(L. 12 September 1920)
Mastur adalah anak kedua dari pasangan Jahri dengan Jahriah, dilahirkan pada tanggal 12 September 1920. Dia lahir di perantauan desa Tenglu, Johor, Malaysia Barat. Nama Mastur kemudian ditambah dengan nama sang ayah sehingga menjadi Mastur Jahri.
Ketika usia Mastur lebih kurang tujuh tahun, pada tahun 1927, Mastur disekolahkan di Sekolah Melayu di Desa Tenglu. Sistem pendidikan di sekolah ini mirip dengan Madrasah Ibtidaiyah (MI), ada pelajaran umum dan agama. Masa belajar di sekolah ini selama tiga tahun dan di sini diajarkan ilmu pengetahuan umum dan agama.
Sebagai anak yang rajin dan tekun belajar, Mastur tak hanya menimba ilmu di sekolah formalnya, Sekolah Melayu. Akan tetapi ia juga aktif dan giat belajar pada waktu sore hari, yakni di Pondokan Tuan Guru Haji Umar, seorang ustadz berdarah Negara, Hulu Sungai Selatan. Di pondokan ini Mastur dibimbing oleh Tuan Guru Haji Umar mempelajari bahasa Arab, khususnya Nahwu, Sharaf dan Balaghah. Karena perilakunya yang baik dan cerdas, sang guru minta izin kepada H. Jahri supaya Mastur tinggal serumah dengan beliau agar Mastur lebih terarah dan terkonsentrasi dalam belajar. Sebagai “imbalan” Mastur diberi semacam beasiswa, yakni tidak membayar biaya hidup berupa penginapan dan konsumsi, sampai tamat.
Baik Sekolah Melayu maupun pondokan, jenjang masa belajarnya sama-sama tiga tahun, hanya saja waktu belajar di Sekolah Melayu dari pagi sampai siang, sedang di pondokan mulai siang sampai petang. Kedua pendidikan ini dengan mudah dijalani oleh Mastur, bahkan bisa dikatakan mampu berprestasi. Dalam tahun 1930 Mastur menamatkan kedua sekolahnya itu.
Pada tahun 1930, kedua orang tua Mastur pulang ke kampung halaman di Batu Mandi. Setelah tiba di Batu Mandi, H. Jahri mengirim Mastur ke Amuntai untuk belajar di Arabische School yang didirikan dan diasuh oleh Tuan Guru H. Abd. Rasyid, alumni Al-Azhar Kairo. Studinya di Arabische School diselesaikan selama empat tahun (1930 – 1934). Kecerdasan dan ketekunan Mastur lagi-lagi diketahui oleh Tuan Guru Haji Abdul Rasyid. Mastur disarankan melanjutkan sekolahnya di kota suci Mekkah. Mastur kemudian berangkat ke Makkah untuk belajar di Madrasah Darul Ulum Addiniyyah. Studinya di Timur Tengah mengakibatkan perceraiannya setahun kemudian dengan sang istri, Aisyah yang ditinggal sendirian di kampung halaman, karena mereka tidak dapat hidup bersama.
Tak ada perubahan yang berarti atas peristiwa rumah tangga yang menimpa Mastur tersebut. Proses belajar-mengajarinya di Madrasah Darul Ulum Addiniyyah, Mekkah Al-Mukarramah tetap berlangsung dengan lancar selama 6 tahun hingga tamat pada tahun 1940. Setelah tamat, Mastur tidak lantas pulang ke tanah air tapi langsung menuju Mesir untuk belajar di Al-Azhar University, Kairo. Di Perguruan Tinggi Islam bergengsi itu pertama-tama beliau diterima pada Qismil Amm selama kurang lebih delapan bulan, yaitu dari tanggal 1 April 1940 sampai tanggal 31 Desember 1940.
Selanjutnya Mastur meneruskan kuliahnya dengan memilih Fakultas Syari’ah yang setara dengan program Strata Satu (S.1) pada perguruan tinggi yang sama. Selama kurang lebih lima tahun Mastur gigih menuntut ilmu di sini, hingga pada tanggal 31 Desember 1946 dinyatakan tamat dengan meraih gelar Licence (LC). Kemudian dia meneruskan lagi studinya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi, yaitu Takhassus Qadha Syar’ie, yang setara dengan program Magister atau Strata Dua (S.2).Setelah belajar dengan sungguh-sungguh selama lebih kurang tiga tahun Mastur pun berhasil meraih gelar akademis Master of Arts (MA) pada tahun 1949.
Setelah tidak kurang dari 15 tahun lamanya Mastur belajar di Timur Tengah (Madrasah Darul Ulum Addiniyyah, Mekkah Al-Mukarramah, Fakultas Syari’ah dan Takhassus Qadha Syar’ie pada Universitas Al-Azhar Kairo) dia pun pulang ke tanah air.
Sekembalinya di kampung halaman, Mastur Jahri, MA. banyak mendapat permintaan masyarakat untuk mendapatkan ilmu dari beliau. Permintaan itu misalnya berdatangan dari lembaga-lembaga keagamaan seperti madrasah dan majlis ta’lim, termasuk juga dari pengurus tempat-tempat ibadah, baik dari Amuntai, Barabai dan Banjarmasin. semua minta kesediaan beliau untuk memberikan siraman rohani, pesan-pesan dakwah dan tausiah agama.
Tak hanya sebatas memberikan ceramah, dakwah dan tausiah saja KH. Mastur Jahri diundang mudzakarah atau berdiskusi dengan kelompok ulama yang dipimpin oleh Tuan Guru H. Abd. Samad di Telaga Silaba Amuntai mengenai beberapa persoalan hukum Islam, khususnya yang terfokus pada masalah warisan. Dengan keluasan ilmunya, beliau mampu memberikan masukan-masukan sehubungan dengan kasus-kasus warisan yang dimudzakarahkan.
Pada tahun 1961, beliau ditempatkan sebagai dosen pada Fakultas Syari’ah IAIN Antasari Banjarmasin dengan pangkat Lektor Muda untuk mata kuliah hukum Islam yang meliputi Fikih Mawaris, Fikih Muamalat, Fikih Munakahat, Fikih Jinayat, Murafa’at Peradilan dan Sejarah Peradilan Agama di Indonesia.
Sebagai seorang dosen yang didahului dengan keulamaan yang menonjol, KH. Mastur Jahri, MA selalu konsisten dan bahkan konsekuen dengan didiplin ilmu yang dimiliki. Beliau secara teratur dan berkesinambungan mengajar dalam mata-mata kuliah yang merupakan keahlian beliau itu. Dalam kapasitas sebagai dosen bahkan pimpinan fakultas maupun institut beliau tetap aktif membimbing mahasiswa dalam penyusunan skripsi. Profesi dosen tersebut beliau jalani hingga meninggal dunia pada hari Selasa 29 Juni 1987.
Sejak kembali dari Mesir tahun 1952, karir KH. Mastur Jahri, MA terus menanjak. Puncak karir beliau yaitu tatkala diamanahi sebagai orang nomor satu di IAIN Antasari (1972). Semasa menjabat Rektor beliau mengurangi kegiatan pengajian agama, profesi ini dibatasi pada khutbah-khutbah Jum’at, pada upacara tertentu dan atau menjadi khatib pada hari raya saja. Hal ini dikarenakan tugas sebagai Rektor memerlukan kerja keras, konsentrasi, koordinasi dan kerjasama dengan berbagai pihak terkait.
Selain sebagai ulama, akademisi dan birokrat beliau juga terlibat dalam organisasi sosial keagamaan. Sejak tahun 1956 hingga akhir hayatnya, beliau aktif sebagai Penasihat Yayasan Masjid Syafaah, Kuripan Banjarmasin. Pada tahun 1976 dipercaya sebagai Ketua Umum panitia pembangunan masjid Baiturrahim Pasar Pandu Banjarmasin. Di tahun yang sama pula beliau oleh masyarakat sekitar pasar Pandu, diangkat sebagai penasihat panitia pembangunan langgar Darul Hasanah. Selain itu sejak tahun 1968 dipercaya lagi memegang jabatan Ketua Umum Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) III Pangeran Antasari Banjarmasin.
KH. Mastur Jahri selanjutnya terpilih sebagai ketua umum Al-Jamiatul Washliyah Provinsi Kalimantan Selatan (1955-1979). Malah dalam kepengurusan berikut, tepatnya periode 1985-1989, beliau terpilih sebagai Ketua Umum lagi, meskipun untuk kali ini beliau tidak sempat menghabiskan masa baktinya. Sebab beliau lebih dulu dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa dua tahun sebelum masa kepengurusan berakhir.
Selain itu, sejak tahun 1982 KH. Mastur Jahri, MA tercatat sebagai Ketua Umum Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Kalimantan Selatan. Organisasi sosial kemasyarakatan dan sekaligus keagamaan ini beranggotakan dari beberapa organisasi dan instansi serta lembaga dalam daerah Kalimantan Selatan.
Jabatan lain yang tidak kalah bergengsinya adalah sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Selatan, terhitung sejak tahun 1976 hingga beliau meninggal dunia. Pada tahun 1978 beliau dipercayai memangku jabatan Ketua III Badan Amil Zakat Infaq Sedekah (BAZIS) Kalimantan Selatan, hingga akhir hayat. Selanjutnya sejak tahun 1982 beliau mendapat kepercayaan lagi untuk menduduki jabatan Ketua Majlis Pertimbangan Badan pengelola Masjid Raya Sabilal Muhtadin Banjarmasin dan pada tahun 1984, diamanahi pula sebagai Penasihat Pengurus Dewan Masjid Kalimantan Selatan.
Keulamaan dan kepemimpinan KH. Mastur Jahri, MA tak hanya mendapat apresiasi di kalangan masyarakat saja, melainkan juga diakui kalangan politik. Terbukti sejak tahun 1984 beliau dikukuhkan sebagai anggota Dewan Pertimbangan Golongan Karya Tingkat I Propinsi Kalimantan Selatan. Tak hanya itu, tapi dua tahun sebelumnya, yakni tahun 1982 hingga 1987, beliau resmi menjabat sebagai Anggota Badan Pekerja MPR-RI Utusan Daerah. Selanjutnya dalam periode 1987-1992, beliau masih dipercaya lagi menjadi Anggota MPR-RI Utusan Daerah Kalimantan Selatan.
Kegigihan dalam bekerja dan aktivitas yang tinggi dalam berorganisasi sudah terasah sejak muda sebelum beliau menjabat berbagai jabatan dan posisi tersebut. Hal tersebut dibuktikan ketika berada di Mesir, terhitung sejak tanggal 1 Januari 1950 hingga 1 Maret 1952, diangkat sebagai Pegawai Lokal Kedutaan Besar Republik Indonesia yang berada di Mesir.
Jauh sebelum itu (1945) KH. Mastur Jahri, MA menjadi Anggota Komite Kemerdekaan Indonesia. Beliau sempat menyambut kedatangan Delegasi Indonesia yang dipimpin H. Agus Salim ke Mesir pada bulan April 1947, dalam upaya memperoleh dukungan dan pengakuan pemerintah Mesir terhadap kedaulatan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka.
Beberapa posisi penting lainnya yang dijabat oleh beliau setelah pulang ke Indonesia yaitu, pertama Ketua Kerapatan Qadhi Besar Banjarmasin, sejak tahun 1952 hingga 1961. Kedua, Ketua Kerapatan Qadhi Besar merangkap Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyyah Kalimantan (1958 – 1961), dengan wilayah kerja yang sangat luas empat provinsi, yaitu Kalimantan Selatan, Timur, Tengah dan Barat.
KH. Mastur Jahri, MA sebagai orang ahli hukum Islam, sejak tahun 1981 diangkat menjabat Wakil Ketua dan Hakim Agama tidak tetap pada Pengadilan Tinggi Agama Banjarmasin dan Pengadilan Tinggi Agama Samarinda.
Sementara itu khusus karir beliau di lembaga pendidikan tinggi negeri tertua dan terbesar di Kalimantan, IAIN Antasari terhitung sejak tanggal 15 Januari 1961. Dengan pangkat Lektor Muda beliau menjabat sebagai Sekretaris Fakultas Syariah sekaligus tenaga edukatif dalam mata kuliah Hukum Islam pada fakultas yang sama. Sebagai orang yang berilmu dan berpengalaman, KH. Mastur Jahri, MA mampu melaksanakan tugas-tugas yang diberikan dengan baik. Program Fakultas Syariah berjalan lebih dinamis dan berhasil dalam upaya mencetak sarjana-sarjana yang ahli dalam bidang hukum Islam.
Kepemimpinan yang energik serta kepribadian yang simpatik telah menghantarkan KH. Mastur Jahri, MA menduduki kursi nomor satu Fakultas Syariah, terhitung sejak tanggal 1 Pebruari 1972 oleh Menteri Agama RI, beliau diangkat menjadi Dekan Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin. Belum setengah tahun memangku jabatan Dekan di Fakultas Syariah, beliau diangkat oleh Menteri Agama RI menjadi Rektor IAIN Antasari menggantikan Drs. Zafri Zamzam yang meninggal dunia.
Jabatan Rektor IAIN Antasari Banjarmasin, dipangku selama dua periode berturut-turut. Masa akhir kepemimpinan beliau sebagai Rektor tercatat pada tanggal 14 Mei 1983, tidak kurang dari 11 tahun lamanya. Semasa menjadi petinggi nomor satu, baik di Fakultas Syariah maupun di tingkat Institut, banyak sekali terobosan yang dilakukan beliau, terutama dalam peningkatan kualitas para dosen, serta pembinaan mahasiswa.
Kesan mendalam yang dirasakan di kalangan kampus adalah kepedulian beliau terhadap orang-orang yang dipimpin. Sikap peduli ini tak sekadar diucapkan di bibir saja, melainkan dilaksanakan secara nyata. Beliau telah membuktikan kapasitasnya sebagai pemimpin, pengayom, pelindung dan penolong.
Di tengah kesibukannya yang begitu padat, KH. Mastur Jahri tetap menyediakan waktu untuk menulis. Ada delapan buah karya tulis yang telah beliau hasilkan baik ditulis dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Arab. Semua karya tersebut pada umumnya berhubungan dengan materi kuliah yang diasuh beliau di Fakultas Syariah. Semuanya ditulis dalam rangka untuk membantu para mahasiswa dan turut memperlancar proses belajar mengajar, dan kelangsungan perkuliahan.
Delapan buah karya tulis dimaksud yang ditulis dalam bahasa Arab adalah sebagai berikut: Fikih Ibadat (1962), Fikih Mu’amalat (1963), Fikih Munakahat (1964), Fikih Mawarits (1968), Fikih Jinayat (1967), dan Murafaat Peradilan (1970). Sedangkan dua karya tulis lainnya juga masih berhubungan dengan pembahasan Fikih atau Hukum Islam, namun ditulis dalam Bahasa Indonesia, yaitu: Sejarah Peradilan Agama (1970), dan Al-Mirats fil Islam (1975).
Mengingat latar belakang penulisan naskah-naskah di atas dimaksudkan untuk menunjang kelancaran aktivitas perkuliahan, maka semua buah pena KH. Mastur Jahri, MA tersebut diperbanyak dalam bentuk stensilan. Dalam sistem pembelajaran sekarang dan kurikulum yang masih berlaku, semua judul karya tulis di atas merupakan mata kuliah yang diberikan kepada para mahasiswa di Fakultas Syariah.
Apa yang disebutkan di atas lebih mengacu pada karya KH. Mastur Jahri, MA dalam lingkup intelektual. Namun sebenarnya apa yang beliau persembahkan untuk almamater tidak hanya sampai disitu saja. Masih banyak lagi karya-karya beliau yang patut disebutkan di sini, yaitu pembangunan gedung olahraga (GOR) untuk bulu tangkis dan auditorium.
Dari aspek kepribadian, KH. Mastur Jahri, MA, merupakan ulama sejati, tegas, konsekuen, berani berkata benar, dan sesuai dengan perkataan dan perbuatan. Beliau juga merupakan pemimpin yang kharismatik dan bersahaja. Saat menjabat sebagai dosen dan sekaligus Rektor IAIN Antasari, tidak membuat beliau tampil beda. Beliau bergaul dengan siapa saja dan tidak menonjolkan diri sebagai pejabat atau orang yang alim. Bahkan terkadang adakalanya lebih bersahaja dari orang kebanyakan. Beliau juga dikenal sebagai seorang pemimpin yang pemaaf. Bila marah atau tertekan dengan tugas sehari-hari, beliau selesaikan dengan menggunakan terapi agama, yakni berwudhu dan shalat sunat dua rakaat.
Beliau juga gampang terharu dalam kegembiraan sebagai isyarat kepuasan batin karena telah mampu berbuat sesuatu, misalnya bisa menolong orang yang memang benar-benar sangat membutuhkan bantuan. Memberikan pertolongan maupun membantu orang lain, memang sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseharian hidup beliau, ia merupakan sesuatu yang sudah mentradisi, dalam kapasitas apapun posisinya. Beliau sering mengulurkan tangan untuk orang lain, mulai dari mahasiswa, karyawan, dosen dan pejabat pimpinan.
Keutamaan pribadi beliau berikutnya adalah sangat berbakti kepada kedua orang tuanya. Sejak kecil, remaja hingga masa dewasanya, kebiasaan menghormati dan memuliakan ayah dan ibu tak pernah pupus. Betapapun sibuknya, sudah menjadi agenda tetap beliau setiap bulan sekali mengunjungi orang tuanya di Batu Mandi. Setiap mengunjungi orang tua beliau menyempatkan diri untuk menginap dan tidur satu kelambu dengan orang tuanya.
Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.