Sedang Membaca
Ulama Banjar (27): KH. Gazali
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Ulama Banjar (27): KH. Gazali

Kh. Gazali

(1907-1970)

Kebanyakan memang ulama itu punya zuriat dari keluarga yang alim. Tetapi tidak selamanya begitu, ada kalanya orang dari keturunan biasa berhasil jadi ulama. Asalkan rajin menimba ilmu agama dan rajin mengamalkannya secara istiqomah, siapapun akan diangkat derajatnya oleh Allah sebagai orang saleh.

Seperti H. Gazali, pria kelahiran Kampung Lumbu, Kecamatan Tapin Utara Tahun 1907. Ayahnya, Bulayah, cuma petani biasa yang punya keahlian sebagai pangawahan (tukang masak di kuali besar). Bahkan orangtuanya itu tak pandai mengaji. Karena tak ingin keturunannnya bernasib serupa, ia mendorong anak-anaknya untuk belajar membaca Alquran dan menggali berbagai ilmu agama kepada beberapa tuan guru yang dianggap berkompeten.

Maka, orangtua Gazali mengantarnya ke tempat KH. Abdul Karim di Banua Halat supaya mendapat bimbingan mengaji secara intensif. Kebetulan di situ para santri yang berasal dari jauh diwajibkan menginap di musala yang memiliki sekat-sekat kamar. Dengan sistem pengajaran seperti itu, mereka bisa mengaji siang maupun malam.

Sekian tahun Gazali menimba berbagai cabang ilmu agama, seperti tauhid, fiqih, dan tasawuf. Setelah dirasa cukup memadai mengaji dengan Tuan Guru H. Abdul Karim, ia meneruskan belajar ke Pesantren Darussalam Martapura. Selain mengecap pendidikan formal, Gazali juga rajin mengaji duduk secara khusus dengan mendatangi ulama-ulama terkenal di Martapura. Antara lain, Tuan Guru H. Kasyful Anwar, KH. Zainal Ilmi, dan KH. Salim Ma’ruf.

Baca juga:  Imam Asy-Sya’rani dan Seni Menyikapi Perbedaan Fikih

Setelah beberapa tahun mendalami ilmu agama di kota yang berjuluk “Serambi Mekkah” itu, Gazali pun balik ke kampung halamannya di Rantau. Di sini ia mulai mengembangkan syiar Islam dengan membuka pengajian. Tak hanya itu, KH. Gazali juga sering menerima undangan untuk mengisi ceramah di berbagai tempat. Ia rutin memberikan siraman rohani di beberapa majelis taklim, antara lain di Cangkring tiap hari Minggu, Langgar Nurul Amin pada Kamis sore, Langgar Nurul Mubien, Mandaratahan setiap Sabtu malam, Langgar Kupang dan Langgar Tasan Panyi.

Di langgar dan musala Tuan Guru Gazali biasanya menyampaikan materi seputar sifat 20, fiqih, dan masalah tauhid. Sedangkan pengajian rutin yang digelar di rumahnya setiap Jum’at lebih banyak mengulas Kitab Bukhari.

Untuk memenuhi hajat masyarakat yang haus akan ilmu agama, terutama pada peringatan hari-hari besar Islam seperti menyambut Maulid Nabi, Isra Miraj, dan lainnya, beliau sering berangkat naik sepeda. Bahkan, tak jarang untuk menjangkau daerah-daerah yang agak terisolasi dan tak bisa melalui jalur darat, KH. Gazali menggunakan perahu. Apapun sarana transportasi yang dipakai, beliau tidak mempermasalahkan, yang penting misi dakwah dapat terpenuhi.

Meski sudah memberi pengajian di mana-mana, beliau tak lupa untuk tetap menambah ilmu agama dengan mendatangi Tuan Guru Abdul Kadir di Kapuh, Kandangan, naik sepeda bersama teman-temannya.

Baca juga:  Ulama yang Wafat dalam Keadaan Sujud (1): Abu Hanifah, Pendiri Mazhab Hanafiyah

Selain aktif berceramah, KH. Gazali juga sering dimintai masyarakat untuk membuatkan pasuratan rumah agar penghuninya terhindar dari gangguan makhluk halus maupun orang yang berniat jahat. Termasuk merajah badan agar selamat dari hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi di zaman revolusi kemerdekaan banyak pejuang yang memerlukan itu untuk menambah kepercayaan diri mereka. Khasiat rajah yang bersangkutan kebal dari senjata tajam atau apabila ditembak selalu meleset. Orang yang dirajah harus mematuhi pantangan, yakni tidak boleh berbuat maksiat. KH. Gazali mengingatkan, di antaranya agar menjauhi zina. Kalau itu dilanggar, khasiat rajah bakal hilang (ruwah).

KH. Gazali dikenal sebagai pribadi yang pemurah dan memiliki banyak anak angkat. Beliau senang membawa mereka ke tempat para tuan guru untuk didoakan supaya kelak menjadi anak saleh. Di rumahnya Gazali suka melakukan muthala’ah kitab-kitab sembari memahami isinya. Pada usia 63 tahun, tepatnya 17 Februari 1970, beliau menghembuskan nafas terakhir. Jenazahnya dimakamkan di Desa Lumbu, sekitar 1 kilometer dari pusat Kota Rantau. Beliau meninggalkan tiga orang isteri dan dua anak, yakni KH. Ali Nordin dan Haji Karim.

Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top