Dalam dunia tarekat, yang menjadi mursyid atau khalifah semuanya adalah dari kalangan pria. Hal ini disebabkan karena syarat seorang mursyid adalah laki-laki. Oleh karena itu, jika ada seorang perempuan menjadi mursyid atau khalifah, maka hal ini tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh ulama ahli kasyaf bahwa syarat mursyid atau khalifah adalah seorang laki-laki.
وَقَدْ أَجْمَعَ أَهْلُ الْكَشْفِ عَلَى اشْتِرَاطِ الذُّكُوْرَةِ فِيْ كُلِّ دَاعٍ إِلَى اللهِ وَلَمْ يَبْلُغْنَا أَنَّ أَحَدًا مِنْ نِسَاءِ السَّلَفِ الصَّالِحِ تَصَدَّرَتْ لِتَرْبِيَّةِ الْمُرِيْدِيْنَ أَبَدًا لِنَقْصِ النِّسَاءِ فِى الدَّرَجَةِ وَإِنْ وَرَدَ الْكَمَالُ فِيْ بَعْضِهِنَّ كَمَرْيَمَ ابْنَةِ عِمْرَانَ وَآسِيَةَ امْرَأِةِ فِرْعَوْنَ فَذَلِكَ كَمَالٌ بِالنِّسْبَةِ لِلتَّقْوَى وَالدِّيْنِ لاَ بِالنِّسْبَةِ لِلْحُكْمِ بَيْنَ النَّاسِ وَتَسْلِيْكِهِمْ فِيْ مَقَامَاتِ الْوِلاَيَةِ وَغَايَةُ أَمْرِ الْمَرْأَةِ أَنْ تَكُوْنَ عَابِدَةً زَاهِدَةً كَرَابِعَةِ الْعَدَوِيَّةِ وَبِالْجُمْلَةِ فَلاَ يُعْلَمُ بَعْدَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مُجْتَهِدَةٌ مِنْ جَمِيْعِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ كَامِلَةٌ تُلْحَقُ بِالرِّجَالِ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. (الميزان الكبرى، ج 2، ص 189)
Menurut kesepakatan ahli kasyaf (orang-orang yang terbuka hatinya), syarat menjadi khalifah harus seorang laki-laki, dan belum pernah sama sekali ditemukan dari perempuan salaf dan salih yang mendidik murid-muridnya selamanya. Hal ini karena kurangnya seorang perempuan dalam segi derajat, walaupun ditemukan kesempurnaan terhadap perempuan seperti Maryam anaknya Imron dan Asiyah istri Fir’aun.
Kesempurnaan itu dinisbatkan terhadap takwa dan agama, bukan dinisbatkan dalam memberikan hukum di antara manusia dan menguasai tempat-tempat kekuasaan. Puncak dari seorang perempuan adalah ahli ibadah dan zuhud, seperti Rabiah al Adawiyah.
Secara umumnya tidak ada perempuan yang ahli ijtihad dari semua ummahatul mu’minin dan tidak ada kesempurnaan yang dimiliki oleh seorang laki-laki, (al-Mizan al-Kubra, juz 2, halaman: 189).
Hukum Baiat Zikir Melalui Mimpi
Diantara syarat wajib untuk talqin atau baiat tarekat bagi seorang salik adalah talqin yang dilakukan oleh seorang mursyid tarekat mu’tabarah yang sanad atau silsilahnya bersambung kepada Rasulullah saw, serta mursyid tersebut diberi izin untuk mengajarkan tarekat tersebut kepada para murid.
Dengan demikian, jika ada seorang yang menyatakan telah dibaiat atau ditalqin sebuah zikir tarekat dalam mimpi, maka hal ini tidak sesuai dengan syarat talqin tersebut. Sebagaimana hal ini dikuatkan oleh para ulama yang telah menetapkan bahwa syarat wajib talqin yaitu murid harus ditalqin sendiri oleh seorang mursyid tarekat mu’tabarah yang bersambung sanadnya kepada Rasulullah dan memiliki wewenang untuk mentalqin murid tarekat.
(وَأَّمَّا التَّلْقِيْنُ وَسَنَدُهُ) فَلَمَّا كَانَتْ الصُّحْبَةُ مِنْ لَوَازِمِهِ وَشُرُوْطِهِ وَكَانَ اْلاِنْتِسَابُ إِلَى شَيْخٍ إِنَّمَا يَحْصُلُ بِالتَّلْقِيْنِ وَالتَّعْلِيْمِ مِنْ شَيْخٍ مَأْذُوْنٍ إِجَازَتُهُ صَحِيْحَةٌ مُسْتَنِدَّةٌ إِلَى شَيْخٍ صَاحِبِ طَرِيْقٍ وَهُوَ إِلَى النَّبِيِّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَكَانَ الذِّكْرُ لاَيُفِيْدُ فَائِدَةً تَامَّةً إِلاَّ بِالتَّلْقِيْنِ وَاْلإِذْنِ بَلْ الأَكْثَرُ شَرْطًا. (جامع الأصول فى الأولياء، ص 31)
Ketika kebersamaan itu merupakan suatu keharusan dan syarat dan intisab kepada seorang guru, yang hanya bias dicapai dengan cara talqin dan pembelajaran dari guru yang diberi izin memberikan ijazah yang diperbolehkan mensanadkan kepada guru yang memiliki tarekat yaitu Nabi, maka zikir itu tidak memberikan manfaat yang sempurna kecuali dengan cara mentalqin dan izin, bahkan ini dijadikan syarat pada umumnya, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 31).
Tanya: Lantas, jika perempuan tidak diperbolehkan untuk menjadi mursyid atau khalifah. Bagaimanakah hukum mewakilkan baiat tarekat kepada seorang perempuan?
Tentang hal ini, sama dengan apa yang menjadi syarat seorang mursyid atau khalifah, yaitu tidak boleh seorang mewakili seorang murid untuk berbaiat tarekat.
وَشُرِطَ فِى الْوَكِيْلِ صِحَّةُ مُبَاشَرَتِهِ مَا وُكِّلَ فِيْهِ كَالْمُوَكِّلِ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى التَّصَرُّفِ فِيْهِ لِنَفْسِهِ فَلِغَيْرِهِ أَوْلَى. (إعانة الطالبين، ج 3، ص 100)
Syarat wakil adalah kebolehannya melakukan sesuatu sebagaimana diperbolehkannya terhadap sesuatu yang diwakili seperti orang yang mewakilkan karena apabila wakil itu tidak mampu melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri maka untuk orang lain lebih tidak boleh, (I’anah at-Thalibin, juz 3, halaman: 100).
Tanya: Bagaimanakah pandangan para ulama tentang seseorang yang berhakikat tapi tidak bersyariat?
Dalam kitab Kifâyah al-Atqiyâ’, hlm. 12 disebutkan bahwa seorang mukmin yang tinggi maqamnya, hingga mencapai derajat kewalian sekalipun, dia masih memiliki kewajiban untuk menjalankan syariat yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Bahkan, jika seseorang mengaku telah mencapai derajat kewalian dan telah memahami hakikat, dia beranggapan bahwa taklif syariat telah gugur dari dirinya, maka orang tersebut adalah telah menyimpang dari ajaran agama.
Nabi sekalipun yang memiliki derajat yang lebih mulia dibandingkan para auliya’, mereka masih terkena taklif ibadah. Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah saw. melaksanakan shalat hingga telapak kakinya bengkak. Padahal Allah Swt. telah mengampuni seluruh dosanya. Semua itu dilakukan oleh beliau semata-mata merupakan bentuk syukur seorang hamba kepada Allah Swt. (Kifâyah al-Atqiyâ’, halaman: 12).
فَالْمُؤْمِنُ وَإِنْ عَالَتْ دَرَجَتُهُ وَارْتَفَعَتْ مَنْزِلَتُهُ وَصَارَ مِنْ جُمْلَةِ اْلأَوْلِيَاءِ لاَ تَسْقُطُ عَنْهُ الْعِبَادَةُ الْمَفْرُوْضَةُ فِى الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ، وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مَنْ صَارَ وَلِيًّا وَوَصَلَ إِلَى الْحَقِيْقَةِ سَقَطَتْ عَنْهُ الشَّرِيْعَةُ فَهُوَ ضَالٌّ مُضِلٌّ مُلْحِدٌ وَلَمْ تَسْقُطْ الْعِبَادَاتُ عَنِ اْلأَنْبِيَاءِ فَضْلاً عَنِ اْلأَوْلِيَاءِ، فَلَقَدْ صَحَّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي حَتَّى تَتَوَرَّمَ قَدَمَاهُ، فَقِيْلَ لَهُ مَرَّةً أَلَمْ يَغْفِرِ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَقَالَ أَفَلَا أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا (كفاية الاتقياء، ص 12).
Dengan berakhirnya bab tanya jawab ini, berakhir pula pemuatan bersambung kitab Sabilus Salikin, karya Pondok Pesantren Ngalah, Pasuruan, Jawa Timur. Terima kasih kepada pengasuh Ponpes Ngalah, KH Sholeh Bahruddin dan semua penyusun kitab yang telah menebarkan pengetahuan mengenai tarekat dan tasawuf dengan detail kepada publik. Semoga Allah Swt. membalas semua kebaikan kiai dan para santri.
الْإِنْسَانُ مَحَلُّ الْخَطَاءِ وَالنِّسْيَانِ
Mohon maaf atas keterbatasan kami.