Setiap orang memiliki kesempatan untuk bisa mencapai derajat waliyullah atau kekasih Allah. Namun untuk bisa mencapainya, diperlukan beberapa tahapan atau tingkatan yang harus dilalui. Tingkatan-tingkatan ini serupa syarat bagi seseorang untuk bisa menduduki posisi istimewa menjadi waliyullah.
Pengasuh Pondok Pesantren Ummul Qura, Pondok Cabe, Jakarta KH Raden Syarif Rahmat menjelaskan tentang beberapa syarat itu. Ia merujuk pada sebuah kitab yang sangat terkenal yakni Hidayatul Azkiya Ilaa Thariqil Awliya atau petunjuk orang-orang pandai menuju jalan para wali.
Di dalam kitab tersebut terdapat penjelasan mengenai tahapan-tahapan bagi seseorang untuk mencapai derajat waliyullah. Disebutkan, inna thariqa syari’atun wa thariqatun wa haqiqatun fasma’ lahaa maa mitstsila.
“Sesungguhnya jalan untuk menjadi waliyullah itu ada tiga yaitu syariat, tarekat, dan hakikat maka dengarkanlah yang menjadikan perumpamannya. Jadi sebelum kita menjadi waliyullah itu, kita harus melewati tiga jalur dulu,” jelas Kiai Syarif dalam Pesantren Ramadhan Majelis Telkomsel Taqwa (MTT) dan Majelis Ta’lim Telkom Grup (MTTG), Selasa (27/4).
Ketiga jalur yang dimaksud Kiai Syarif itu memiliki perumpamaannya masing-masing, yakni fa syari’atun ka-safinatin wa thariqatun kal-bahri tsumma haqiqatun dzurrul ghala. Artinya, syariat bagaikan perahu, tarekat seperti lautan, sedangkan hakikat laksana mutiara yang terdapat dalam lautan.
“Jadi kita sedang menggambarkan orang yang ingin mendapatkan mutiara. Jika ingin menghias diri dengan mutiara yang sangat indah, maka harus melewati tahapan ini. Perahu, lautan, dan di situ ada mutiaranya. Jadi mutiaranya ada di dalam lautan,” jelas Kiai Syarif.
Dijelaskan, syariat adalah tahapan bagi seseorang untuk berpegang teguh pada agama Allah dengan menegakkan setiap perintah dan menjauhi larangan Allah, secara sempurna. Inilah tahap pertama untuk bisa mencapai mutiara atau kedudukan istimewa di hadapan Allah.
“Orang yang ingin menjadi wali, harus menghiasi dirinya dengan syariat. Semua perintah Allah, laksanakan. Semua larangan Allah, tinggalkan. Ini baru tahap atau jenjang pertama. Shalat, puasa, zakat, haji, selesai. Semuanya harus selesai,” terang Kiai Syarif.
Jika tahap pertama sudah selesai, maka terdapat tahap kedua yang harus ditempuh yaitu tarekat. Orang yang sedang berada pada tahap ini akan senantiasa mengambil sikap yang lebih hati-hati. Lebih dari itu, orang tersebut juga akan mengambil ibadah-ibadah yang bersifat berat (adzhimah) daripada yang sifatnya dispensasi atau keringanan (rukhshah).
“Adzhimah itu adalah ibadah yang berat-berat, ibadah pokok. Sedangkan rukhshah itu adalah dispensasi. Puasa Ramadhan selama 30 hari atau satu bulan itu adalah adzhimah. Sementara rukhshah-nya adalah orang yang berpergian, orang yang sakit boleh tidak berpuasa, diganti dengan qadha atau orang yang tidak mampu puasa boleh mengganti dengan fidyah. Nah mengganti puasa atau qadha di luar Ramadhan, karena sakit itu namanya rukhshah,” terang Kiai Syarif.
Ditegaskan, orang-orang yang sedang menempuh perjalanan menjadi seorang waliyullah akan lebih memilih ibadah yang berat dan cenderung tidak mengambil dispensasi. Jika dihadapkan pada pilihan antara ibadah yang berat atau ringan, maka orang tersebut akan memilih ibadah yang memiliki bobot kualitas lebih berat atau paling tinggi.
“Nah setelah melakukan itu semua, perintah dan larangan dikerjakan dengan baik dan sempurna, meliputi yang wajib dan fardhunya, dia tinggalkan yang haram dan makruhnya, bahkan yang mubahnya, yang kira-kira bisa membahayakan bisa mengantarkan kepada yang makruh dan kemudian mendorongnya kepada yang haram. Dia sudah menyelesaikan semua itu, baru dia masuk ke tahap berikutnya yaitu hakikat,” ujarnya.
Hakikat merupakan titik sampai pada objek yang sedang dituju. Seseorang yang sedang berada di tahap ini akan senantiasa menyaksikan cahaya penampakan Allah dengan sangat jelas. Bahkan seakan-akan, terhadap segala sesuatu, yang terlihat hanya Allah.
“Saat dia mendapat nikmat maka hanya akan melihat bahwa ada Sang Pemberi di situ. Ketika dia mendapat musibah maka dia akan hanya melihat bahwa ada Sang Penguji yang hadir,” tutur Guru Besar Padepokan Dakwah Sunan Kalijaga (Padasuka) ini.
Jika semua pandangan pada segala sesuatu itu hanya tertuju pada Allah, maka tidak akan ada nikmat yang membuat lalai dan tidak ada pula musibah yang membuat hidup jadi terbengkalai. Inilah tingkatan-tingkatan manusia yang akan mencapai derajat para wali.
“Siapa orang yang naik perahu kemudian berlayar di lautan, dia turun dan tenggelam, di situ dia akan mendapatkan mutiara. Artinya, siapa yang menjalankan syariat kemudian masuk ke dalam tarekat secara istiqamah, dia akan jatuh ke dalam tempat yang istimewa. Dia akan mendapat hakikatnya dan di situ dia akan naik derajat sebagai wali,” pungkas Kiai Syarif.