Tarekat yang pendiriannya dinisbatkan pada seorang wali quthub besar yaitu Abdullah bin Alwi aI-Haddad. Nasabnya bersambung sampai ke Rasulullah saw.
Adapun garis keturunannya sebagai berikut : Abdullâh bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullâh bin Muhammad al-Haddad bin Alwi bin Ahmad bin Abi Bakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullâh bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi pamannya Faqih al-Muqaddam bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Abdullâh bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib Krw.
Beliau dilahirkan pada malam Senin tanggal 5 Shafar 1044 H. di kota Tarim Hadramaut Yaman. Ia menghafaI Alquran lalu mencari ilmu pembersih hati dan berguru pada para `ulamâ’ besar. Sejak kecil matanya sudah buta, namun Allah Swt. menggantinya dengan sinar mata hati yang justru melebihi penglihatan mata biasa. Ia belajar ilmu fikih kepada Syaikh al-Qadhi Sahal bin Ahmad bin Hasan. Ia hafal kitab al-Irsyad atau sering membaca kitab al-Irsyad di hadapan gurunya.
Allah Swt. telah memberinya hafalan, pemahaman dan pemikIran yang sangat luar biasa. Ia berkata: “Di waktu kecil, setiap hari aku melaksanakan shalat di masjid Bani Alawi sebanyak 200 rakaat. Aku memohon kepada Allah SWT. agar diberi maqâm Habib Abdullâh al-Idrus”. Allah Swt. telah mengabulkan permohonannya itu.
Al-Haddad sering berziarah ke pemakaman Zambal, Furaith serta Akdar yang merupakan pemakaman para Habaib di Hadramaut.
Al-Haddad berguru dan memperoleh mandat (ijazah) Tarekat dari Sayyid Muhammad bin Alwi Makkah dari Imam Abdullâh bin Ali dari Sayyid Abdullâh al-Idrus dari Sayyid Umar bin Abdullâh al-Idrus dari ayahnya Abdullâh al-Idrus dari ayahnya Alwi dan Alwi dari saudaranya Abu Bakar al-Idrus dari ayahnya al-Idrus al-Kabir dari Syaikh Ali dari puteranya Syaikh Abi Bakar as-Sakran dan juga dari pamannya yaitu Syaikh Umar al-Mukhdhar dari ayah mereka Imam AbDurrahman as-Segaf dari ayahnya Syaikh Maula ad-Dawilah dari ayahnya Syaikh Ali dan pamannya Syaikh Abdullâh bin Syaikh Alawi dari ayahnya Syaikh al-Faqih al-Muqaddam dari ayahnya Syaikh Alawi bin al-Faqih dari kakeknya dan terus ke Sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw. (Ghayah al-Qashd wa al-Murad, juz 1, halaman: 219).
Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi bin Alawi mengisahkan bahwa Abdullâh al-Haddad berkata: “Sebagian murid-muridku ada yang memintaku mencatat sanad-sanadku, padahal aku memiliki kurang lebih seratus orang guru, seorang guru saja di antara mereka akan sulit mencari tandingannya karena hebatnya dalam urusan tarekat. Aku telah memperoleh mandat dari mereka menurut masing-masing pangkatnya”.
Dan Abdullâh al-Haddad berkata: “Aku tak pernah melakukan sesuatu kecuali atas petunjuk dari Allah SWT. atau Nabi SAW. atau al-Fagih al-Muqaddam Muhammad bin Ali ba Alawi”.
Di antara aurâdnya sehari-hari adalah setelah zhuhur membaca lâ ilâha illaAllah 1000 kali. Dan di setiap bulan Ramadan membaca lâ ilâha illallah setiap hari 2000 kali sehingga genap 70.000 kali pada tanggal 6 Syawwal. Abdullâh aI-Haddad juga juga membaca lâ ilâha illaAllah al-Malik al-Haq al-Mubin setiap hari 100 kali setelah zhuhur.
Ia sering berpuasa, lebih-lebih pada hari baik seperti Senin-Kamis, hari-hari putih yaitu tanggal 13, 14 dan 15, 10 Muharram, 9 Dzulhijjah, 6 hari pada bulan Syawal. Puasa tersebut ia jalani sehingga tidak kuat lagi karena usianya sudah tua.
Ketika dibacakan Hadis Nabi saw. yang berbunyi “Jangan engkau jadikan kuburanku seperti hari raya”, Abdullâh al-Haddad menjelaskan Hadis ini dari berbagai sudut pandang keilmuan. Secara mendalam ia membahas semuanya mulai dari seusai shalat ashar sampai menjelang maghrib. Kemudian ia berkata: “Aku mempunyai beberapa ilmu yang sekIranya aku tunjukan, jangankan manusia, bajuku pun akan mengingkarinya”.
Ia menyandang pangkat wali quthub mulai dari masa mudanya sehingga masa tua dalam rentang waktu ± 60 tahun. Di antara perkataannya adalah: “Dulu aku mencari sesuatu dan sekarang sesuatu mencariku”.
Ia juga berkata: “Pangkatku ini tak seorang pun yang mampu membawanya sendirian. Namun jika kelak aku hampir meninggal, akan aku berikan kepada sekelompok orang.”
Ia wafat pada malam Selasa 7 Dzul Qa’dah tahun 1132 H. dan dimakamkan di saat maghrib karena begitu banyaknya pelayat. Makamnya merupakan tempat yang mustajab untuk memanjatkan do’a dan bermanfaat bagi orang yang kesusahan. Orang yang duduk di sekitar makam akan merasa betah dan tak ingin beranjak karena merasakan kedamaian.
Di samping itu beliau juga seorang mushannif atau pengarang kitab terutama di bidang ilmu tasawuf di antara kitabnya :
- Al-Nashaih al-Diniyah wa al-Washayah al-Imaniyah
- Al-Da’wah al-Tamah Wattadkir al-Amma
- Risalatu al-Muawanah Wa al-Mudhaharo Wa al-Muazarah al-Muraghabin Nimal Mu’minin Fi Suluk Tarekat al-Akhirah
- al-Fushul al-Ilmiyati Wa al-Ushul al-Khikmah
- Sabilu al-Iddikar Wa al-I’tibar bima Yamurru Bil Insân Wayanqadhi lahu Minal I’timar.
- Risalah al-Mudzakiroh Maa al-Ikhwan al-Mukhibbin min Ahli al-Khoir Waddin.
- Risâlah Adâb Sulûk al-Murid.
- Kitab al-Hikam.
- Adab Suluk al-Murid
- Al-Wirid al-Kabir
- Ithaf al-Sail