja, namun juga berinisiatif menuntut ilmu tambahan di luar jam belajar sekolah. Dalam hal ini beliau dengan gigih di sore harinya sehabis belajar di pondok mendatangi beberapa orang guru dengan mengaji duduk. Di sinilah Syarkawi mendalami ilmu agama melalui kaji duduk kitab kuning dengan beberapa ulama yang terkenal alim, yaitu seperti di Lok Bangkai dan di Sungai Banar Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Karena kendala ekonomi orang tua yang hanya sebagai petani kecil, hal ini berdampak pada kelangsungan studi sang anak. Akibat inilah maka Syarkawi tidak sampai tamat belajar di Normal Islam Amuntai, beliau hanya mampu sampai duduk di kelas lima saja.

Setelah kembali ke kampung halaman, Syarkawi yang sudah menanjak remaja ini tetap optimis, dia tidak malu meski sebagai anak putus sekolah. Justru ilmu dan pengalamannya selama belajar di Normal Islam dengan penuh percaya diri diamalkan untuk masyarakat. Syarkawi menjadi guru atau pendidik pada Sekolah Arab yang dibina oleh Tuan Guru H. Abdullah di Layap Hulu. Ketika menjadi guru di sekolah ini Syarkawi tertarik dan jatuh cinta dengan seorang anak didiknya yang bernama Biduri binti H. Tarmiji. Gadis ini kemudian dipersunting menjadi isteri beliau.

Bersamaan dengan terjunnya Syarkawi ke masyarakat, teman sekelas beliau yang bernama Abdullah S. Lewan memilih jalan yang berbeda, tidak sebagai guru, melainkan menjadi pejuang. Dalam perjuangannya melawan penjajah Belanda teman Syarkawi ini sampai kena tembak Belanda yang mengenai pahanya. Abdullah S. Lewan meninggal dunia di Jakarta saat menjabat bendahara cacat veteran Indonesia, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan pangkat terakhir Pembantu Letnan Satu.

Baca juga:  Hikayat Walisongo (4): Resonansi Tasawuf Sunan Bonang oleh Syaikh Abdal Hakim Murad (Dr. Timothy Winter)

Pada tahun 1950 Syarkawi tertarik dengan dunia politik, lalu membentuk Pengurus Ranting Partai Masyumi Paringin, yang kemudian menghantarkan beliau menjadi anggota DPRD wilayah Banua Lima di Kandangan. Bersama tokoh lainnya H. Gurdan dari lampihong, H. Murad dari Amuntai, H. Abdul Muthalib Muhjiddin, H. Bidjuri Tanjung dan lain-lain, setelah bekerja keras berhasil memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan ibukota Amuntai.

Ketika terjadi perubahan dalam kancah dunia perpolitikan saat itu, Syarkawi mencoba beralih profesi. Beliau mengadu nasib dengan berusaha mendirikan Percetakan Bahagia Paringin dan sebuah Huller Gabah (pabrik penggilingan padi) dengan nama “Tiga Sekawan” di dekat rumah sendiri Paringin Hilir. Kendati sebagai seorang pengusaha atau boleh disebut ‘pebisnis’ di kala itu, Syarkawi tetap konsisten dengan jati diri sebagai orang yang memiliki ilmu agama, bahkan pantas disebut ulama. Untuk ini beliau mendirikan langgar kecil. Di tempat inilah Syarkawi tampil sebagaimana layaknya seorang ulama, beliau bukan hanya menjadi imam shalat, namun juga memberikan pengajian rutin dengan materi sifat dua puluh.

Sejak saat itulah Syarkawi yang tadinya sebagai seorang politikus, kini benar-benar beralih fungsi menjadi ulama, mengamalkan ilmu yang dimiliki, aktif berdakwah serta membimbing masyarakat ke jalan yang benar guna memperoleh rido Allah. Beberapa aktivitas yang ditekuni secara rutin oleh Syarkawi ialah seperti :

  • Memimpin upacara pemakaman dengan pembacaan talqin.
  • Memimpin ucapacara keagamaan di masyarakat seperti tahlilan.
  • Memimpin majelis zikir dan salawat.
  • Memimpin acara lelang dalam rangka pencarian dana untuk pembangunan masjid dan langgar.

Di samping itu beliau juga sudah tidak asing lagi diundang masyarakat untuk memberikan siraman rohani pada kegiatan peringatan hari-hari besar Islam seperti peringatan Maulid dan isra Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW, baik yang diselenggarakan di masjid-masjid, langgar-langgar maupun dari rumah ke rumah di sekitar kota Paringin. Selain memberikan tausiyah dalam acara ini, Syarkawi Berahami yang sudah dikenal sebagai ulama dan muballigh yang sering diminta masyarakat untuk membacakan dan sekaligus memimpin kegiatan pembacaan Manaqib Syekh Muhammad Seman Al-Madani.

Pada tahun 1951 Syarkawi memimpin Komplek Pendidikan Islam Al-Hasaniyah Layap Paringin dengan susunan pengurus yang terdiri dari:

  1. Pengasuh        : Tuan Guru H. Abdullah
  2. Ketua Umum : H. Syarkawi Berahim.
  3. Ketua I             : H. Hasanuddin T.
  4. Sekretaris        : Abdul Fattah.
  5. Bendahara      : H. Mansyah.

Pada saat itulah terjadi peristiwa bersejarah bagi umat Islam di daerah ini yaitu dengan terlaksananya Konferensi Ittihadul Ma’ahadil Islamiyah (IMI) kedua se-Kalimantan yang dipimpin oleh KH. Dr. Idham Chalid. Dengan suksesnya konferensi itu, mulailah pendidikan Islam berkembang sesuai dengan waktu, dan Al-Hasaniyah pun mengirim kader-kadernya seperti M. Kurdi Baseri, Muchtar Iskandar Sarlan, Ali Bahar Ijan, Husin H.A. dan lain-lain ke luar daerah seperti Pondok Modern Gontor Ponorogo. Dengan demikian Al-Hasaniyah pun berada dalam Persatuan Ittihadul Ma’ahidil Islamiyah.

Baca juga:  Ulama Banjar (171): KH. Hasan Effendi Mr, S.Pd, M.Pd.

Selanjutnya pada tahun 1955 atas kerjasama yang solid, kerja keras dan kegigihan para pengurusnya, berhasil membeli sebidang tanah dan membangun komplek Al-Hasaniyah, yang sampai sekarang terus berkembang dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Kurikulum pendidikan yang diterapkan pun bias dikatakan dinamis karena selalu beradaptasi dengan perkembangan maupun dinamika serta tuntutan zaman. Majunya perkembangan komplek pendidikan Al-Hasaniyah ini terus mendapat perhatian masyarakat, bahkan pada tahun 1957 Bupati Hulu Sungai Utara Anang Ramlan beserta Ketua DPRD Tingkat II H. Anang Busera diserta anggota dan rombongan, berkenan meninjau komplek Al-Hasaniyah sekaligus memberikan sumbangan.

Prestasi dan prestise itu membuat nama H. Syarkawi Berahim makin naik daun dan lebih menonjol dalam keulamaannya. Oleh karena itu tidak heran setiap ada kunjungan resmi dari luar ke Paringin, baik dari provinsi maupun pusat, maka H. Syarkawi Berahim-lah yang didaulat dan diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk menyampaikan sambutan atas nama tokoh masyarakat. Tercatat tamu yang pernah datang itu seperti Menteri Dalam Negeri RI Amir Machmud, Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Pangkowilhan) III Kalimantan Sri Bimo Arotedjo, serta Gubernur Kalimantan Selatan sendiri ketika dijabat oleh H. Aberani Sulaiman.

Sejak partai Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soeharto tahun 1959, Syarkawi Berahim tidak ikut aktif lagi dalam arena perpolitikan, namun berusaha mengembangkan sayap bisnisnya dengan membuka perusahaan soratasi karet “Tiga Sekawan” bersama sahabat-sahabatnya H. Anwar dan H. Kosasih dibantu Bupati Amuntai yang saat itu dijabat H. Bihman Villa. Tahun 1963 Syarkawi mendapatkan kotum haji PT Arafat untuk berangkat ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji. Sesudah menunaikan kewajiban rukun Islam kelima ini H. Syarkawi berahim lebih giat lagi memberikan pelajaran maupun mengajarkan agama kepada masyarakat. Sebagai tokoh masyarakat dan ulama dalam berdakwah, beliau mendapat dukungan penuh dari umara yang ketika itu Canat paringin dijabat oleh H. Abdul Aziz.

Terjadinya G-30S/PKI tahun 1965, menurut penuturan masyarakat H. Syarkawi Berahim termasuk dalam daftar ulama yang akan dibantai oleh Partai Komunis Indonesia. Namun atas pertolongan dan pelindungan Allah SWT, beliau terhindar dari semua itu. Ketika rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, ada kebijakan menggabungkan empat partai politik Islam (Partai NU, Partai Muslimin Indonesia, PERTI dan Partai Syarikat Islam) dalam wadah Partai Persatuan pembangunan (PPP), maka naluri politik H. Syarkawi bangkit lagi dan menghantarkan beliau menduduki kursi DPRD Tingkat II Kabupaten Hulu Sungai Utara, bahkan menjabat sebagai Ketua Komisi A bidang pemerintahan dan H. Abdul Aziz sebagai Ketua dari unsur Golongan Karya (Golkar).

Setelah tidak menjadi anggota DPRD lagi, H. Syarkawi kembali mengabdi ke tengah-tengah masyarakat. Beliau pun aktif sebagai ketua umum badan pengelola masjid Al-Istiqomah Paringin, juga berhasil membangun sebuah langgar di pasar Paringin. Bersamaan dengan itu pula H. Syarkawi membenahi usahanya sebagai pemilik Penginapan Balangan di Paringin. Ini sengaja dilakukan beliau, agar dalam berdakwah bisa lebih leluasa dan maksimal, karena memiliki pendapatan tersendiri untuk memnuhi tunutan kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara itu sahabat kentalnya, H. Abdul Aziz menjadi Bupati Kabupaten Barito Kuala, Marabahan.

Baca juga:  Gus Dur dalam Gagasan Emmanuel Levinas: Islam sebagai Etika Sosial

Sebagai ulama dan juru dakwah, H. Syarkawi Berahim tidak kenal lelah, siang dan malam banyak waktu dan kesempatan dihabiskan untuk memberikan siraman rohani kepada masyarakat. Beliau tak hanya tampil di mimbar-mimbar masjid sebagai khatib, namun juga mengisi secara tetap dan rutin pengajian-pengajian di sejumlah majelis taklim, baik yang dilaksanakan di tempat ibadah maupun di rumah-rumah. Sepanjang ada waktu dan kesempatan H. Syarkawi Berahim tidak pernah menolak permintaan masyarakat untuk memberikan ceramah kendatipun itu jauh dari kediaman beliau, siang atau malam. Dalam kegiatan tablighnya atau mendatangi undangan masyarakat sudah terbiasa menggunakan sepeda motor Yamaha kesayangan beliau, sehingga tidak perlu dijemput, melainkan beliaulah yang datang sendiri.

Lantaran tidak mengenal lelah siang dan malam dalam berdakwah, membuat beliau kurang memperhatikan stamina tubuh atau kondisi kesehatan. Diperkirakan akibat sering keluar malam itulah maka beliau terserang penyakit paru-paru basah. Seminggu lamanya dirawat di rumah sakit Islam Banjarmasin, H. Syarkawi pun dipanggil dan dijemput oleh Allah SWT. Beliau meninggal dunia pada hari Rabu 21 Januari 1987 bertepatan dengan 21 Jumadil Awal 1407 H pukul 10.10 Wita. Saat itu beliau didampingi isteri dan anak menantunya, malam itu pula jenazah pun dibawa ke kampung halaman dan dimakamkan di belakang masjid Al-Istiqomah yang dipimpin beliau hingga akhir hayat.

Dengan meninggalnya beliau, masyarakat Paringin dan sekitarnya benar-benar merasa kehilangan seorang figur panutan yang dalam diri beliau menyatu beberapa keutamaan. Dalam hal ini apakah sebagai seorang politisi muslim, tokoh masyarakat, pedagang atau pengusaha dan terlebih-lebih lagi sebagai ulama, muballigh yang tulus dalam mengabdi di medan dakwah. Banyak sekali apa yang bisa beliau sumbangkan untuk kemajuan masyarakat, bahkan bagi kemajuan agama dan pembangunan. Berdasarkan kiprah aktif dan apa yang telah beliau perbuat semasa hidupnya, tentu tidak ternilai oleh materi. Apalagi nawaitu beliau dalam mengabdi untuk agama, nusa dan bangsa semata-mata ingin menggapai rida Allah SWT semata.

Dari perkawinan H. Syarkawi Berahim dengan Hj. Biduri Tarmidji dikaruniai empat orang anak, 11 orang cucu dan 4 orang cicit. Anak pertama adalah H.M. Isa Anshary, MA alumni Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir. Anak pertama ini sekarang tinggal di Jakarta mengabdi di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sekitar tahun 1986. Anak kedua, Hj. Syahriah Sugianto, S.Pd.I menjadi guru dan memimpin Yayasan Al-Istiqomah Paringin. Anak ketiga Dra. Hj. Wahidah Syauqie, seorang ustazah dan mengajar di Banjarmasin. Yang keempat, Drs. H. Abdul Syukur, pegawai pada Kantor Pemerintah Kabupaten Balangan di Paringin.

Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top