Pada tahun 1868, deposit batu bara yang luar biasa besar ditemukan di Cekungan Ombilin, Sawahlunto, Sumatra Barat. Penemuan ini menarik minat Pemerintah Belanda untuk berinvestasi dalam operasi penambangan batu bara, mengingat potensi dan nilainya yang sangat besar.
Penemuan batu bara ini menggembirakan karena bisa memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur teknologi tinggi, disesuaikan dengan kondisi geografis dan geologi Sawahlunto yang unik. Pemerintah Belanda mendirikan Perusahaan Pertambangan Batubara Ombilin pada tahun 1892. Ini perusahaan pertambangan pertama di Asia Tenggara pada abad ke-19 yang menerapkan teknik penambangan bawah tanah untuk menggapai bijih batubara berkualitas super di kedalaman 40 meter hingga 100 meter di bawah tanah. Teknik penambangan di Ombilin ini termasuk inovatif.
Kini, 151 tahun berselang sejak ditemukannya deposit batu bara itu, Ombilin ditetapkan menjadi warisan dunia melalui sidang komite warisan dunia UNESCO ke-43 di Baku, Azerbaijan, pada tanggal 6 Juli 2019. Sidang dihadiri Duta Besar LBBP RI untuk Republik Azerbaijan Husnan Bey Fananie didampingi Deputi Wakil Tetap RI untuk UNESCO Surya Rosa Putra, Walikota Sawahlunto Deri Asta, dan delegasi lain. Kini, bolehlah Ombilin kita sebut sebagai Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto. Penamaan itu resmi diumumkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
“Setelah tujuh tahun sejak pertama kali diusulkan ke UNESCO, lalu empat tahun terakhir dibahas sangat intensif, juga setelah melalui beberapa kali revisi, akhirnya situs cagar budaya tambang batu bara Ombilin ditetapkan menjadi warisan budaya. Tentu saja penilaiannya bukan sekadar fisik bangunan atau lokasi, tapi karena ini warisam budaya, ya berarti keseluruhan aspek yang ada meliputi sejarahnya, nilai-nilai universal di dalamnya, manfaat bagi masyarakat, dan juga inovasi,” papar Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Hilmar Farid di Museum Nasional Indonesia, Minggu, 7 Juli 2019.
Dengan ditetapkannya Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto, Indonesia berarti telah memiliki total 9 Warisan Dunia. Lima di antaranya pada kategori Warisan Budaya, yaitu Kompleks Candi Borobudur (ditetapkan pada 1991), Kompleks Candi Prambanan (1991), Situs Manusia Purba Sangiran (1996), Lanskap Budaya Provinsi Bali: Sistem Subak sebagai Manifestasi dari Filosofi Tri Hita Karana (2012), dan yang teranyar Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto (2019).
Adapun pada kategori Warisan Alam terdapat empat warisan, yaitu Taman Nasional Ujung Kulon (1991), Taman Nasional Komodo (1991), Taman Nasional Lorentz (1999), dan Hutan Hujan Tropis Sumatera (2004).
Beberapa situs budaya yang diusulkan untuk masuk ke dalam tentative list di UNESCO dan masih antre adalah jalur rempah, Kota Tua Jakarta, dan Kota Lama Semarang. Tidak mudah untuk meyakinkan UNESCO karena segala sesuatunya harus jelas. Kota Tua Jakarta, misalnya, banyak ganjalannya sejak getol diusulkan beberapa tahun lalu. Selain menyangkut penataan Kawasan yang masih amburadul (lalu dicoba untuk terus diperbaiki sejak zaman Gubernur Basuki Tjahaja Purnama), juga pendataan bangunan-bangunan tua yang pemiliknya entah ke mana.
Pengakuan
Penetapan ini bukan sekadar menyangkut kelayakan administratif, namun adalah satu pengakuan atas kemampuan Indonesia dalam mengelola situs cagar budaya. The International Council of Monuments and Sites (ICOMOS) secara tegas mengatakan bahwa Ombilin ini pantas menjadi warisan dunia karena nilai universalnya yang menojol (outstanding universal value), karena memiliki signifikansi bagi umat manusia.
Secara singkat, beberapa alasan kelayakan Ombilin menjadi warisan dunia, adalah: situs ini memperlihatkan inovasi di dalam teknologi pertambangan pada abad ke-19 yang kemudian diikuti oleh negara lain. Inovasi itu dipadukan dengan teknologi yang diciptakan oleh masyarakat lokal (akar rumput) setempat, misalnya dengan membuat terowongan-terowongan sehingga bisa digunakan untuk penambangan yang keren.
Hal yang juga menjadi pertimbangan UNESCO, kata Hilmar Farid, adalah adanya kepastian bahwa pemerintah pusat dan daerah akan mampu menjaga lingkungan situs tersebut secara efektif. Hal itu dibuktikan dengan adanya kebijakan yang berpihak, yakni dengan strukur organisasi yang efektif melalui satuan kerja pemerintah daerah (SKPD). SKPD ini pelaksana fungsi eksekutif yang harus berkoordinasi agar penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan baik. Selain itu, alokasi anggaran untuk situs juga sudah menjadi komitmen Provinsi Sumatera Barat dan Kota Sawahlunto.
“Pemerintah pusat punya Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya juga sudah berkomitmen untuk tidak hanya fokus pada pengusulan namun juga pengelolaan situs. Tahun 2019 ini kami minta balai pelestarian cagar budaya (BPCB) untuk memilih situs yang akan menjadi model untuk pengelolaan dengan heritage management. Selama ini fokusnya pada lingkungan tapi kurang dalam manajemen. Diskusi sudah sangat jauh dengan Pemkot Sawahlunto terkait dengan ekonomi kreatif dan pariwisata,” papar Hilmar.
Perlu diperhatikan, Ombilin adalah tambang, jadi izinnya adalah untuk pertambangan. Saat ini di bagian Utara situs masih ada lokasi yang sebetulnya masih bisa digali. Namun ada kesepatakan antara pemerintah dengan PT Bukit Asam agar tidak mengunakan lokasi itu untuk kepentingan produksi, tetapi untuk edukasi.
“Ini menjadi tantangan besar untuk menunjukkan kita bisa jadi pelopor, untuk memadukan pelestarian dengan aspek pembangunan ekonomi, yang di banyak tempat bertabrakan. Di sini ada lingkaran yang bertanggung-jawab, yakni PT Bukit Asam, PT KAI, Pemkot Sawahlunto, pemkab di sekitarnya, Pemprov Sumatera Barat, dan pemerintah pusat. Harus koordinasi, mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2010. Untuk itu kami akan membentuk badan pengelola yang multi-stakeholder,” kata Hilmar.
Memang, penambangan batubara juga melintasi Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang Panjang, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kota Solok, dan Kabupaten Solok.
Tiga Serangkai
Lebih detailnya, Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto dipandang pantas diposisikan sebagai warisan dunia karena konsep tiga serangkai yang dicetuskan oleh Pemerintah Belanda pada masa itu. Tiga serangkai meliputi industri pertambangan batubara di Sawahlunto, yang selanjutnya dibawa keluar Sawahlunto dengan menggunakan transportasi kereta api melalui wilayah Sumatera Barat, dan sistem penyimpanan di Silo Gunung di Pelabuhan Emmahaven, atau Teluk Bayur sekarang.
Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto layak memiliki outstanding universal value atau nilai universal luar biasa di mata UNESCO, mengacu pada kriteria ii dan iv. Merujuk pada kriteria ii, Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto menggambarkan dinamisnya interaksi sosial dan budaya antara dunia timur dan barat, yang berhasil mengubah daerah tambang terpencil menjadi perkotaan dinamis dan terintegrasi.
Ada pertukaran penting dalam nilai-nilai kemanusiaan sepanjang masa atau dalam lingkup kawasan budaya, dalam perkembangan arsitektur dan teknologi, seni monumental, perencanaan kota dan desain lansekap. Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto menunjukkan adanya pertukaran informasi dan teknologi lokal dengan teknologi Eropa terkait dengan eksplotasi batubara di masa akhir abad ke-19 sampai dengan masa awal abad ke-20 di dunia, khususnya di Asia Tenggara.
Adapun kriteria iv adalah menyangkut contoh luar biasa dari tipe bangunan, karya arsitektur, dan kombinasi teknologi atau lanskap yang menggambarkan tahapan penting dalam sejarah manusia. Dalam hal ini, keunikan Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto menunjukkan contoh rangkaian kombinasi teknologi dalam suatu lanskap kota pertambangan yang dirancang untuk efisiensi sejak tahap ekstraksi batubara, pengolahan, dan transportasi, sebagaimana yang ditunjukkan dalam organisasi perusahaan, pembagian pekerja, sekolah pertambangan, dan penataan kota pertambangan yang dihuni oleh sekitar 7.000 penduduk.
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), Prof. Dr. Arief Rachman menyatakan bahwa penetapan status warisan dunia bukanlah tujuan utama dari diplomasi budaya kita. Melalui pengakuan internasional ini, Indonesia harus dapat memastikan identifikasi, perlindungan, konservasi dan transmisi nilai-nilai luhur warisan bangsa dapat terjadi dan berkelanjutan dari generasi ke generasi. Selain perlindungan dan edukasi, status warisan dunia sudah seyogyanya juga dapat dimanfaatkN secara optimal untuk mendatangkan manfaat ekonomi. ”Pada akhirnya, status warisan dunia ini harus bisa meningkatkan harkat hidup dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya” tutur Arief Rachman.
Perlu ditambahkan, Pertemuan Komite Warisan Dunia (World Heritage Committee) 2019 untuk membahas penetapan warisan dunia itu diselenggarakan pada tanggal 30 Juni hingga 10 Juli 2019. Pertemuan rutin tahunan ini dimandatkan oleh Konvensi tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia (Convention concerning the Protection of World Cultural and Natural Heritage), atau yang secara singkat disebut sebagai Konvensi Warisan Dunia 1972.
Konvensi Warisan Dunia 1972 mengindentifikasi warisan ke dalam kategori warisan budaya dan warisan alam, serta warisan campuran budaya dan alam. Warisan budaya mengacu pada monumen, kelompok bangunan, dan situs yang memiliki nilai historis, estetika, arkeologis, ilmiah, etnologis, maupun antropologis. Adapun warisan alam mengacu pada formasi fisik, biologis dan geologis yang luar biasa, atau habitat spesies hewan dan tumbuhan yang terancam punah, yang mengandung nilai ilmiah, konservasi, dan estetika.
Fitur terpenting dari Konvensi Warisan Dunia 1972 adalah bahwa konvensi ini menghubungkan antara konsep konservasi alam dengan pelestarian kekayaan budaya. Konvensi ini mengakui cara manusia berinteraksi dengan alam, dan kebutuhan mendasar untuk menjaga keseimbangan di antara keduanya. (SI)