Sebanyak 30-an tokoh adat dari berbagai daerah di Indonesia bersama Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama bersarasehan dan berdoa di Pondok Pesantren Syahiidah (Yayasan Ponpes Sunan Pandanaran), Pracimantoro, Wonogori, Jawa Tengah, pada 12–13 Agustus 2023.
Sarasehan bertema “Keragaman Adat dan Budaya dalam Kesatuan Warisan Peradaban Nusantara yang Toleran dan Harmonis” tersebut membuahkan sejumlah rekomendasi strategis bagi semua kalangan, utamanya pemangku kepentingan, demi keutuhan bangsa dan kedamaian masyarakat.
Para tokoh adat tua dan muda tersebut mewakili masyarakat pendukungnya dari Tana Tua Kajang dan Bissu Sulawesi Selatan; Laroma Sulawesi Utara; Torosiaje Gorontalo; Komunitas Key Maluku; Komunitas Alu Sulawesi Barat; Komunitas Sanifagu Papua Barat; Marapu Sumba Nusa Tenggara Timur; Sasak Nusa Tenggara Barat; Bali; Lampung; Lubak Tambusai Riau; Bandung; Baduy Banten; Kasultanan Cirebon; Tengger Jawa Timur; dan Gayo Luwes Aceh.
Rekomendasi dari sarasehan tersebut disusun dengan redaksional yang tidak rumit, dari gagasan yang general hingga cukup praktis.
- Menguatkan kembali nilai-nilai kearifan dari kebudayaan bangsa Indonesia yang bersumber dari hubungan yang berkesinambungan antara alam ketuhanan, kemanusiaan, dan kesemestaan.
- Memupuk imunitas kultural dengan mengenali, memahami, dan mencintai kebudayaan secara utuh dari aspek kesejarahan, tata aturan, hingga benda-benda warisannya.
- Menumbuhkan bibit-bibit pelaku budaya melalui pengajaran kebudayaan kepada generasi muda serta melakukan pembiasaan dalam menjalankan praktik adat dan tradisi.
- Membangun kesadaran bersama tentang realitas keanekaragaman adat, suku, agama, dan kepercayaan di Indonesia dalam bingkai bhinneka tunggal ika.
- Mengadakan komunikasi lintas adat, suku, agama, dan kepercayaan untuk memupuk sikap toleransi, gotong-royong, dan persatuan.
- Melakukan advokasi kepada tentang perlindungan dan pengembangan hak-hak adat, berdampingan secara harmonis dengan hukum nasional.
- Mengembangkan nilai-nilai kearifan budaya ke arah yang lebih maju dan kekinian sesuai konteks di setiap zaman.
- Memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai media pelestarian budaya di ranah digital.
Rumusan di atas merupakan usaha bersama untuk membangun suatu karakter kebudayaan yang berlandaskan kepada sikap saling menghormati, saling menghargai, saling mendukung, saling mengisi, dan saling mencintai sebagai wujud dari kemuliaan martabat manusia.
Karakter kebudayaan seperti ini akan melahirkan kehidupan kebangsaan yang damai, harmonis, dan mensejahterakan, lahir dan batin. Dalam kata lain, dengan menguatkan kembali karakter-karakter kebudayaan tersebut, bangsa Indonesia mampu hidup dalam suatu laku berkeadaban yang berdasarkan cinta.
Padat tapi tidak Tergesa
Kegiatan sarasehan dan doa di Ponpes Syahiidah yang merupakan cabang dari Ponpes Pandanaran Sleman Yogyakarta asuhan KH Mu’tashim Billah tersebut berlangsung padat namun tidak tergesa. Para peserta banyak berdiskusi dan banyak bergembira.
Setelah acara pembukaan yang menyegarkan, termasuk lantunan lagu syahdu dari Acil Bimbo, sarasehan berlangsung hikmat hingga melahirkan sejumlah rumusan di atas.
Untuk mengenalkan lokasi wisata sakral di Gunung Kidul, panitia dari Ponpes Syahiidah dan Ponpes Hajar Aswad mengajak para tokoh adat berwisata ke Gunung Gambar.
Camat Ngawen Slamet Winarno pun turut serta menemani para sesepuh tokoh adat menaiki Gunung Gambar yang diyakini menjadi petilasan Pangeran Sambernyowo atau Raden Mas Said (1725–1798) dan tempat moksa putra Raja Brawijaya, Ki Ageng Gadingmas (pada awal Abad ke-15).
Selain itu, para tokoh adat dari Aceh hingga Papua bersama para pengurus dan anggota Lesbumi NU pada tanggal 13 Agustus sore bersama-sama menanam pohon di bukit kecil di lingkungan Ponpes Syahiidah Wonogiri. “Kita namai bukit ini bukit Nusantara,” kata Ketua Lesbumi PBNU Jadul Maula, ditimpali sholawat dan tepuk tangan hadirin.
Hiburan seni tradisi wayang kulit purwo dengan dalang Ki Ardhi Poerboantono melengkapi acara sarasehan. Sajian wayang kulit dengan gamelan lengkap milik Lesbumi Wonogiri tersebut sungguh mewah. Warga sekitar berduyun-duyun menonton tontonan dan tuntunan wayang yang makin langka digelar.
Kita semua menyadari bahwa peradaban adiluhung Nusantara ibarat sebuah danau yang berisi air jernih. “Air pengisi danau tersebut merupakan perpaduan keanekaragaman adat dan tradisi yang mengalir dari berbagai sumber mata air kebudayaan,” imbuh Wakil Ketua Lesbumi PBNU Zastrow Ngatawi.
Seperti kita amini, Indonesia adalah negara yang dibangun di atas landasan multikultural. Berbagai etnis, adat, dan tradisi menjadi penyokong utama laju peradaban yang harmonis melalui bingkai “Bhinneka Tunggal Ika”.
Setiap kebudayaan melahirkan kearifan lokal, yang menjadi “bahasa” untuk melakukan sesuatu. Pada praktiknya, kearifan lokal menjadi sumber pengetahuan masyarakat yang ditanamkan melalui tradisi dan kepercayaan yang dianut. Inilah lumbung kearifan yang melahirkan peradaban adiluhung yang mustinya diwariskan dari generasi ke generasi.
Dinamika serta tantangan modernisme dan kemajuan teknologi memang cukup berat untuk dilalui. Unsur-unsur penyokong peradaban yakni keanekaragaman adat dan tradisi telah dihakimi sebagai penghambat kemajuan dan penyakit di dalam agama.
Penghakiman terhadap adat dan tradisi mengakibatkan retaknya persatuan bangsa. Sentimen ideologi, ras, dan kepercayaan semakin tidak sehat bahkan menjadi momok yang tidak bisa dikompromikan dalam ruang-ruang terbuka.
Namun, mau tidak mau kita harus beradaptasi. Kita harus terus memupuk nilai-nilai adiluhung tersebut.