Sedang Membaca
Sabilus Salikin (7): Tarekat, Cara Mengamalkan Syariah
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (7): Tarekat, Cara Mengamalkan Syariah

Sabilus Salikin (1): Islam, Tasawuf, dan Tarekat 1

Dengan mengacu pada uraian sebelumnya, dapat dipahami bahwa tarekat atau thariq al-shafiyyah (jalan para sufi) pada hakikatnya adalah: jalan yang ditempuh oleh para nabi dan rasul dalam merealisasikan penghambaan diri dan tauhid yang murni dengan cara mengosongkan kalbu dari hal-hal selain Allâh, serta memenuhinya dengan dzikrullah dalam setiap keadaan (berdiri, duduk, dan berbaring).

Dasarnya:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿١٩١

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allâh sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka, (Q.S. Ali Imrân 3:191)

Dengan kata lain, tarekat pada dasarnya adalah “pengamalan syariah dalam kerangka tauhid dan ubudiyah.”

Di dalam janji Alquran yang seringkali terdengar kumandangnya di mimbar-mimbar adalah bahwa umat Islam adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (Khair Ummat Ukhrijat li al-Nas)

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿١١٠

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik, (Q.S. Ali Imran, 3:110)

Dan sekaligus umat pilihan yang adil untuk menjadi saksi atas manusia (ummat wasathan litakuna syuhada li al-nas)

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللهِ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللهََ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤٣

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia, (Q.S. Al-Baqarah, 2:143).

Agama mereka pun merupakan agama yang tidak tertanding dalam semua aspek sebagaimana ditegaskan oleh Nabi SAW:

Baca juga:  Kisah-kisah Petasan dalam Buku Lawas

وقال: الْإِسْلَامُ يَعْلُوْ وَلَا يُعْلَى عَلَيْهِ،  )صحيح البخاري ، 1/ 454)

Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih darinya, (Shahîh al-Bukhâri, juz 1, halaman: 454).

Hal ini sekaligus mengandung arti bahwa umat Islam juga tidak tertandingi. Kenyataanya, hingga saat ini umat Islam masih terpuruk dan lebih banyak menjadi penonton daripada pemain di panggung peradaban.

Pernyataan Alquran,

(كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللهِ وَ اللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ ﴿٢٤٩

Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar, ( Q.S. al-Baqarah, 2:249).

Justru sekarang lebih banyak berlaku untuk umat yang lain daripada umat Islam sendiri yang notabene merupakan mayoritas. Hal ini tiada lain karena umat Islam hanya terpaku pada formalitas agama (fikih atau syariah dalam arti sempit) yang saat ini justru selalu menjadi sumber khilafiah berkepanjangan.

Pada umumnya mereka mengamalkan syariah tanpa melibatkan tarekat, padahal di dalam tarekat sebagaimana ditegaskan dan dibuktikan oleh al-Mukarram Said Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya-tersembunyi apa yang oleh beliau disebut “teknologi Alquran,” suatu teknologi yang mampu melahirkan energi ketuhanan yang maha dahsyat sebagai sumber senjata untuk mengusir iblis la’natullah, musuh paling nyata setiap mukmin, sehingga pada gilirannya mereka mampu menegakkan shalat al khasyi’in yang juga menjadi kunci mutlak kemenangan itu sendiri.

Baca juga:  Relasi Sir Allah dan Nur Muhammad

Syari’at, tarekat, dan hakikat adalah tiga hal yang memiliki hubungan yang sangat kuat, yang salah satu dari ketiganya tidak bisa diabaikan.

Ibarat lautan yang di dalamnya terdapat mutiara yang amat besar dan indah. Untuk bisa mencapai dan mengambil mutiara tersebut, tentu kita membutuhkan kapal. Untuk mencapai dan memperoleh mutiara hakikat itu, kita butuh kapal syari’at untuk mengarungi lautan tarekat dengan selamat.

Perumpamaan lainnya, syari’at adalah pohon, tarekat adalah dahannya, dan hakikat adalah buahnya. Barangsiapa hidup hanya bersyariat tanpa berhakikat, maka sia-sia. Barangsiapa hanya berhakikat tanpa bersyariat, maka kerusakan baginya. Lebih jelasnya hal ini termaktub dalam kitab Tanwîr al-Qulûb, halaman: 408-409

Dalam sebuah syair disebutkan:

فَشَرِيْعَةٌ كَسَفِيْنَةٍ وَطَرِيْقَةٌ * كَالْبَحْرِ وَحَقِيْقَةٌ دُرٌّ غَلَا

Syariat bagaikan kapal, tarekat bagaikan lautan, dan hakikat bagaikan intan yang mahal, (Kifâyah al-Atqiyâ’, halaman: 9)

Dalam kitab Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman 324 disebutkan pula bahwa orang-orang ahli dhahir adalah mereka yang ahli syariat, dan orang-orang ahli batin adalah mereka yang ahli hakikat. Keduanya menetapi hakikat, karena jalan menuju Allâh al-Haqq di dalamnya terdapat hal yang dhahir dan yang bathin. Yang dhahir dari jalan itu adalah syariat, dan bathinnya adalah hakikat. Bagian inti hakikat terdapat dalam syariat, layaknya bagian inti dari keju itu terdapat pada susu. Tanpa adanya kemurnian susu, maka tak akan terbentuk keju.

Baca juga:  Pengalaman Spiritual Ibramsyah Amandit

Dengan demikian, maksud dari hakikat dan syariat adalah melaksanakan ubudiyah dengan cara yang diridhai. Tiap syariat yang tidak disertai hakikat, maka syariat itu rusak. Dan tiap hakikat yang tidak disertai syariat, maka hakikat itu batal. Syariat itu benar, dan hakikat itu adalah hakikat bagi syariat. Syariat adalah menjalankan perintah Allâh, dan hakikat adalah menyaksikan (dengan dzat Allâh) dalam perintah-Nya. (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 324)

Katalog Buku Alif.ID
Halaman: 1 2
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top