Tulisan ini saya persembahkan dalam rangka memperingati Harlah Pesantren Tebuireng yang ke 122 tahun. Dalam usianya yang telah melewati satu abad itu, Pesantren Tebuireng telah mengalami banyak dinamika. Bermula dari delapan santri (sebagian berpendapat 28 santri) hingga kini berjumlah empat ribuan.
Setelah mendapatkan huru hara dari Penjajah Belanda, Tebuireng pernah ditutup, santri semua pulang dan hanya menyisakan puluhan saja. Itu pun karena terpaksa karena tidak punya ongkos untuk pulang.
Dari sisi sistem pendidikan pula, Pesantren Tebuireng beberapa kali berubah menyesuaikan kebutuhan bangsa. Beberapa unsur yang pernah menghiasi “wajah” Tebuireng ada yang sudah hilang, ada yang masih lestari hingga kini. Di sepanjang sejarah Pesantren Hadratussyaikh ini ternyata masih banyak menyimpan episode khusus yang saya rasa akan menarik untuk dibagikan.
Salah satunya adalah ketika Tebuireng memiliki Gus Dur muda, yang juga telah mewarnai corak pesona pesantren kakeknya ini. Tulisan ini akan mengupas enam tahun Gus Dur di Tebuireng, mulai tahun 1972 (sebagian bilang 1971) hingga 1978. Enam tahun ini menjadi tahun-tahun Tebuireng dengan sentuhan magis Gus Dur muda di dalamnya.
Sumber primer tulisan ini berasal dari Drs. H. Muhsin Ks, M.Ag, Wakil Rektor II Universitas Hasyim Asy’ari, yang telah mengabdi 18 tahun lamanya di perpustakaan Pesantren Tebuireng. Juga Pak Zaenal, staf Perpustakaan yang mengabdikan diri sejak tahun 1980-an hingga sekarang.
Selamat Harlah ke-122, Selamat membaca.