(L. 10 Agustus 1920 – W. 8 Nopember 1998)
KH. Hasan Basri dilahirkan pada tanggal 20 Agustus 1920 di Muara Teweh, Kalimantan Tengah. Hasan Basri adalah putera kedua Muhammad Darun dengan Siti Fatimah. Diberi nama Hasan Basri mengenang nama seorang perawi hadits terkemuka, yaitu Hasan Al-Basri dan nama yang dianggap baik bagi keluarga yang taat terhadap perintah agama.
Ibunda Hasan Basri, Siti Fatimah yang wafat pada tahun 1979 di Jakarta, dalam usia 90 tahun, adalah seorang yang dihormati oleh keluarga dan masyarakat di Kalimantan Tengah dan Selatan, karena dia ahli obat-obat tradisional yang diramunya dari akar-akar kayu Kalimantan dan juga dia adalah dukun beranak serta bijaksana dalam memberikan nasehat. Ibunda Hasan Basri itu gemar membaca buku karangan Syekh Abdul Kadir Munsi, yang ditulis dalam huruf Jawi atau huruf Arab yang dikenal pula sebagai huruf Melayu gundul.
Hasan telah menjadi anak yatim saat ia berumur 3 tahun ketika ayahnya meninggal. Hasan lalu diasuh kakeknya, Haji Abdullah yang merupakan staf pegawai Landraad, yaitu pengadilan negeri zaman Belanda di Banjarmasin, pensiun tahu 1940. Setelah berhenti sebagai pegawai ia menjadi petani, dan kemudian beralih profesi sebagai pedagang. Hasan Basri punya 2 saudara yakni Haji Thamrin dan Husni Rasyid.
Sejak berusia lima tahun ia rutin berlatih pidato yang dilakukannya setiap sore menjelang maghrib, berdiri di atas sebuah meja kecil. Isinya semua hal yang ia lakukan sepanjang hari itu. Seluruh isi rumah menjadi pendengarnya.
Kebiasaan berpidato dan bercerita secara jujur itu berlangsung terus sampai ia berusia 12 tahun. Pada usia itu pula ia lulus Vervolkschool di Muara Teweh, Kalimantan Tengah (1932). “Pendidikan di rumah itu yang menyebabkan saya tidak pernah merasa demam panggung pada saat berpidato di depan umum”, tuturnya. Ilmu berpidato itu memperoleh tambahan ketika ia bersekolah di SMP Muhammadiyah, Banjarmasin. Salah satu pelajaran di sekolah itu adalah muhadarah, yaitu latihan berpidato.
Setelah lulus Sekolah Guru Muhammadiyah di Yogyakarta (1941), ia pulang kampung. Bersama isterinya, Nurhani, Hasan membuka Sekolah Dasar Muhammadiyah di Marabahan, Kalimantan Selatan.
Revolusi 1945 menyeretkan ke kancah politik. Ia ikut mendirikan Serikat Muslim Indonesia (Sermi) di Banjarmasin, menjabat ketua I. Ia juga Ketua Umum Barisan Serikat Muslimin Indonesia (disingkat basmi). Tujuannya untuk membasmi pemerintahan penjajah Belanda, katanya mengenang. Waktu itu, Kalimantan Selatan merupakan salah satu daerah yang tidak menjadi Negara bagian seperti keinginan Belanda.
Bersama Letkol. Hasan Basri, Perwira Divisi IVNK ALRI, pada 1948 Hasan Basri membentuk pasukan gerilya dan melancarkan gerakan bawah tanah. Ia seorang guru, memang tidak pernah mengangkat senjata, tetapi lebih banyak membakar semangat anggota Sermi, sambil tetap mengajar di sekolah Islam wilayah itu.
Di masa kemerdekaan, bekas guru ini menjadi anggota parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS), 1950, mewakili Kalimantan Selatan. Setelah Sermi bergabung dalam Masyumi sampai kemudian parlemen ini dibubarkan oleh Presiden Soekarno (1959). Selama di Parlemen, Hasan duduk dalam komisi E, membawahi bidang agama, pendidikan dan kesehatan.
Setelah Masyumi dibubarkan (1960), Hasan tidak lagi menjadi anggota parlemen, meski ia terus menetap di Jakarta. Aktivitasnya kemudian beralih ke bidang dakwah.
Pada 1981 ia bersama Menteri Agama Alamsyah menghadiri Muktamar Menteri-menteri Agama dan Wakaf seluruh dunia Islam di Mekkah. Bersama Buya Hamka, Hasan juga pernah menghadiri Muktamar Maj’mak Buhust Al Islamiyah di Kairo, 1976.
Tahun 1983 bersama Wakil Presiden RI menghadiri KTT-OKI di Casablanca Maroko. Mewakili Agama Islam pada pertemuan Tokoh Politik dan Tokoh Agama besar Dunia di Roma Italia tanggal 9-10 Maret 1987.
Jabatan yang pernah dipegangnya adalah : Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Ketua Yayasan Perguruan Islam Al-Azhar dan Imam Agung Masjid Al-Azhar, Ketua Yayasan Perjalanan Haji Indonesia, Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI., Anggota Dewan Film Nasional dan lain-lain.
Pada tahun 1928, disaat umur Hasan Basri sudah memasuki usia sekolah, ketika usianya 8 tahun, dimasukkan kakeknya ke Volksschool (Sekolah Rakyat), lama sekolah disitu 5 tahun. Lokasi Sekolah Rakyat itu agak jauh dari kediaman tempat tinggal mereka. Karena masa itu tidak ada kendaraan kecuali sepeda, dan itupun hanya beberapa buah saja, maka Hasan Basri pergi sekolah dengan jalan kaki. Hal itu biasa dilaksanakannya bertahun-tahun.
Setelah pulang dari sekolah Rakyat pada siang hari, waktu sore hari sekitar pukul dua, Hasan Basri pergi ke sekolah agama Diniyah Awaliyah Islamiyah.
Sekolah Rakyat tamat pada tahun 1933, tetapi di Sekolah Diniyah awaliyah Islamiyah tetap dilanjutkannya, dan juga sebagai guru Bantu, dia mengajar untuk mendampingi guru Haji Abdullah yang sangat dihormatinya. Sejak masih muda dengan menjalankan tugas sebagai guru itulah yang kelak membawa pengaruh pada penampilannya di tengah-tengah masyarakat sebagai ustadz dan ulama.
Ketika masih belajar di Sekolah Rakyat dan Diniyah Awaliyah Islamiyah, Hasan Basri sangat senang dengan mata pelajaran sejarah, yang mulai didapatkannya ketika duduk di kelas tiga. “Di kelas tiga kita telah diizinkan untuk membaca buku sejarah tentang panglima perang”, kenangnya.
Di zaman kolonial itu, kebebasan demikian adalah suatu yang boleh dikatakan luar biasa, karena anak pribumi dibiarkan membaca sejarah, yang sebelumnya dilarang oleh penjajah Belanda yang imperialis itu.
Pelajaran praktis dalam mempelajari keagamaan termasuk yang non formal, Hasan Basri banyak menimba ilmu dan pengalaman dari kakeknya, Haki Abdullah. Bahkan ketika dia masih berumur 8 tahun, masih di Sekolah Rakyat, dan Diniyah Aliyah, setiap selesai shalat Maghrib, kalau kebetulan beliau ada di rumah, sang kakek sering menyuruh Hasan Basri untuk latihan pidato. Caranya, disuruh naik keatas meja, dan kepada jamaah yang hadir, tentu saja keluarganya, semua disuruh mendengarkan apa yang disampaikan. Isinya antara lain melaporkan apa yang telah dikerjakan selama satu hari, dari pagi hingga sore. Itulah latihan yang diberikan oleh kakeknya dengan berulang-ulang. Kakek mengajarkan sang cucu bagaimana bicara berurutan, sistimatis yang mudah didengar orang dan mudah dimengerti.
Secara tidak langsung, Hasan Basri telah dibiasakan untuk mengingat apa yang dikerjakan dalam satu hari, terutama menerangkan pelajaran agama yang diterimanya di Diniyah Awaliyah, kemudian melaporkannya secara jelas dan kronologis. Latihan itu dimulai sejak umur 8 tahun. Kecuali keterampilan untuk menyampaikan pidato, juga diperlukan ketajaman otak dengam melatihnya secara teratur juga mendorong berani tampil di depan massa. Dengan latihan itu pula membiasakan Hasan Basri tampil berpidato yang sesungguhnya tidak “demam panggung berbicara panjang bertele-tele”. Tetapi isi pidatonya pendek, namun tegas, dan telah memberikan inti sari dari pidatonya.
Ketika itu dia diharuskan memakai bahasa Indonesia, meskipun yang lazim adalah bahasa daerah, bahasa Banjar atau bahasa Bakumpai. Bahasa Bakumpai itu adalah bahasa Dayak yang biasa dipakai oleh daerah Muara Teweh, di samping bahasa Banjar.
Apa yang dilakukan Hasan Basri itu adalah pendidikan yang berarti penting bagi masa depannya. Sebab, Haji Abdullah selalu memberi komentar pada akhir pidato sang cucu. Beliau memperbaiki mana yang kurang, membetulkan mana yang salah, mana yang sudah benar perlu dijaga baik-baik.
Kakeknya juga selalu mengingatkan, agar jangan suka berteman dan mengikut kepada teman yang pekerjaannya tidak baik. Bertemanlah dengan orang yang baik dan pintar, agar pengaruhnya baik bagi diri sendiri.
Di Sekolah Diniyah Awaliyah Islamiyah, ia belajar dengan Ustadz Haji Abdullah. Di mata Hasan Basri guru itu lugu, bersih dan ikhlas. Guru itu adalah sosok pribadi teladan, suka berbuat baik kepada orang lain. Keteladanan sang guru itu sangat membekas di hati murid-muridnya. Bahkan cita-cita muridnya ingin menjadi pribadi demikian. Pribadi seperti itu digambarkan Hasan Basri sebagai orang berilmu, lalu mengajarkan ilmunya kepada orang lain dengan ikhlas. Ia tidak menuntut imbalan dari tugasnya sebagai guru. Dan guru dikala itu sangat akrab dengan murid, bahkan guru dapat bertindak sebagai orang tua di sekolah. Tugas mengajarpun dilaksanakannya dengan rutin dan baik, serta berceramah di masjid atau mengajar di majelis ta’lim.
Sesudah menamatkan pelajaran di Diniyah awaliyah Islamiyah Muara Teweh, tahun 1936, ibalah masanya ia meneruskan pelajaran ke tingkat yang lebih tinggi. Sekolah yang dipilih kakeknya adalah Tsanawiyah Muhammadiyah di Banjarmasin.
Meneruskan sekolah di Banjarmasin, Hasan Basri mondok di rumah keluarganya, karena masa itu belum ada asrama. Perubahan yang dirasakannya di Banjarmasin adalah pergaulan yang ramai, sebab di banjarmasin ini ada bermacam suku, juga dalam bidang pelajaran dan pengalaman. Ia merasa banyak perubahan yang belum diketahuinya selama ini.
Sekolah Tsanawiyah Muhammadiyah sudah menggunakan metode baru dalam sistem pelajaranya. Terutamaa dalam buku pelajaran, tidak lagi memakai buku lama (kitab kuning). Sistem tradisional (menghafal) ditinggalkan. Buku baru mulai di pelajari, Tarikhul Dirasatul Islamiyah dan fiqh. Buku-buku karangan Muhammad Abduh, Imam Al Gazali, Rasyid Ridha, Imam Syafei dipelajari juga.
Masuk Tsanawiyah Muhammadiyah di Banjarmasin tahun 1935 dan tamat tahun 1938. Ketika di Sekolah Muhammadiyah inilah Hasan Basri bertemu dengan Buya Hamka, ketika Buya Hamka berkunjung ke Banjarmasin sebagai utusan Muhammadiyah Pusat. Tekad Hasan Basri pun ketika itu ingin tampil seperti Buya Hamka, dapat berceramah dan pidato di depan umum.
Sesudah tamat Tsanawiyah, Hasan Basri pun diizinkan kakek dan ibunya melanjutkan sekolah di pulau jawa. Ketika itu kepergian seorang anak remaja “merantau keseberang” (istilah orang daerah) suatu yang langka, maka keberangkatan Hasan Basri itu dipandang suatu yang sangat luar biasa. Tekad Hasan Basri menimba ilmu terdorong oleh sebuah ungkapan: “Capailah cita-citamu setinggi-tingginya, bagaikan bintang di langit”.
Hasan Basri pun memilih Sekolah Zu’ama Muhammadiyah di Yogyakarta. Sekolah Zu’ama adalah untuk mendidik kader Ulama dan Pemimpin, karena pemimpin-pemimpin harus berfikir untuk mengembangkan pendidikan dan menggairahkan da’wah Islamiyah, maka harus tampil Ulama dan Pemimpin yang trampil dan professional, yang memimpin dengan sistem administrasi atau managemen, yang sesuai dengan zaman dan perkembangannya.
Para kyai atau dosen yang mengajar di Sekolah Zu’ama Muhammadiyah saat itu adalah tokoh terkenal, di antaranya adalah K. H. Mas Mansur, K. H. Farid Ma’ruf, Prof. Kahar Muzakir, K. H. Baidhowi, dan Buya A. R. Sutan Mansur.
Di samping belajar di dalam ruangan kelas, dengan sistem dan metode klasikal, Hasan Basri pun belajar politik dengan menghadiri rapat-rapat politik PII (Partai Islam Indonesia). Pemimpin-pemimpinnya ketika itu, ialah Dr. Sukiman, Wiwoho Purbohadidjoyo, Walli Al-Fatih, K. H. Taufiqurrahman, Gafar Ismail, dan lain-lainnya. Sekolah Zu’ama diikutinya sampai tamat selama 3 tahun dari 1938 sampai 1941.
Sesudah tamat Sekolah Zu’ama, Hasan Basri membangun rumah tangga saat ia berumur 21 tahun dengan seorang gadis yang bernama Nurhani yang lahir pada 19 Januari 1924 anak dari Thawaf Saleh dan Antung Imur.
Istrinya, Nurhani, ini juga sekolah di Zaaimat, yaitu kader pemimpin organisasi (Zu’ama bagian puteri). Bersama istrinya mendirikan Sekolah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Marabahan, Kalimantan selatan, dan langsung menjadi guru bersama istrinya, tahun 1942-1944. Sekolah ditutup sejak tahun 1944, karena situasi perang merambat ke Kalimantan Selatan.
Ketika Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk, Hasan Basri diangkat menjadi DPR (Parlemen) mewakili daerah Kalimantan Selatan.
Untuk menjalankan tugas sebagai anggota DPR. RIS, Hasan Basri pindah ke Jakarta. Keadaan yang dialami sudah berbeda dengan suasana di kampung halamannya yang ditinggalkannya. Dia berangkat ke Jakarta tanpa diikuti oleh isteri dan anak-anaknya. Tetapi pada waktu-waktu tertentu isteri Hasan Basri datang ke Jakarta dan mendampingi kesibukan suaminya. Dia menginap di Hotel Des Indez—sekarang Duta Merlin—yang masih dikuasai oleh Belanda. Di sanalah anggota DPR ketika itu menginap. Bertahun-tahun tinggal di Hotel, Hasan Basri merasa jenuh, lalu mencari tempat kost.
Selama tiga tahun, antara 1950-1953 hidup sendiri di Jakarta, barulah keluarganya dibawa pindah. Mereka hidup sekeluarga di Jakarta dengan segenap kesibukan pekerjaannya sebagai anggota DPR. Sebagai seorang parlemen, taraf hidupnya sederhana saja. Homorariumnya sebesar Rp. 750, – ditambah dengan uang sidang. Apalagi kalau dikaitkan dengan masa itu, nilai uang sangat tinggi. Bayangkan saja, ketika Hasan Basri nginap di hotel, dengan biaya makan ia hanya menghabiskan Rp. 250, – sebulan. Sisanya ia kirimkan untuk keluarganya di Banjarmasin.
Hasan Basri menjemput dan membawa isteri dan anak-anaknya pindah ke Jakarta tahun 1953, setelah mengontrak rumah di Jl. Timor No. 19. Sesudah keluarganya di Jakarta seluruhnya, ternyata di memperoleh nasib baik yang tidak diduga sebelumnya. Kejadian itu adalah sebagai berikut: Rumah di Jalan Timor No. 19 itu adalah orang Belanda, yang menjadi pegawai pada maskapai pelayaran. Semula rumah itu dikontrakkan kepada Hasan Basri, sehubungan ia memperoleh rumah dinas dari instansinya. Tidak lama kemudian, terjadi kebijaksanaan pemerintah di bawah Perdana Menteri Boerhanuddin Harahap yang mengambil alih milik Belanda di Indonesia, berkenaan dengan pembatalan Perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar). Rumah yang ditempati Hasan Basri, karena milik orang Belanda, maka rumah itu pun diambil alih. Pemilik rumah secara rela memberikan rumah itu kepada Hasan Basri, dia hanya meminta sekedar ongkos untuk membawa sebagian barang-barangnya. Tidak semua barang-barangnya di rumah tersebut diserahkannya kepada Hasan Basri, tidak perlu membayar harga barang-barang yang ditinggalkannya itu.
Hasan Basri dan istri diberi karunia oleh Allah mendapat empat orang anak dan sepuluh orang cucu. Keempat orang anaknya sudah menikah. Anak pertama Hasni, menjadi dokter Spesialis Anak bertugas di Aceh. Anak kedua, Husni, menjadi Manajer Perusahaan Patungan Indonesia dan Australia di Jakarta. Anak ketiga, Dra. Kartini, menjadi psikolog bekerja di Rumah Sakit Cipto Mangunkusuko Jakarta, dia nikah dengan Fahmi Idris, seorang pengusaha dari Angkatan Muda 66. Dan terakhir anak keempat Husaini yang lahir di Jakarta tahun 1958, bekerja pada Bank Duta di Jakarta. KH. Hasan Basri meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 8 Nopember 1998 saat ia berumur 78 tahun.
Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.