Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sajian Khusus: Ngaji Suluk Sunan Muria

Whatsapp Image 2020 09 08 At 11.01.44 Pm

Alhamdulillah, kami bersyukur masih diberi istiqomah dalam menayangkan tulisan Sajian Khusus setiap hari Rabu. Tidak terasa, Sajian Khusus kali ini (9/9) sudah memasuki edisi ke-32.

Pekan ini, kita kedatangan tamu spesial asal dari kota Kudus. Beliau merupakan putra asli dari lereng Gunung Muria, dan kini bermukim di Semarang, sebagai pengajar di kampus UIN Walisongo Semarang dan mengabdi di Ponpes Ulil Albab dan Ponpes Darul Falah Besongo.

Ahmad Tajuddin Arafat, adalah penikmat kajian tasawuf dan hadis. Di edisi kali ini, Tajuddin akan membabar tema “Suluk Sunan Muria”. Dalam Sajian Khusus sebelumnya, kami pernah menayangkan tulisan Nur Ahmad, yang membincang tentang “Ekspresi Sufistik dalam Puisi Tradisional Jawa”. Nur Ahmad sudah menjelaskan perihal apa itu suluk dan bagaimana genealoginya. Perihal suluk, dia mencontohkan tentang Suluk Wujil yang menjadi ajaran Sunan Bonang, dengan sebuah ungkapan yang cukup familiar bagi kita: Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu. “Barangsiapa mengenal dirinya, maka sungguh dia mengenal Tuhannya”.

Menariknya, kini Tajuddin melanjutkan suluk dari para Sunan, yakni Sunan Muria. Sebelum ke pembahasan Suluk, Tajuddin menyinggung bagaimana pola dakwah yang diajarkan Sunan Muria. Bisa dicatat, bahwa pola dakwah yang dilakukan oleh Sunan Muria (dan para Walisongo) polanya selalu sama: bernuansa akulturasi budaya dan dibalut dengan nilai-nilai keislaman.

Baca juga:  Zero Waste dan Bayang-bayang Ilusi Implementasinya

Bahkan Sunan Muria sendiri terkenal dengan ajarannya “Ajaran Pambukaning Tata Malige Betal Mukaram”. Apa itu? Pertama, Ora kena dhahar iwak ati (tidak boleh makan hati), Kedua, Ora kena dhahar iwak jeroan (tidak boleh makan jeroan), Ketiga, Ora kena ngarani angen-angen (tidak boleh menyebut angan-angan), Keempat, Ora kena ngarani jinem (tidak boleh menyebut jinem/harapan semu)”.

Nah, keempat dari ajaran tersebut kalau kita amati sangatlah kental dengan dimensi tasawuf dan spiritualitas yang mendalam. Karena, di dalamnya memiliki nilai-nilai kebajikan dan seni menata dalam hati dalam proses penyucian jiwa (tazkiyatun nufus).

Begitulah cara Walisongo atau Sunan Muria tatkala menyebarkan ajaran Islam. Tidak dengan berteriak-teriak atau memaksa-maksa orang untuk masuk agama (islam), akan tetapi dengan laku suluk, mengasah jiwa, olah batin, dan selalu menyentuh ke dalam dimensi spiritualitas. Maka, tidak heran jika sampai sekarang banyak yang melanjutkan pola atau cara dakwahnya yang rahmatan lil ‘alamin itu.

Terima kasih kepada Tajuddin yang sudah mengisi Sajian Khusus pekan ini, sangat mencerahkan. Tidak lupa kepada Mas Nur Alif, layouter andalan kami, tanpamu, tulisan ini tidak ada seninya.

Dan, buat pembaca setia Alif. Terima kasih banyak atas dukungannya selama ini. Kami tunggu tulisan kalian untuk menjadi tamu kami di edisi Sajian Khusus berikutnya.

Baca juga:  NU dan Keterlambatan-keterlambatannya

Selamat membaca!

Salam

(Redaksi)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top