Sedang Membaca
­Ulama Banjar (15): KH. Muhdar
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

­Ulama Banjar (15): KH. Muhdar

Kh. Muhdar

(L. 1901)

KH. Muhdar lahir pada tahun 1901, belum diketemukan secara pasti tanggal dan bulannya. Demikian pula tentang tanggal dan bulan berapa beliau meninggal dunia, namun demikian usia beliau diperkirakan mendekati seratus tahun atau lebih kurang 94 tahun. Orang tua beliau bernama H. Muhtar dan merupakan orang yang dilahirkan di Kabupaten Banjar.

Sejak kecil, remaja hingga dewasa, beliau selalu rajin mempelajari agama. Bahkan sampai memasuki usia senja sekalipun beliau tidak pernah surut dalam memperdalam ilmu agama. Bagi KH. Muhdar, hidup adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT, karenanya hari-hari yang dilalui senantiasa diupayakan semaksimal mungkin untuk menambah dan mengamalkan ilmu agama. Sebagai ulama sepuh beliau dikenal sebagai sosok yang memiliki komitmen yang tinggi dalam berdakwah. Tiada hari berlalu kecuali untuk menghasilkan karya-karya dakwah.

Di mata keluarga, KH. Muhdar merupakan sosok yang sangat dikagumi. Kesederhanaan beliau dalam menjalani hidup dan kehidupan sehari-hari sarat dengan keteladanan, sehingga memang layak untuk diikuti. Kecerdasan yang dianugerahkan Allah kepada beliau ternyata dapat diimbangi dengan ketegasan sikap maupun perbuatan sehari-hari. Dalam hal ini terutama sekali pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pengamalan ajaran agama.

Bagi K.H. Muhdar bin Muhtar tidak ada istilah kompromi dengan segala macam bentuk kemaksiatan, semua harus diberantas dan kebenaran Islam harus ditegakkan. Materi-materi dakwah beliau sangat lantang dalam menyuarakan kebanaran dan keadilan serta selalu memihak kepada umat meninggikan syiar Islam. Vokal KH. Muhdar dalam menggeluti dunia dakwah ini diakui oleh kawan maupun ‘lawan’. Karenanya tidak heran jika semasa hidupnya beliau selalu dimuliakan, dihormati dan disegani.

Baca juga:  Ulama Banjar (9): Tuan Guru H. Zainal Ilmi

Kesederhanaan yang melekat pada sifat, sikap dan perilaku KH. Muhdar betul-betul langka, lebih-lebih untuk ukuran ulama di zaman sekarang. Sekedar contoh, sebagai imam besar masjid agung Alkaromah, beliau sangat konsekuen dalam memenuhi panggilan kewajiban itu. Suatu ketika hari hendak hujan dan beliau mau melaksanakan tugas sebagai imam tetap, oleh keponakan beliau sendiri mau diantar dengan memakai sepeda motor supaya segera sampai ke masjid dan tidak kehujanan di jalan mengingat jarak masjid dengan rumah beliau di Kampung Jawa Darat cukup jauh. Beliau menolak tawaran keponakan tersebut dan memilih naik sepeda pancal yang sudah butut, dengan memakai jas hujan. Peristiwa serupa tentu tidak hanya sekali atau duakali saja terjadi, namun bisa dibilang sering atau berulang kali.

Tak hanya itu, ternyata salah seorang Bupati Kabupaten Banjar merasa prihatin dengan kondisi beliau yang sudah tua, mengendarai sepeda dari rumah menuju Sekretariat Kantor Majelis Ulama Kabupaten Banjar. Posisi beliau sebagai Dewan Pimpinan atau Ketua Umum, sudah tentu membuat KH. Muhdar harus bolak-balik dari rumah ke tempat melaksanakan tugas sehari-hari. Oleh Bupati, beliau ditawari fasilitas mobil khusus untuk kelancaran tugas sehari-hari lengkap dengan sopirnya. Akan tetapi tawaran inipun dengan penuh kearifan ditolak.

Menurut KH. Muhdar, lebih baik dana untuk membeli mobil dan menggaji sopir tersebut dialihkan saja untuk kepentingan pembangunan Pondok Pesantren Darussalam di Tanjung Rema. Ketika itu, KH. Muhdar juga adalah seorang penggagas dan sekaligus pendiri pondok Darussalam Model yang berlokasi di Kelurahan Tanjung Rema Darat. Sebagai tokoh yang turut membidani pondok model ini, tanggung jawab beliau sangat besar. Apalagi ketika itu beliau memiliki pola pikir yang dinamis, yakni mengupayakan agar santri pondok Darussalam itu memiliki keterampilan tambahan di luar disiplin ilmu-ilmu keagamaan. Gagasan ini tentu saja bisa dibilang ‘mencengangkan’ atau bahkan ‘kontroversial’, karena selama ini kurikulum pondok Darussalam memiliki label yang khas sebagai pesantren diniyah murni.

Baca juga:  Ulama Banjar (92): H. Abdul Chalik Dachlan

Sebagai buah dari kerja keras dan ‘terobosan baru’ itu, berdirilah Sekolah Teknik Mesin (STM) Darussalam di Tanjung Rema Darat. Hingga saat ini masih bisa bertahan sebagai sekolah umum yang ada di lingkungan agama. Dari tahun ke tahun peminatnya terus meningkat. Hal ini bisa dimaklumi karena makin pesatnya teknologi bidang automotif dan besarnya peluang untuk bekerja atau membuka lapangan kerja baru setelah menamatkan sekolah.

Meski tampak dari inovasi tersebut ada semacam kesan nuansa ‘keduniaan’ yang digeluti KH. Muhdar, namun hal itu ternyata tidak melemahkan semangat beliau untuk tetap concern memperjuangkan syiar Islam. Justru pada zamannya, beliau dikenal sebagai ulama paling peduli dan sangat lantang menyuarakan kebenaran ajaran Islam. Saat berdakwah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, beliau sama sekali tidak merasa takut berhadapan dengan para penguasa.

Sebagai ilustrasi, Orde Baru membolehkan lokalisasi pelacuran dan Sumbangan Sosial Berhadiah (SDSB) serta beroperasinya perusahaan minuman keras. Kebijakan ini sangat ditentang oleh KH. Muhdar. Dalam setiap kesempatan tausiyahnya, beliau selalu menyampaikan penolakannya terhadap kebijakan itu. Bahkan, beliau berani datang ke Jakarta guna menyampaikan aspirasi umat Islam yang diwakilinya tentang penolakan beberapa kebijakan tersebut.

KH. Muhdar sempat bertemu dengan Menteri Rudini untuk menolak kebijakan pemerintah yang disebutkan di atas. Menteri yang popular sekali di rezim pemerintahan Soeharto itu, beliau debat. Ketika Rudini bilang, “kalau semua kebijakan tadi ditutup bagaimana nasib ribuan pekerjanya yang terlanjur sudah menekuni hal tersebut”. Dengan suara lantang KH. Muhdar menjawab, “gampang, pulau Kalimantan masih luas, buatlah pekerjaan di sana, asal pemerintah betul-betul mengupayakannya niscaya mereka semua akan terayomi”.

Baca juga:  Ulama Banjar (29): KH. Muhammad As’ad

Seperti diketahui, zaman Orde Baru berbagai upaya akan dilakukan oleh pihak tertentu guna meredam tokoh-tokoh yang berani lantang atau sangat vokal menentang kebijakan pemerintah. Berbagai pendekatan akan ditempuh agar sang tokoh bisa ‘dijinakkan’, atau malah ‘diturunkan’ sama sekali dari arena perjuangannya. Hal ini pun dialami oleh KH. Muhdar, sebab bekalangan diketahui, lantaran keberaniannya itu, beliau dipaksa mundur dari kursi Ketua Umum Mejelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Banjar.

Sosok KH. Muhdar yang dikenal rendah hati, merakyat, sederhana, cerdas, tegas dan istiqamah dalam berdakwah, banyak memberikan keteladanan berharga yang patut diwarisi oleh para kader ulama maupun generasi muda. Beliau dinilai sebagai Pimpinan MUI Kabupaten Banjar yang berhasil, sehingga diberi kepercayaan selama lima periode atau tidak kurang dari 25 tahun lamanya menduduki jabatan Ketua Umum. Ini menunjukkan besarnya kepercayaan yang diberikan kepada beliau sebagai sosok yang loyal, berdedikasi, dan tanpa pamrih.

Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top