Sedang Membaca
Tantangan dan Peluang Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren dan Madrasah
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Tantangan dan Peluang Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren dan Madrasah

Pesantren Santri

Sepanjang tahun 2015-2020 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat setidaknya ada 51 (lima puluh satu) kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan pendidikan termasuk pendidikan berbasis keagamaan. Sedangkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) melaporkan bahwa hingga 1 Januari 2023 terdapat sebanyak 9.660 (sembilan ribu enam ratus enam puluh) kasus kekerasan seksual dengan korban berjenis kelamin laki-laki sebanyak 1.837 (seribu delapan ratus tiga puluh tujuh) dan sebanyak 8.631 (delapan ribu enam ratus tiga puluh satu) korban berjenis kelamin perempuan.

Lebih lanjut, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat pada awal 2023, yakni selama Januari hingga 18 Februari, terjadi 10 (sepuluh) kasus kekerasan seksual terhadap anak di lembaga pendidikan, baik di Pesantren, asrama, maupun sekolah biasa. FSGI menemukan bahwa 50% kasus kekerasan seksual terjadi di jenjang Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), 10% di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 40% di Pesantren. Dari sepuluh kasus tersebut, 60% satuan pendidikan berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag) dan 40% di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek).

Mayoritas pelaku merupakan pimpinan pondok pesantren dan guru, masing-masing sebanyak 40%, kepala sekolah dan penjaga sekolah masing-masing 10%. Sedangkan korbannya adalah 86 (delapan puluh enam) anak, baik laki-laki maupun perempuan. Anak korban laki-laki sebanyak 37,20% dan korban anak perempuan mencapai 62,80%.

Catatan lain yang menjadi perhatian adalah hasil pemantauan kasus yang dilakukan oleh End Child Prostitution, Child Pornography and the Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT Indonesia) di tahun 2021, ECPAT Indonesia mengemukakan bahwa kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan institusi pendidikan dan institusi pendidikan berbasis keagamaan, terdapat sebanyak 74 (tujuh puluh empat) kasus. Mayoritas pelaku berusia antara 24-56 tahun sebanyak 47%, berusia 18-24 tahun sebesar 17%, dan usia diatas 56 tahun sebesar 21%. Latarbelakang pelaku tersebut mulai dari kepala sekolah, guru, guru ngaji, marbot, pelayan gereja, pengurus gereja, bruder panti asuhan, hingga pembina  atau pengasuh pondok pesantren.

Sebanyak 87% korban kekerasan seksual adalah perempuan, sisanya merupakan laki-laki. Berdasarkan data tersebut, maka dapat diketahui bahwa korban kekerasan seksual tidak hanya perempuan, namun juga laki-laki. Sehingga, tidak memandang gender, semua orang berkemungkinan menjadi korban kekerasan seksual.

Beberapa contoh kasus kekerasan seksual di pesantren misalnya, kasus pemerkosaan yang terungkap pada Desember 2021 dibandung yang dilakukan oleh Herry Wirawan selaku pimpinan Yayasan Manarul Huda yang telah memperkosa sebanyak 13 (tiga belas) santriwati, dan 9 (sembilan) diantaranya hamil dan sudah melahirkan. Rata-rata korban adalah santriwati penerima beasiswa dari kalangan keluarga miskin. Pelaku sudah melakukan tindakan keji tersebut sejak tahun 2016 hingga 2021. Tersangka dikenakan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP), dan ketentuan-ketentuan lain yang terkait. Selain vonis mati, Herry Wirawan juga diwajibkan untuk membayar restitusi sebesar lebih dari Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

Baca juga:  Catatan Rasulullah pada Ibu Rumah Tangga

Kedua, kasus pencabulan yang terungkap pada Juli 2022 yang dilakukan oleh Mas Bechi anak kyai Pondok Pesantren Asshidqiyah Jombang, Jawa Timur. Korban berjumlah 5 (lima) orang dan hal keji tersebut sudah dilakukan sejak tahun tahun 2017 hingga 2022. Tersangka dikenakan Pasal 285 KUHP jo. Pasal 65 KUHP dengan ancaman pidana pidana penjara 12 (dua belas) tahun, atau Pasal 289 KUHP jo. Pasal 65 KUHP dengan ancaman pidana penjara 9 (sembilan) tahun, dan atau Pasal 294 ayat (2) KUHP jo. Pasal 65 KUHP dengan ancaman pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun.

Ketiga, kasus sodomi yang terungkap sekitar bulan September 2021 dilakukan oleh pimpinan pesantren Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Terdapat korban sebanyak 26 (dua puluh enam) santri laki-laki, dia menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan untuk kepuasan hawa nafsu dan dikarenakan juga dahulu ketika kelas 3 (tiga) Sekolah Dasar (SD) pernah menjadi korban pelecehan oleh tetangganya sendiri. Tersangka dikenakan Pasal 82 ayat (1), (2) dan (4) jo. Pasal 76 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (UU 17/2016), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak (Perpu 1/2016) dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 (lima belas) tahun.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat dilihat bahwa jumlah kekerasan seksual di lingkungan Kemenag dan Pesantren memiliki persentase yang cukup tinggi. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh pimpinan Pesantren menunjukkan adanya bentuk relasi kuasa antara tokoh agama dan santrinya yang memiliki pengaruh yang kuat di Pesantren. Dalam hal ini, santriwan/santriwati tidak memiliki kekuatan untuk melawan ketika terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh pimpinan pondok pesantren. Pimpinan pondok pesantren dalam struktural lembaga merupakan salah satu yang memiliki kedudukan paling tinggi dan dihormati oleh semua orang, sehingga ketika korban penyintas kekerasan seksual mengungkapkan kasusnya, banyak orang lain yang tidak percaya, bahkan banyak orang yang cenderung menyalahkan korban dan menimbulkan pihak korban menjadi tertekan.

Baca juga:  Pujian Gus Dur untuk Gus Sholah

Permenag 73/2022 dan Peluang Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren

Tingginya kasus kekerasan seksual tersebut, tentu menjadi permasalahan tersendiri. Padahal telah banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur sanksi-sanksi pidana terkait kekerasan seksual. Selain aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan  UU 17/2016 tentang perlindungan anak, pemerintah juga memberlakukan UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang dibentuk khusus untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum serta mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual.

Banyaknya kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan dikarenakan buruknya pandangan masyarakat mengenai kekerasan seksual, dimana hal tersebut dipandang sebagai aib yang perlu untuk ditutupi. Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Madrasah dan Pondok Pesantren kerapkali ditutupi dengan alasan dapat menjatuhkan marwah intansi/lembaga tersebut. Padahal kekerasan seksual memiliki implikasi serius terhadap psikologis, fisik, maupun kehidupan sosial dari korban. Selain itu, tidak jarang kasus kekerasan seksual tidak dilaporkan oleh korban karena korban mendapatkan tekanan dari pelaku, terlebih apabila pelaku memiliki relasi kuasa yang luar biasa besar.

Berkaitan dengan hal di atas, dalam rangka mendukung upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual tersebut, secara internal Kemenag juga mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama (Permenag 73/2022).

Sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 5 Permenag 73/2022, disebutkan secara jelas bahwa yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa atau tidak secara paksa, atau bertentangan dengan kehendak seseorang atau dengan kehendak karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang menyebabkan seseorang mengalami penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Melalui Permenag 73/2022, satuan pendidikan di bawah naungan Kemenag wajib untuk melakukan penanganan terhadap korban kekerasan seksual. Penanganan kekerasan seksual yang dimaksud berupa pelaporan, perlindungan, pendampingan, penindakan, dan pemulihan korban.

Pelaporan dapat dilakukan oleh korban dengan didampingi oleh pendamping atau teman disekitarnya. Pelaporan dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis, secara langsung maupun tidak langsung. Pelaporan ditujukan kepada penyelenggara satuan pendidikan. Namun, apabila penyelenggara satuan pendidikan tidak menindak atau terkesan mengabaikan laporan tersebut, maka korban dapat melapor kepada Kepala Kantor Kemenag. Hal-hal yang perlu dipersiapkan saat melaporkan kasus kekerasan seksual, yaitu: a) identitas pelapor; b) identitas korban; c) identitas pelaku; d) bentuk kekerasan seksual; dan e) waktu, tempat, dan kronologi kejadian.

Baca juga:  Wasiat Terakhir Gus Sholah untuk NU

Bagi Madrasah dan Pondok Pesantren yang tidak berupaya mencegah dan menangani terkait kasus kekerasan seksual, maka berdasarkan ketentuan Pasal 19 Permenag 73/2022 akan mendapatkan sanksi administrasi berupa: a) teguran lisan; b) teguran tertulis; c) penghentian bantuan; d) pembekuan izin penyelenggaraan satuan pendidikan; e) penghentian sementara penyelenggaraan satuan pendidikan; f) pencabutan izin penyelenggaraan satuan pendidikan; dan/atau g) pencabutan tanda daftar satuan pendidikan.

Selain hal tersebut di atas, upaya-upaya lainnya yang dapat dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya kekerasan seksual sebagaimana yang dikemukakan oleh Narasumber pada Focus Group Discussion (FGD) “Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Madrasah dan Pondok Pesantren”, yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB) dan Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) Kota Malang, yakni dapat dilakukan dengan cara: a) pemasangan CCTV yang dipergunakan untuk mengawasi aktivitas penghuni asrama (dapat ditempatkan pada tempat-tempat tertentu yang dipandang logis); b) memperhatikan penataan pencahayaan guna meminimalisir pemanfaat tempat atau ruang yang cenderung gelap atau minim pencahayaan sebagai tempat atau ruang bagi pelaku kekerasan seksual dalam melakukan aksinya; c) memberikan proteksi berupa penjaga kamar di setiap ruang; d) sosialisasi dan penguatan kontruksi sosial perihal kekerasan seksual; serta e) pelaksanaan secara ketat aturan dalam Madrasah dan Pondok Pesantren.

Kekerasan seksual di Madrasah dan Pondok Pesantren harus disikapi dengan serius. Oleh karenanya, perlunya upaya komprehensif baik pencegahan maupun penanganan yang sesuai dengan hukum positif yang berlaku, sehingga para santriwan, santriwati, siswa, dan siswi di dalam Madrasah dan Pondok Pesantren tersebut bisa betul-betul dilindungi dan dijaga harkat martabatnya sebagai manusia.

Penulis:

Ladito Risang Bagaskoro[1] dan Heru Kurniawan[2]

[1] Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Sekretaris PERSADA UB.

[2] Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Paralegal LPBHNU Kota Malang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top