Sedang Membaca
Sabilus Salikin (48): Tarekat Junaidiyah: Kisah al-Junaid (1)
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (48): Tarekat Junaidiyah: Kisah al-Junaid (1)

Abû al-Qâsim al-Junaid ibn Muhammad al-Junaid al-Kharaz al-Qawariri al-Baghdâdi memiliki julukan (laqab) Abû al-Qâsim. Julukan “al-Qawariri” disandarkan kepada profesi ayahnya, penjual kaca. Al-Junaid kemudian mendapat julukan al-Kharaz, yang artiya pedagang sutera, karena memang ia seorang pedagang sutera di kota Baghdad.

Keluarga al-Junaid berasal dari Nahawand, namun beliau dilahirkan dan tumbuh di Irak, (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman: 5). Al-Junaid adalah salah seorang shûfi terkemuka di samping seorang ahli fikih.

Dalam fikih, beliau bermazhab kepada Imâm Abû Tsaur. Al-Junaid sudah memberikan fatwa-fatwa hukum dalam mazhab tersebut saat usianya masih 20 tahun. Beliau lama bergaul dan belajar kepada pamannya sendiri, yaitu Imam Sarri as-Saqthi, lalu kepada al-Harits al-Muhasibi, Muhammad ibn al-Qashshab al-Baghdâdi yang termasuk teman pamannya, dan sufi terkemuka lainnya.

Di kalangan sufi al-Junaid dikenal sebagai pemuka dan pimpinan mereka dengan gelar Sayyid al-Thâ-ifah al-Shûfiyyah, (Tadzkirat al-Auliyâ’, halaman: 370).

Al-Junaid salah sufi yang memiliki jasa besar dalam menjaga kemurnian tasawuf. Faham-faham dan akidah-akidah menyesatkan yang hendak masuk dalam ajaran tasawuf habis dibersihkan oleh beliau. Karena itu, banyak ungkapan-ungkapan beliau yang di kemudian hari menjadi landasan utama dalam usaha menjaga kebenaran tasawuf dan kemurnian ajaran Islâm.

Abû Alî al-Raudzabari berkata: “Saya mendengar al-Junaid berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli makrifat dapat sampai kepada suatu keadaan yang ia telah melakukan semua hal,  sehingga boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diwajibkan”.

Baca juga:  Resensi Buku: Ngaji Fikih, Pemahaman Tekstual dengan Aplikasi yang Kontekstual

“Lalu al-Junaid berkata kepadanya: ‘Ini adalah perkataan kaum yang berpendapat segala amal perbuatan akan gugur. Ini bagiku adalah suatu pendapat yang sangat berbahaya. Seorang pezina dan pencuri bahkan jauh lebih baik dari pada orang yang berpendapat seperti itu. Sesungguhnya orang-orang yang arif billâh adalah mereka yang mengerjakan seluruh amal perbuatan sesuai perintah Allâh Swt., karena hanya kepada-Nya amal perbuatan itu kembali.”

“Andaikan aku hidup dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikit pun selama umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allâh Swt. kecuali bila sesuai dengan apa yang telah diperintahkan-Nya. Inilah keyakinan yang terus memperkuat ma’rifat-ku dan memperkokoh keadaanku”.

Meninggalkan kelezatan dunia

Muhammad Ibn Abdullâh al-Razi berkata: Saya mendengar Abû Muhammad al-Jariri berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata: “Kita tidak menjalankan tasawuf dengan banyak bicara saja (al-qil wa al-qâl). Tapi kita melakukannya dengan lapar (puasa), meninggalkan kelezatan dunia dan melepaskan segala hal-hal yang menyenangkan dan yang indah. Karena tasawuf adalah kemurnian hubungan dengan Allâh Swt yang dasarnya menghindari kesenangan dunia, (Tadzkirat al-Auliyâ’, halaman: 372).

Sebagai mana pernyataan Haritsah di hadapan Rasûlullâh Saw.: “Aku hindarkan diriku dari dunia, aku hidupkan malamku dan aku laparkan siang hariku…”.

Baca juga:  Membaca tanpa Tuntutan

Al-Junaid juga berkata: “Seluruh jalan menuju Allâh Swt. tertutup bagi semua makhluk, kecuali bagi mereka yang benar-benar mengikuti Rasûlullâh Saw. dalam setiap keadaannya”.

Dalam kesempatan lain beliau berkata: “Jika seseorang dengan segala kejujurannya beribadah kepada Allâh Swt. selama satu juta tahun, namun kemudian ia berpaling dari-Nya walau hanya sesaat, maka apa yang tertinggal darinya jauh lebih banyak dibanding dengan apa yang telah ia dapatkan”.

Beliau juga berkata: “Siapa yang tidak hafal Alquran dan tidak menulis hadis-hadis Rasûlullâh Swt. maka orang tersebut jangan diikuti, karena ilmu kita ini (tasawuf) diikat dengan Alquran dan Sunnah”. Sikap wara’, zuhud, taqwâ, tawâdhu’, dan kuat dalam ibadah sudah tentu merupakan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa al-Junaid.

Suatu ketika beliau ditanya tentang kemegahan dunia, beliau menjawab: “Keberhasilan atas segala kebutuhan dunia adalah dengan meninggalkannya”.

Diriwayatkan dari Ja’far ibn Muhammad bahwa al-Junaid berkata kepadanya: “Jika Engkau sanggup untuk tidak memiliki peralatan apapun di rumahmu kecuali sehelai tikar maka lakukanlah tashawwuf…!”. Ja’far ibn Muhammad berkata: “Dan memang yang ada di rumah al-Junaid hanyalah sehelai tikar”.

Diriwayatkan dari al-Khuldy bahwa al-Junaid al-Baghdadi selama dua puluh tahun tidak pernah makan kecuali satu kali dalam seminggu. Dalam setiap malam beliau melaksanakan shalat sebanyak 300 raka’at, (Rijâl al-Syarh al-Anfâs al-Rauhâniyah, halaman: 8). Sementara di siang hari, al-Junaid menghabiskan waktunya untuk shalat sebanyak 300 raka’at dan 30.000 kali bacaan tasbîh.

Baca juga:  Sabilus Salikin (40): Wali yang Jumlahnya Tetap pada Tiap Zaman (1)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top