Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Radikalisme pada dasarnya bukanlah sebuah masalah yang khas kekinian. Ia merupakan fenomena yang hidup sejak dahulu kala. Secara historis, kebudayaan Jawa sudah karib dengannya dan solusi atasnya sejak lama. Penelitian saya tentang wayang purwa Jawa seumpamanya, setidaknya menemukan ekspresi radikalisme keagamaan pada masa pemerintahan Sultan Trenggono di Demak.
Pada masa itulah eksistensi apa yang kini disebut sebagai “Islam radikal” yang bersifat transnasional sudah menunjukkan batang hidungnya. Bathara Yamadipati, saya kira, secara seni rupa dan kesusastraan, merupakan perwujudan reaksi orang Jawa yang berwujud pasemon atas mengecambahnya “Islam radikal” yang berasal dari “lembah kematian” atau Hadhramaut (Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang, Heru Harjo Hutomo, CV. Kekata Group, Surakarta, 2020).
Tulisan berikut ini adalah sebuah upaya dalam menyajikan, dan mengelaborasikan lebih lanjut, radikalisme serta penyikapan sufisme nusantara terhadapnya yang terserak dalam berbagai kesusastraan dan praktik-praktik sufistiknya. Untuk mengatakan bahwa apa yang saya tuliskan di sini adalah sebentuk sufisme nusantara bukanlah isapan jempol belaka.
Sebab sangat gamblang bahwa Serat Wulangreh dan Serat Wedhatama, untuk menyebut dua di antara beberapa kepustakaannya, merupakan kepustakaan-kepustakaan sufistik yang menjadikan al-Qur’an, hadis, ijma’ dan kiyas sebagai pegangan hukumnya (Wulangreh dan Deradikalisasi: Menggali Sisi Praktis Islam Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).
Di samping bahwa penulisnya sendiri adalah seorang raja dan adipati, latar-belakang mereka sebagai seorang santri sekaligus seorang yang menjadi sanad keilmuan salah satu tarekat yang berkembang di nusantara hingga hari ini, cukup untuk mengatakan bahwa apa yang mereka torehkan dalam kesusastraan dan praktik-praktik spiritualnya sebagai sebentuk sufisme nusantara.
Akhirul Kalam, selamat membaca.