Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Ulama Banjar (31): KH. Husin Qadri

Kh. Husin Qodri

(L. 1 Oktober 1909/17 Ramadhan 1327)

KH. Husin Qadri lahir dari pasangan KH. Ahmad Zaini dan Hj. Sanah. Beliau dilahirkan tepat pada tanggal bersejarah bagi umat Islam sedunia, 17 Ramadhan tahun 1327 H.[1] Yaitu peristiwa diturunkan kitab suci Alquran (Nuzulul Qur’an) yang menjadi sumber utama ajaran Islam.

Berdasarkan silsilah keluarga, ternyata KH. Husin Qadri mempunyai garis nasab yang sampai kepada ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Garis keturunan itu bertemu dari pihak ibu, sebab Hj. Sanah binti Ni Angah binti Hamidah binti Jamaluddin bin Maulana Syekh H. Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Sedangkan dari pihak ayah, beliau juga berasal dari garis keturunan ulama ternama, sebab ayah beliau KH. Ahmad Zaini adalah anak dari KH. Abdurrahman bin H. Zainuddin. Selanjutnya H. Zainuddin adalah putra dari H. Abdusamad, dan Abdusamad ini adalah anak Abdullah Al-Banjari, yang juga dari keluarga terhormat lantaran ilmu agama yang mereka miliki dan yang mereka amalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pengasuhan kedua orangtuanya KH. Husin Qadri dididik dengan penuh kasih sayang dan selalu diarahkan kepada ajaran agama. Apalagi lingkungan keluarga, baik dari pihak ibu maupun ayah sama-sama taat dalam melaksanakan ajaran agama dalam kegiatan sehari-hari. Dengan begitu KH. Husin Qadri sejak kecil sudah terbiasa dalam tatanan kehidupan yang kental dan penuh dengan suasana religius atau keagamaan.

KH. Husin Qadri tidak menempuh pada pendidikan formal yang namanya sekolah atau madrasah tertentu, dan tidak juga melalui lembaga pendidikan nonformal seperti pondok pesantren. Akan tetapi cara beliau belajar atau menuntut ilmu dapat dikatakan sangat unik, beliau belajar ilmu agama langsung kepada ayah dan kakek beliau sendiri (H. Ahmad Zaini dan H. Abdurrahman).

Dalam menuntut ilmu agama, khususnya dengan kakek beliau yang bernama KH. Abdurrahman bin KH. Zainuddin bin Abdusamad bin Abdullah Al-Banjari, KH. Husin Qadri menempuh cara di luar kelaziman orang belajar pada umumnya, dan memang cara yang semacam ini sangat jarang dilakukan orang. Betapa tidak, KH. Husin Qadri belajar ilmu agama dengan kakek beliau pada tengah malam.

Cara belajar agama seperti disebutkan di atas dilakukan secara berkesinambungan beberapa tahun lamanya hingga beliau benar-benar menjadi seorang yang alim dalam ilmu agama. Tidak ditemukan data yang menunjukkan bahwa KH. Husin Qadri belajar pada lembaga pendidikan formal seperti madrasah maupun lembaga pendidikan nonformal semacam pondok pesantren. Kuat dugaan beliau belajar agama dengan ayah dan kakek beliau tersebut tanpa ada batasan waktu.

Sistem belajar seperti itu persis sama dengan cara kakek beliau sendiri ketika menuntut ilmu agama dengan seorang ulama yang sangat alim yaitu Tuan Guru H. Muhammad Said Wali Dalam Pagar. Malah kakek beliau ini pergi setiap tengah malam sehabis mengajari KH. Husin Qadri di kediamannya Tunggul Irang menuju Dalam Pagar, pagi hari baru kembali. Dan hal ini dilakukan dalam waktu yang lama secara rutin atau berkesinambungan.

Setelah dipandang cukup mempunyai pengetahuan agama, KH. Husin Qadri pun meneruskan jejak langkah perjalanan serta perjuangan yang telah dilakukan ayah dan kakek beliau sendiri, sebagai pembimbing dan pembina masyarakat. Kegiatan yang dilakukan KH. Husin Qadri dalam membimbing dan membina masyarakat ditempuh melalui pengajian-pengajian agama di langgar, di masjid dan bahkan di rumah-rumah secara terjadual setiap malam. Selain itu, beliau juga menurunkan ilmu agama yang dimiliki kepada para santri di pondok pesantren Darussalam Martapura.

Baca juga:  Benarkah Al-Ghazali dan Al-Asy'ari Sumber Kemunduran Dunia Islam? (Bagian kedua)

Agenda dakwah beliau setiap hari selalu terisi, sehingga menurut teman dekat beliau yang kini masih hidup, KH. Husin Mughni: “Melihat aktivitasnya yang demikian padat dalam memberikan bimbingan dan penerangan agama Islam Ahlu Sunnah wal Jamaah kepada masyarakat, maka dapat dikatakan, tiada hari tanpa dakwah bagi seorang yang bernama KH. Husin Qadri.” Ditambahkan pula oleh orang kepercayaan KH. Husin Qadri ini, dalam dakwahnya setiap saat tidak lain yang dicari KH. Husin Qadri, selain menuntut keridaan Allah Swt.

Dalam kehidupan sehari-hari KH. Husin Qadri tampil di tengah-tengah masyarakat sebagaimana layaknya anggota masyarakat. Beliau tidak menjaga jarak dalam bergaul dan selalu diwarnai dengan kesederhanaan. Perkataan beliau lemah lembut namun jelas dan tegas, lebih-lebih bila menyangkut masalah agama. Beliau juga dikenal sebagai seorang figur ulama yang sangat ikhlas dalam berbuat maupun berkata-kata, juga sebagai pembimbing dan pembina masyarakat yang mempunyai akhlakul karimah, terpuji lagi mulia.

Oleh karena kehalusan budi pekerti dan keikhlasan serta kesucian hati dalam penampilan sehari-hari itulah membuat KH. Husin Qadri menjadi dihormati, dimuliakan, dikagumi dan malah disegani. Semua penghargaan ini tidak saja datang dari kalangan masyarakat awam semata, akan tetapi juga dari kalangan orang-orang yang alim, tokoh atau pemuka agama serta terpandang di masyarakat

Beberapa pengakuan yang diberikan orang terkemuka terhadap KH. Husin Qadri. Antara lain KH. Anang Sya’rani Kampung Melayu, Martapura, yang dikenal sebagai ulama yang hafal ratusan bahkan ribuan hadits “Kutubus Sittah”, pernah menyatakan: “Tidak ada yang dapat menyamai Anang (panggilan KH. Husin Qadri) masalah kehebatan antara syariat dan hakikat, baginya sama berat timbangannya,” Demikian pula halnya dengan KH. Muhammad Syarwani Abdan Bangil, pernah berkata: “Tidak ada yang dapat menyamai apa lagi melebihi akhlak KH. Husin Qadri, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang”.

Ulama besar dari Aceh sengaja datang menghadiri dan mengikuti pengajian KH. Husin Qadri di masjid Agung Al-Karomah Martapura, ulama ini duduk menyamar di tengah-tengah orang banyak. Setelah selesai pengajian lalu keluar masjid dan berkata kepada kawan-kawannya: “Tidak ada yang dapat menyamai Kiyai ini, kalau ilmu mungkin banyak saja yang lebih, tetapi kalau nur yang diberikan Allah di mulutnya tidak ada yang dapat melebihinya”.

Seorang ulama dari Sumatera, ulama ini sengaja datang jauh-jauh ke Martapura dan ketika itu KH. Husin Qadri sudah meninggal dunia, dia berkeliling di pasar hingga akhirnya bertemu dengan Habib Zaini Al-Habsyi dan menanyakan kitab Senjata Mu’min yang disusun KH. Husin Qadri. Habib Zaini Al-Habsyi mengambilkan dan menyerahkan kepadanya dan ulama itu membayar dengan mahal harga kitab tersebut lalu langsung mencium gambar KH. Husin Qadri yang ada di kitab itu, seraya berkata: “Inilah keperluan saya datang dari Sumatera ke sini, dan inilah benar-benar wali yang besar”.

Baca juga:  Gus Dur dalam Gagasan Emmanuel Levinas: Islam sebagai Etika Sosial

Penghargaan, penghormatan maupun pujian sebagaimana disebutkan di atas tentu saja tidak terbatas pada pengakuan empat orang yang disebutkan di atas, akan tetapi masih banyak lagi yang datang dari selain itu, termasuk murid-murid atau mereka yang pernah tahu dan mengenal KH. Husin Qadri di masa hidupnya. Betapapun juga apa yang dikemukakan itu semuanya sesuai dengan sifat, sikap dan tingkah laku serta kepribadian KH. Husin Qadri sendiri selaku seorang ulama yang memang patut diteladani.

Selain giat dengan kegiatan membimbing serta membina umat melalui pengajian maupun pendidikan agama, KH. Husin Qadri ternyata juga mengisi waktu beliau dengan menulis. Ada tiga kitab karya beliau yang hingga kini masih cukup dikenal kaum muslimin, yaitu Senjata Mu’min, Nurul Hikmah, Kumpulan Khutbah, serta Manasik Haji dan Umrah. Kitab yang pertama berisi amalan-amalan, wirid dan doa-doa pilihan untuk keselamatan kaum muslimin di dunia dan akhirat. Kitab kedua berisi petunjuk praktis dakwah, khususnya yang berhubungan dengan kaifiat atau tata cara dan adab berdakwah atau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Kitab keempat merupakan himpunan khutbah, baik Jum’at maupun khutbah hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Sedangkan kitab yang keempat, sesuai dengan namanya adalah tuntunan praktis mengenai pelaksanaan ibadah haji dan umrah.

Khusus kitab atau Risalah Haji dan Umrah ditulis sekitar tahun 1960-an, ketika itu pulang pergi ke tanah suci masih mempergunakan alat transportasi laut. yakni sebuah armada besar dengan jarak tempuh berbulan-bulan lamanya. Di kapal yang diberi Gunung Jati ini dilengkapi berbagai fasilitas, termasuk sarana berolah raga seperti lapangan sepak bola.

Latar belakang penulisan Risalah Haji dan Umrah adalah karena belum tersedianya kitab atau risalah yang secara khusus, singkat atau sederhana dalam membicarakan tuntunan berhaji atau umrah. Sementara kecenderungan umat Islam menunaikan rukun Islam kelima itu tiap tahun semakin bertambah jumlahnya. Di saat menyusun risalah itu, KH. Husin Qadri sendiri pun sebenarnya masih belum menunaikan ibadah haji.

Karya tulis KH. Husin Qadri sejak dulu hingga sekarang termasuk kitab-kitab yang diminati masyarakat, terutama Senjata Mu’min serta Risalah Haji dan Umrah. Menurut beberapa orang informan yang berhasil ditemui, termasuk anak bungsu KH. Husin Qadri sendiri kitab-kitab tersebut sudah beberapa kali mengalami cetak ulang. Saking larisnya kitab-kitab ini di pasaran di kawasan Kalimantan dan bahkan di pulau Jawa, sampai-sampai ada toko buku di Banjarmasin yang “membajaknya”, mencetak sendiri dalam oplah yang banyak tanpa izin ahli warisnya.

Di samping tiga kitab yang disebutkan di atas, sebenarnya masih ada lagi beberapa karangan mengenai masalah agama yang disusun oleh KH. Husin Qadri, seperti tentang tafsir Alquran dan lain sebagainya. Namun sangat disayangkan semua itu belum sempat diselesaikan, karena beliau terlebih dahulu dipanggil oleh Allah SWT.

KH. Husin Qadri, ulama besar yang lahir dan dibesarkan di desa Tunggul Irang Martapura, berpulang ke rahmatullah pada hari Jum’at tanggal 26 Jumadil Awal tahun 1387 H. Beliau meninggal dengan tenang karena sakit dan dimakamkan persis di depan rumah beliau sendiri, kini di dekat makam beliau ada sebuah langgar.

Baca juga:  Ulama yang Mulai Serius Belajar di Usia Tua (5): Imam Abu Ahmad Ghunjar

Semasa hidupnya KH. Husin Qadri mempunyai lima orang isteri dan sepuluh orang anak. Isteri pertama bernama Hj. Rahmah melahirkan seorang anak bernama H. Najamuddin yang bemukim di Mekkah. Isteri kedua H. Maimunah juga melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Junaidi Al-Bagdadi.

Isteri ketiga, yang juga bernama Hj. Maimunah, melahirkan tiga orang putera dan dua orang puteri; mereka masing-masing diberi nama Sibawaihi, Marbawaihi, Yohanes, Umi Hani dan Umi Banat. Seterusnya isteri keempat, Hj. Ainal Mardiyah melahirkan seorang anak laki-laki bernama H. Hasan Rusdi yang sampai sekarang masih memperdalam ilmu agama di pondok pesantren Datu Kelampayan, Bangil, Jawa Timur. Isteri yang kelima atau terakhir bernama Hj. Nur Asiah, melahirkan dua orang anak laki-laki, masing-masing diberi nama Muadz Al-Gazi dan At-Tibridzi.

Rata-rata keturunan KH. Husin Qadri menyelesaikan pendidikan sampai selesai tingkat aliyah di pondok pesantren, dan umumnya di pondok pesantren Darussalam Martapura. Mereka juga masing-masing sudah berkeluarga dan memiliki beberapa orang anak serta bertempat tinggal di kawasan kecamatan Martapura dan sekitarnya.

Berdasarkan pengamatan penulis satu di antara anak beliau itu sekarang sudah memperlihatkan sifat tawadhu dan kewaraannya, yaitu anak terakhir atau yang paling bungsu bernama At-Tibrizi. Tempat tinggalnya cukup terisolasi dari orang banyak dan persis di sampingnya ada komplek pemakaman (kuburan). Untuk sampai ke rumah ini harus melewati areal pekuburan tersebut, meskipun jalan menuju ke rumah ini sebelumnya cukup bagus dibuat beraspal yang dibiayai Bupati Kabupaten Banjar. H. Rudy Arifin.

Sedangkan menurut mantan “sekretaris” KH. Husin Qadri sendiri, yakni KH. Husin Mugni, seorang ulama sepuh berusia 68 tahun yang juga luas ilmunya bahwa di antara kesepuluh anak beliau itu yang diprediksi akan menggantikan dalam arti meneruskan sepak terjang ayahnya adalah anak kedelapan dari isteri keempat yang bernama H. Hasan Rusdi. Sehabis menyelesaikan pelajaran di pondok pesantren Darussalam, Martapura, ia langsung meneruskan ke pondok pesantren kaji duduk Datu Kelampayan Bangil, Jawa Timur, sampai sekarang. Pesantren ini dulunya dibangun oleh teman akrab KH. Husin Qadri sendiri, dan juga seorang ulama besar, beliau bernama KH. Syarwani Abdan.

Jasa-jasa KH. Husin Qadri di masyarakat antara lain beliau termasuk dalam jajaran pengurus inti panitia pembangunan pondok pesantren Darussalam, panitia pembangunan masjid jami Al-Karomah, Martapura.

Dalam keluarga, KH. Husin Qadri merupakan anak ketiga dari lima orang bersaudara, dua di antaranya perempuan. Semua saudara beliau termasuk orang yang memiliki kelebihan tersendiri, khususnya yang laki-laki dan rata-rata memiliki prestasi serta prestise yang patut dibanggakan. Urutan saudara ini adalah sebagai berikut:

1. Arfah, 2. Hj. Mulia, 3. H. Husin Qadri, 4. KH. Badaruddin, dan 5. KH. Muhammad Rosyad.

Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top